Berantakan, semuanya jadi terasa salah tiap kali gue berbuat. Gue belum bertindak tapi sudah kehilangan harapan. Pekerjaan gue jadi tidak begitu memuaskan hasilnya dan sementara ini dipegang oleh orang kepercayaan gue.
Gue sekarang tengah merenung didalam apartemen gue saat ini. Mengingat kembali masa-masa dimana gue dan Faras masih bersama.
Faras tidak pernah bertanya lebih dulu tapi dia selalu perhatian. Gue tau, semua orang memiliki tingkat kepekaan yang berbeda, ada orang yang perlu diberitahu lebih dulu dan ada yang langung bertindak ketika dia sadar. Kalian tidak bisa berharap banyak tentang itu dari orang terdekatmu, kamu perlu speak up.
Jangan terus menunggu seperti yang gue lakukan, gue sadar se-cuek dan se-tidak peka apa Faras pada orang lain, walau sifat hangatnya ada di tiap kali kami berdua jalan.
Faras akan menggenggam tangan gue, menglingkupi tangan besar gue ketika dingin. Faras selalu tau kalau gue tidak menyukai banyak hal dari dunia yang busuk oleh manusia munafik.
Faras selalu bertanya pada gue tiap kali dia ingin memesan makanan dikantin.--Faras selalu begitu, dia selalu bertanya tapi gue malah sebaliknya--.Apa yang ingin gue makan untuk makan siang, dia tau gue tidak bisa meninggalkan jam makan karena mag kronis yang gue derita.
Faras yang selalu mengurusi gue, walau perlu gue mengawali dengan percakapan kecil seperti.
"Perutku sakit, bee."
"Bee. Aku mau makan."
"Habisin, awas kalau gak!!." Ucap Faras ketika dia membawakan gue makan dari kantin akhirnya. Karena rengekan gue.
Kelakuannya yang memanjakan gue, di anggap rendahan oleh sebagian warga kampus ketika itu.
"Nggak ada harga diri banget anjir!. Masa mau aja disuruh beliin makan ke kantin sama cowoknya, gue aja yang liat jadi malu."
"Gila banget deh. Pacaran sama Gibran cuma buat jadi pembokat yang bawain makanan dan pretelannya kalau majikan bilang laper. Hihh, gue sih no, kalau jadi si Faras."
"Nggak nyangka, si Faras pacarannya kek gitu. Mau an aja di pinterin cowok!."
Gue beberapa kali mendengarnya dan mengancam mereka jika sampai berani berkata begitu didepan Faras, kekasih gue waktu itu!.
"Aku suka bakso mang Alle deh," gue merajuk ketika itu, ingin dibelikan bakso tapi tidak dapat meninggalkan perkumpulan dan bertepatan ketika dia sedang di luar untuk kerja kelompok.
"Bee, bakso mang Alle lagi nggak buka. Bakso biasa kantin aja ya. Nanti aku minta bang Dul anterin baksonya ke kelas kamu. Aku lagi ada kerja kelompok."Katanya waktu itu dari sebrang telepon.
Faras akan menjawab singkat dan membawakan gue pesanan itu, selalu. Dia sangat memanjakan gue dan gue yang buta akan itu, sekarang gue sadar. Disini, guelah yang tidak tau diri.
Kemudian, semua itu akan gue ganti dengan hal manis, membawanya ke tempat yang asri, tempat favoritnya adalah hutan yang tenang. Semua wallpaper ponsel dan leptop maupun komputernya adalah hutan.
Faras sangat suka ketenangan dalam hutan, tiap angin yang berhembus membelai kulit, Faras resapi sambil memejam mata menikmati. Hal itu selalu gue amati ketika itu.
Gue sering membawa Faras kesana, walau akhirnya gue lah yang merusak ketenangan terfavorit Faras.
Hanya karena lelah mengawali dan merasa butuh sesuatu yang memicu adrenalin. Gue berselingkuh dan memutuskan pertunangan kami dihadapan banyak orang waktu itu, seakan Faraslah yang bersalah dalam hubungan kami.
Gue masih ingat, kedua pasang matanya berkaca-kaca waktu itu.
"Oh... Kalau gitu, kamu bisa bicara dengan ayah aku.... dan ini..."
Dia melepas cincin pertunangan kami dan memberikannya pada gue.
"Parah sih... emang Faras juga yang salah, dia jadi cewek kagak jaga cowoknya."
"Nggak cocok juga Faras sama si Gibran, syukur deh mereka akhirnya putus."
"Pada akhirnya sadar juga si Faras, nggak sepadan sama Della. Di tampar kenyataankan setelah sadar dia terlalu sombong!."
Sialan!.
Gue merenggut sejumput rambut untuk gue jambak, melampiaskan kekesalan dan penyesalan gue. Ketika mengingat bisik-bisik dari mereka, gue salah karena memutuskan Faras didepan banyak orang waktu itu.
Gue salah, karena membawa selingkuhan gue didepan dia dan diantara banyak orang yang tidak tau apa-apa. Itu semua hanya membuat persepsi mereka kepada Faras tidak lebih berharga dari selingkuhan gue waktu itu.
Della. Sudah lama gue tidak berkunjung kerumah, gue lupa untuk pulang hanya karena mengejar Faras. Della tidak se agserif sebelum dia melahirkan, dia tidak lagi posesif, dia lebih banyak mengabaikan gue setelah melahirkan.
Setelah anak gue dikebumikan, dia abai. Sikapnya benar-benar berubah dan gue malah bersyukur akan itu.
Menguntungkan gue, gue senang dan tidak ada beban hati untuk mendekati Faras kembali.
.
.
"Papa nggak tau harus meyakinkan bagaimana lagi, tapi dengan memenangkan tender besar ini. Kamu bisa mendapatkan setidaknya 75% suara para direksi dan pemegang saham. Sisanya kamu tinggal mengambil kepercayaan mereka. Kakakmu sekarang sedang tidak stabil, kerjaannya banyak terbengkalai karena kesalahan dia sendiri mengabaikan tunangan yang ternyata berstatus istri siri itu."
Papa mengambil napas pelan sambil menggeleng tidak percaya di kursi kerjanya, dihadapan gue.
"Dia adalah anak yang paling susah diatur, tapi papa juga nggak ingin dia begini. Istrinya kabur dengan masih berstatus siri, dia juga tidak ada kabar menikahi Deilla. Dia tidak info kepada keluarga kalau dia menikahi Deilla secara siri, kelakuannyalah yang patut disalahkan. Sangat tidak menghargai istri dan keluarganya sendiri!!."
Gue diam begitu juga papa yang terlihat lebih tua karena tekanan dari banyak pihak.
"Jadi... aku mulai masuk kantor minggu depan?."
"Ya. Minggu depan dan sekarang kamu hanya perlu audit ke divisi kamu, untuk tau banyak sebelum terjun langsung didalamnya. Berkenalan dengan anggotamu agar persentasi nanti kamu bisa menyiapkan berkas tawarannya dengan baik."
Gue mengangguk kemudian beranjak sambil membenahi jas yang gue kenakan saat ini.
"Panggil Doni jika ada kesulitan selama kamu audit di perusahaan." Ujar papa menyebut sekretarisnya.
Gue pamit dan berjalan menuju pintu keluar kantor papa namun terintrupsi ketika papa memanggil lagi nama gue.
"Papa percaya sama kamu, jadi buat yang terbaik."
.
.
Entahlah, sudah berapa lama gue bekerja. Yang gue tau ini sudah terlewat tiga bulan setelah pesta itu. Setelah pertunangan yang di gandrung-gandrung di televisi. Pengusaha blasteran Indo-Korea melamar anak pengusaha keluarga Mahendra.
Untuk mengalihkan pikiran gue dari berita itu adalah bekerja dan bekerja. Berangkat lebih pagi dan pulang paling akhir. Kemudian berkumpul dengan teman gue di apartemen dan berakhir mabuk sempoyongan. Paginya gue akan muntah dan kepala ini akan terasa layaknya di hantam palu.
Sekarang sudah hampir pukul sepuluh malam ketika gue keluar dari gedung perusahaan menuju basement.
Duduk dengan lelah yang mengegrogoti tubuh, gue bersandar pasrah pada sandaran kursi mobil. Menyalakan mesin dan menjalankannya menuju rumah orang tua gue, tadi papa menelpon agar gue pulang kerumah utama.
Ada sesuatu yang perlu mereka rundingkan. Sebenarnya telepon papa, ada sebelum pukul delapan, tapi gue terlalu malas. Gue hanya sedang mencoba lebih paham tentang perusahaan. Gue masih di pandang sebelah mata oleh para direksi dan pemegang saham.
Papa sempat menyinggung soal pertunangan kakak kedua gue, bang Keenan. Tapi gue rasa itu tidak hanya sekedar pertunangan. Karena di lihat bagaimana kakak kedua gue itu posesif sekali dengan kekasih yang lebih muda dari gue.
Tidak seperti yang kalian pikirkan kok. Kakak kedua gue akan menikahi perempuan di atas dua puluh tahunan, bukan muda seperti yang kalian kira perempuan dibawah umur.
Ini adalah akhir tahun membahagiakan sekaligus menyedihkan bagi sebagian besar umat di bumi. Tidak ada salju di akhir tahun, ingat. Ini Indonesia beriklim tropis, bukan daerah eropa dan negara beriklim dingin.
Dalam perjalanan ada banyak hal-hal berbau akhir tahun dan natal, pohon natal, santa claus dan hadiah untuk natal. Banyak sekali.
Di luar terlihat ramai dan bahagia. Tentu saja. Mereka menyambut akhir tahun bersama hari natal yang menyatukan mereka yang jauh, mereka yang di cinta, mereka yang berkumpul untuk satu pertemuan membahagiakan.
Gue memarkirkan mobil di garasi dan berjalan keluar menuju rumah.
"Tumben pulang, den." Sapa mang Riki yang membukakan pintu mobil gue.
"Di telepon papa mang."
"Owalah, pantes aja balik ya. Hehehe, yaudah den, saya balik ke gerbang ya."
Gue mengangguk menanggapi dan kembali berjalan, masuk kedalam rumah yang tiga bulan tidak gue singgahi sama sekali jika tidak mama yang merecoki gue dengan mendatangi kantor.
"Nggak sekalian kamu kesininya besok!." Suara mama adalah sapaan pertama ketika gue duduk di sofa yang berisikan keluarga gue, kecuali kakak pertama yang sudah pasti tidak berada disini.
"Setelah patah hati, sepertinya Gibran akan mengikuti jalan ninja mas Damar."
"Husss!! Ngasal kamu kak!. Jangan ya, jangan sampai anak mamah berlaku bodoh kaya mas Damar.--"
"Mahhhh!. Anak bungsu baru balik itu di tanya, di sapa. Ini kok malah pusingin yang nggak-nggak."
"Ya gimana nggak mikir yang iya-iya begitu, orang kamu aja begitu tohh?."
"Mah, udah dulu. Kita mau bahas Pesta lamaran Keenan sekaligus merayakan ulang tahun Gibran bersamaan." Suara papa buat gue langsung menegakkan punggung yang lelah.
"Pa... apa harus dirayakan begitu?."
"Perlu, kamu perlu menyatakan pada dunia bagaimana pekerjaan kamu dalam perusahaan. Akan banyak kolega papa disana, kamu perlu gunakan komunikasi kamu dengan baik untuk merayu dan menarik perhatian mereka ke kamu."
"Apalagi kolega abang kamu juga akan datang disana, itu kesempatan emas sebelum tanggal pergantian bulan naga. Karena ketika itu datang kamu harus memiliki kedudukan dan kekuatan kuat, keluarga Lee dapat mengguncang banyak perusahaan jika sampai itu terjadi."
"Abang sekalipun tidak akan bisa menolong perusahaan, kamu harus menarik dan menimba kekuatan untuk menopang perusahaan." Gue menatap abang yang juga ikut menimpali.
Gue ingat, bulan naga. Bulan menengangkan bagi para perusahaan raksasa yang bernaung dibawah penguasa bisnis dunia. Walau dalam majalah-majalah tercatat kekayaan mereka masuk dalam nominasi sepuluh orang terkaya, itu hanya kedok.
Bahwasannya mereka lah pemegang kunci setiap perusahaan.
.
.
Pesta yang mewah dan menghabiskan banyak dana. Tentu saja ini semua dari uang kakak kedua gue, dia yang ingin melaksanakan lamaran ini di selenggarakan secara tertutup. Hanya para tamu pemegang kartu undangan yang dapat masuk.
Dia tidak ingin orang tidak penting dan media mengetahui perayaan membahagiakan ini. Dia lumayan mengundang banyak teman dan kolega pun klien pentingnya.
Namun sejujurnya gue muak berada disini, gue terbiasa dengan pakaian bebas yang gue gunakan, apapun yang nyaman. Bukan bersikap palsu dan menggunakan jas armani mahal, tersenyum, menyapa dan berbincang persoalan perusahaan.
Bisnis seperti ini terkadang memiliki sisi gelap selayaknya lingkaran setan dan akan sulit untuk lepas, seperti perusahaan milik papa sekarang. Itu sebabnya kakak kedua gue memperkuat bisnisnya, bekerja sama dengan orang-orang yang tidak tergoyahkan untuk mem-backup.
Jikalau ada masa, perusahannyalah yang dijadikan kambing hitam, dijadikan boneka dalam jerat hukum oleh pemilik bulan naga.
Pintu masuk kembali terdengar ramai sampai beberapa pasang mata menatap dan menanti, siapa orang yang membuat keributan di depan sana dengan para wartawan. Sialan bukan, mereka mengejar keluarga kami untuk mendapat berita sampai ke negeri orang.
"Siapa yang datang..."
"Ohh... keluarga Lee ada disini, liat itu!."
"Ahhh.. cucu keluarga Lee memang tidak pernah ada tandingan."
"Muke gilee. Lu liat itu, mereka membawa pasangan semua. Fuck, kita semua telat."
"Selagi janur kuning belum melengkung, gunungpun akan ku daki. Bodo amat jadi selingkuhan juga oke gue, kalau jadi simpanan keluarga Lee yang berduit dan berkedudukan begini mah!."
Sudah, gue malas mendengar para kumpulan perempuan yang membicarakan keluarga Lee yang datang. Ada Farrel dan Salma yang jalan bersisian, tentu saja. Terakhir adalah Abiandra dengan Faras yang datang dengan gaun yang memperlihatkan pundak dan punggung ringkih itu.
Mendadak semua keributan itu menghilang dari pendengaran gue. Semua indra gue tertuju pada Faras yang tersenyum sambil menggandeng Abi menuju kakak kedua gue dan papa.
Gue terpaku ketika sang sepuh keluarga Lee memberi selamat pada kakak dan gue. Di lanjut dengan Salma juga Farrel, mereka berdua hanya melakukan formalitas kemudian berbalik mengatakan ingin menyapa teman yang lain.
"Gue sama Farrel ke meja dessert, nanti nyusul kesana!." Salma berucap dengan nada menekan diakhir kalimat.
Wajah mereka sangat jelas terlihat tidak suka melihat gue, sudah pasti.
"Selamat pak Keenan, akhirnya anda tidak lagi melajang."
"Tentu, terima kasih karena telah menyempatkan diri untuk datang kesini."
"Tentu saja, aku kesini membawa cucu kesayangku. Kenalkan, Abiandra Lee dan pasangannya, Farasya Mahendra."
"Hi. Selamat ya pak,"
"Selamat bang, jangan garang-garang ya ke calon." Kemudian semua orang tertawa akan guyonan Faras.
Sebab di liat sedari tadi, kakak kedua gue ini tidak mau melepas pelukan pada pinggang calon istrinya. Sama sekali, kecuali jika calon istrinya ke kamar mandi, makan di kursi, itupun masih di pepet oleh kakak gue.
"Saya cuman takut calon saya di gaet lelaki lain, tau sendirilah. Jiwa posesif nggak bisa di ganggu gugat. By the way, kemana tunangan kamu?."
"Dia datang telat, makannya aku datang duluan sama Abi dan kakek Lee."
"Dia sudah ku anggap seperti cucu sendiri, jadi ketika dia merengek ingin ikut. Kakek tua ini tidak bisa menolaknya-Hahahaha." Kepala keluarga Lee menepuk pundak Faras pelan mebanggakan Faras secara tidak langsung.
"Oh... dan selamat ualng tahun untuk kamu, Gibran. Saya dengar kamu adalah kakak tingkat dari cucu saya ya."
"Benar, saya kakak tingkat Abi dan Faras." Kakek Lee mengangguk-anggukkan kepala dan mulai membahas bisnis tanpa menyinggung status gue dan Faras, dulu.
Padahal setahu gue, waktu itu cukup membuat banyak orang terkejut tidak habis pikir ketika tau gue dan Faras membatalkan pertunangan yang otomatis memutus perjanjian bisnis antar dua keluarga.
Dan sampailah pada bagian keduanya menyalami gue. Tapi Faras hanya tersenyum singkat dan membawa Abi menjauh dari gue sedang gue tidak dapat meninggalkan kepala keluarga yang sudah berumur hampir se-abad ini begitu saja. Keluarga Lee adalah peluang besar untuk mencari dukungan dan investasi besar.
Ini peluang gue, pada akhirnya gue hanya bisa pasrah.
.
.
"Sepertinya, kita memang tidak bisa meneruskan hubungan. Aku mengembalikan cincin ini dan pakaianku sudah kembali ke apartemen milik aku sendiri. Mama belum tau kalau kamarku sudah kosong. Tolong beri tahu mama secara perlahan dan ucapan maafku pada mama."
Gue manatap hampa pada cincin yang baru saja Della kembalikan pada gue. Sesuatu yang retak itu terdengar, tapi kenapa gue tidak merasa sakit. Tanpa sadar gue memegang bagian dada gue, disana jantung masih berdetak beraturan tanpa ada debaran kehancuran, kosong.
Gue belum juga mengangkat kepala, walau kaki Della sudah tidak terlihat dalam pandangan mata. Gue masih tetap disana, ditaman yang sepi dengan keramaian didalam ballroom.
Sampai gue mendongak untuk menatap langit malam, kegelapannya yang pekat adalah mutlak dalam pandangan gue. Hamparan bintang memandang gue yang tengah ditinggalkan, kemudian nyeri itu mulai ada.
Titik embun dalam pelupuk mata gue mulai terasa akan jatuh. Begini rasanya di tinggalkan walau gue tidak mencinta. Della mengisi lembaran hidup gue selama beberapa waktu, munafik jika gue tidak menaruh rasa yang lain bersamanya.
Munafik jika gue berkata tidak ada rasa selama bersama, munafik sangat. Selalu ada percikan rasa tiap kali gue bersama namun selalu ditolak oleh logika gue. Sebab hati gue masih di rajai oleh Faras sampai sekarang.
Gue menoleh dan tertegun. Dua pasang mata itu melihat kearah gue yang baru saja meneteskan air mata. Dia berdiri tujuh meter dari posisi gue berdiri, dia memeluk dirinya sendiri namun matanya menatap nanar kearah gue penuh rasa iba.
"Ra... Aku baru saja ditinggalkan..."
Gue memegang dada dengan terus menatap kearah Faras.
"Ternyata menyakitkan ya... Pantas kamu tidak bisa memaafkan aku. Sulit rasanya menerima. Maafin...aku..."