"Sial, makan mie di warkop itu paling enak. Tapi anehnya kenapa mie buatan sendiri nggak bisa seenak di warkop ya?." Suara Farrel berkumandang.
"Ini sih nggak bisa tertandingi, mie di restoran juga kalah." Di lanjut Salma yang menyeruput nikmat.
"Pokoknya kalian perlu cobain mie warkop mang Dadang di jalan persimpangan menuju roma. Rasanya tuh enak bangettt, legit dan nikmat. Number wahid lah." Ini suara Abi yang menyeruput hiperbola selayaknya selebgram endors mie kuah.
Kami berempat berada diwarkop langganan kami, warkop mang Dadang. Setelah Salma berkata bila dia butuh keluar untuk menjauh dari permasalahan keluarganya yang tengah terguncang akan perselingkuhan ayahnya.
Seorang pengusaha tambang, Salma sempat mengunci diri dirumah selama dua minggu karena hal itu. Sebab dialah yang menemukan ayahnya tengah jalan-jalan dengan perempuan lain di sebuah mall besar.
Melihat itu dia segera melabrak dan menjambak wanita murahan itu. Dia memaki dan menangis dihadapan ayahnya waktu itu.
"Bunda gue menangisi hal ini gara-gara lo. Anj*ng!!."
Maki Salma waktu itu dimana gue juga ada disana. Gue menarik tubuh Salma yang meronta gila, seakan ingin membunuh wanita yang ada dalam pelukan ayahnya.
"Tega lo ama bunda gue?!! Apa nggak ada laki-laki lain sampe ayah gue lo embat? Kenapa harus ayah?..."
Dan dengan itu ayah Salma memisahkan istri mudanya, menjauhkan dari jangkauan anak bungsunya. Situasi keluarga Salma waktu itu benar-benar buruk apalagi beritanya sampai viral, karena semua orang seakan lupa privasi setiap umat manusia sejak menggunakan smartphone canggih.
Percayalah, kadang kala kalian perlu menurunkan kamera ponsel, memperhatikan dan mendengarkan. Karena kebenaran tidak bisa hanya sekedar di liat saja.
"Git. Lu mau nambah kagak?. Anak lu gapapa tuh, makan mie malam-malam begini?."
"Nggak deh. Ini juga cukup, anak gue cuma dikit doang makan mie nya. Soalnya belum makan dia, laki gue udah murka nggak jelas dirumah. Jadi gue sampe lupa kasih makan anak gue."
Ada tambahan anggota disini beserta balita berumur dua tahun yang duduk di sebelahnya. Inggita beserta anaknya ikut serta. Sebenarnya alasan lainnya juga, kenapa tiba-tiba kami berempat makan di warkop adalah karena kadatangan Inggita yang mengetuk pintu dengan memar di bagian wajah.
Inggit datang kerumah gue dengan jeans kebanggannya yang ketat beserta kaos hitam polos lengan pendek dengan anaknya yang menangis dalam gendongan.
Kalian tau apa yang dia katakan ketika masuk kedalam rumah dan gue tanyai, dia menjawab.
"Laki gue gebukin gue,"menjawab biasa seakan sudah jadi hal lumrah baginya.
Gue bertanya kembali memastikan apa alasannya, tapi dia tidak menjawab dan malah menenangkan anaknya. Tentu gue tau privasinya, jadi gue berhenti bertanya dan membiarkan Inggit dirumah gue sampai gue memberi kabar Abi, Farrel dan Salma.
Segera mereka datang berbondong-bondong seperti burung ababil. Canda ya.
Mereka segera datang untuk menghibur Inggit, lebih tepatnya anak Inggit. Sejujurnya gue respek sangat dengan orang bersifat seperti Inggit, dari luar dia terlihat angkuh dan sembrono. Menginjak apapun yang menghalangi, dia tipe teman yang jarang menceritakan kegalauan maupun sad story sampai menangis darah pada teman.
Inggit mungkin akan bercerita, tetapi sambil tertawa dan memaki lucu. Menertawakan hal buruk yang dia alami.
Sehabis itu kami semua pulang menuju rumah gue dan menginap. Karena ayah dan mama juga belum pulang jadi gue mengijinkan semuanya menginap, membiarkan Inggit dan anaknya mengisi kamar ruang tamu dan membiarkan teman-teman gue menonton film di ruang keluarga.
Farrel mulai heboh lebih dulu, dia suka film bergenre adventure, action dan hal-hal berbau hewan buas lah ya. Dari ular piton raksasa sampai aligator jaman purba, dia paling suka itu.
Beda sama Abi dan Salma yang suka film killer kaya psikopat yang suka kopet dan suka susah matinya dalam film.
"Coba nonton film Aligator, seru keknya. Bikin menegangkan malam jumat begini, cuy!." Pinta Farrel sambil memeluk cemilan yang dia ambil dari kulkas.
"Burung lu yang tegang."
"Eh, manuk dadali. Jangan suka asal ngomong lu, ucapan itu dijaga jangan malah di obral."
"Ngomong apasih, gue nggak paham sama istilah sangsekerta."
"Gue pake bahasa Indonesia by the way, bukan sangsekerta Jamal!!. Kadang susah sih kalau ngomongnya sama tutup panci, suka gagal paham.---Nggak kena oyy!!."
Farrel menangkis bantal yang Salma lempar kemukanya dan gue tertawa. Sumpah, kadang mereka itu se receh ini, sampai gue ngakak liat kelakuan mereka. Candaannya kadang nggak akhlak, sampai kena teguran sama si Abi.
Sedang Abi anteng banget scroll layar tv gue yang menggunakan aplikasi film N, mengabaikan Farrel dan Salma yang bertingkah.
.
.
"Kita dapat undangan untuk pesta perayaan lamaran salah satu cucu Nugraha, beserta ulang tahun cucu bungsunya...Apa lo mau ikut. Ras?."
Abi bertanya pelan, menatap gue menilai, menunggu jawaban begitu juga Farrel dan Salma.
"Entah, gue mungkin ikut tapi nggak sama kalian. Pastinya Daniel juga diundang dan akan datang, gue tunggu kabar dari dia dulu."
"Ok." Ketiganya serempak menjawab.
"By the way. Si Inggit beneran dah tidur kan?. Jangan sampe dia nguping dan memulai gosip yang enggak bener setelah dateng kesini. Kalau bisa, lu nggak usah terma tamu orang yang cuma kita kenal dari nama aja." Itu suara Abi yang pandangan matanya masih kedepan layar Tv.
"Bener kata Abi. Kita nggak tau itu beneran di gebuk lakinya atau gimana, sedang dia aja lu tanya nggak mau menjawab kan?." Tanya Salma dan gue mengangguk.
"Tapi mungkin itu privasi, makannya dia nggak mau menjawab."
"Halah, privasi mata mu!. Gue tau orang kaya gimana cewek-cewek yang kelakuannya kaya si Inggit ini, udah keliatan banget. Dia bisa jadi cepu!! Jadi nggak bisa di deketin apalagi dijadiin temen curhat!."
"Nah, ntu. Betul sangat kata Abi ini.--Eh, bentar." Salma mengecek teleponnya dan melihat siapa nama kontaknya.
Gue melihat reaksi kecil yang aneh, tapi gue nggak mau curiga.
"Gue ke balkon kamar lu ya. Mau nelpon dulu, orang penting nih!."
Gue mengangguk, Salma langsung hengkang sambil meloncat-loncat girang menuju kamar gue.
"Gila dia. Kayanya pacar baru, tapi aneh kalau liat gelagat dia. Sama sekali nggak menolak tiap kali ada telepon sama chat pacarnya. Dijawab 24 jam, non stop." Ujar Farrel yang juga merasa curiga dengan gue.
"Iya. Gue juga ngerasa aneh, biasanya kalau Salma punya pacar itu pasti tiap kali kita ngumpul di telepon pasti dia matiin atau kasih kabar aja. Terus udah, hp nya dia tinggalin." Gue ikut berspekulasi dengan Farrel.
Perubahan Salma terjadi sejak dia akhirnya mau keluar rumah setelah ayahnya ke-gap jalan dengan selingkuhan yang baru dinikahi ayahnya.
Tapi ada yang aneh disini, Abi yang biasanya akan berbicara dan mengomentari hanya diam tidak ikut menanggapi. Gue manatap kearahnya untuk beberapa saat sampai dia menyadari pandangan mata gue, dia menoleh dan balas manatap tidak terbaca.
.
.
"Gimana?."
Abi bertanya pada gue, dia tengah menunggu jawaban pasti dari Daniel. Akan menjemput gue atau tidak, tapi kabar yang gue dapat sangat mengecewakan dan gue merasa sedih akan hal itu.
Daniel batal datang dan rasanya gue ingin menangis. Kenapa tidak mengabari sedari tadi, bukan ketika detik-detik akan berangkat. Gue sudah akan menangis, gue sudah rapih dengan gaun cantik yang sengaja gue pilih senada dengan Daniel.
Dia berkata berhalangan datang, laki-laki sialan. Biarkan saja, gue akan mendiamkan dia, akan gue kasih dia ganjaran karena membatalkan janji. Untung Abi yang berperasaan ini selalu memikirkan gue, dia datang bersama mobil dan supirnya menjemput gue.
Bayangkan, ini negara orang dan Daniel dengan mudahnya membatalkan datang. Apa kabar gue nanti didalam hotel. Sungguh menyedihkan jadi gue kalau Abi tidak datang untuk melihat keadaan gue.
"Untung gue datangkan, yaudah. Berangkat bareng gue aja, dari pada lo nggak jadi datang tapi sudah rapih seperti sekarang ini. C'mon, kita berangkat."
Abi memberikan lengannya dan gue menyambutnya dengan hati yang masihlah tidak karuan. Kesal, marah, tidak terima dan sedih menjadi satu mengingat Daniel.
Si om-om girang ini kurang ajar, kalau memang mau tidak datang beri tahu kabar tadi siang atau sore tadi. Bukan ketika dia sudah rapih dan siap berangkat.
Kami masuk kedalam mobil dan mulai berbincang seputar pekerjaan yang sudah dimulai oleh Abi di perusahaan milik kakeknya. Tentang keluarga besar yang mulai mengeluarkan ketidak setujuan mereka, karena Abi mendapat bagian paling banyak dari kekayaan kakek Lee.
Uh, gue mendadak merasa beruntung menjadi anak tunggal. Tidak, gue lupa. sebentar lagi gue akan mempunyai adik. Tapi itu tidak apa-apa. Ayah dan mama tidak begitu dekat dengan sanak saudaranya, hanya adik bungsu ayah yang sering mengunjungi rumah.
Sebab hanya bibi Kayla yang tidak merecoki harta benda ayah selama ini. Yang suka mengirim pesan.
"Wayahna, lagi ada duit berbagi dengan saudara."
Cih, tidak tau diri. Ketika ayah sedang dalam masa krisis keuangan pada perusahaan, apa mereka ingat ayah dan membantu?. Mana ada!. Yang ada mereka menjatuhkan. By the way, keluarga ayah adalah asli sunda dan ibu gue blasteran eropa.
"Ayo turun. Tegakkan kepala lo, buat orang didalam sana terpaku sama lo yang udah berubah. Buat mereka menyesal dan tidak dapat melihat kekurangan lo. Lo bersama cucu kesayang keluarga Lee, jadi bisa lo jadikan ajang kesombongan." Abi berucap sambil menggandeng gue turun dari mobil menuju gedung pesta.
"Baik tuan, akan saya laksanakn." jawab gue hiperbola sambil mengangguk senang kearah Abiandra.
.
.
Setelah memberi selamat dan sedikit guyonan gue memilih mengajak Abi pergi dari hadapan Gibran yang terus menatap gue tanpa tau malu.
Uh, gue sangat tidak nyaman dengan itu.
"Dimana si Salma sama Farrel?." Gue mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan dan menemukan Farrel tengah mengobrol dengan perempuan mungil yang tingginya mungkin setelinga gue, yang otomatis lebih pendek dari gue.
Lucu, sebab si perempuan terus mendongak dengan wajah kesal kearah Farrel. Gue reflek mendekat karena kepingin tau.
"Disini lu ternyata, lagi sama siapa nih?."
"Tuhkan, bener kan mbak. Pendeknya hampir sama kaya mbak!."
Eleh, si kampret. Malah nghujat tinggi badan.
"Eh. Tutup limun!! Sekate-kate lu ngomong. Gue aduin abang lu, tau rasa julidin kakak ipar sendiri."
"Sana aduin!. Palingan situ di embat abang sampe nangis--hahahaha. Ets!! Tidak kena," ujar Farrel yang begitu senang menjahili perempuan dihadapannya yang ingin memukul kepala Farrel namun tidak sampai.
"Kenalin, ini kakak ipar gue. Kawinnya dadakan jadi gue nggak sempet undang-undang. Abang gue dah sold out ama adek-adekannya."
"Mbak, maaf. Kirain saya gebetan Farrel."
"Mana ada gebetan gue se kerdil mbak Tika. Lagian juga sebelum gue deketin, udah di depak sama pawangnya dulu!"
"Gapapa. Kenalin, Santika." Mbak Santika menyodorkan tangan yang gue terima.
"Faras, mbak. Hehehe. Kok tinggi kita hampir sama sih mbak, pasti kalau ngomong sama Farrel dan ka Farhan pasti cape lehernya, soalnya aku juga sama. Hehehe" Gue memulai basa basi dengan garing tapi mbak Tika malah ketawa dengan guyonan receh gue.
"Kan. Sereceh itu kakak ipar gue, Ras. Makhlum yee. Takutnya situ, kaget."
"Diem lu. Dari tadi ngomong terus."
"Tapi masih tinggian kamu. Kayanya kita beda beberapa senti aja. Tapi tiap kali mbak ngomong sama Abang, pasti nyuruh dia nunduk kok. Mbak cape ngdongak, leher berasa salah urat setelahnya. Hahahaha--."
Udahlah, kami ngakak parah. Dan ketika itu gue baru sadar kalau Abi tidak ada di sisi gue.
.
.
"Ternyata menyakitkan ya... Pantas kamu tidak bisa memaafkan aku. Sulit rasanya menerima. Maafin...aku..."
Gue berdiri lima meterr dari Gibran berdiri, disana tadi Gibran bersama Della. Seharusnya gue tidak mengikuti keduanya ke belakang gedung, seharusnya gue tetap didalam bersama Farrel dan mbak Tika.
Tadi, karena Abi menghilang dari sisi gue. Gue akhirnya berinisiatif mencari tapi malah menemuka pasangan yang berjalan bersisian keluar gedung. Bodohnya gue malah mengikuti dan melihat sesuatu yang membuat hati gue kacau.
Gue senang, gue bahagia atas apa yang menimpa Gibran baru saja. Della memutuskan pertunangan dan gue merasa senang sekaligus merasa jahat.
Gue juga merasakan perasaan iba meliaht Gibran yang benar-benar dalam keadaan paling buruk yang pernah gue lihat. Dia sekarang memegang dadanya, mencengkram seakan hatinya bisa dia cengkram.
Gue dapat merasakan sakit hatinya, patah hati kehilangan. Gue berjalan mendekat kearahnya. Melihat dia tengah menutup wajah frustasi penuh air mata. Gue memeluknya tanpa bisa diri gue cegah.
Tubuh ini seakan memiliki tombol otomatis yang hanya bisa dimatikan tanpa bisa di kontrol.
Gibran balas memeluk tubuh gue tak kalah erat. Dia menangis diatas pundak sempit gue dan terus mengatakan kata maaf berulang kali. Semua air mata ini adalah bendungan rusak yang sudah Gibran tahan cukup lama.
Gue tahu seperti apa Gibran. Tangisan ini adalah beban yang sudah tidak bisa dia sembunyikan lagi. Dia masih seperti dulu, menangis dihadapan gue dan menutup diri dari dunia. Dia tidak mau ke-fanaan tahu keterpurukannya.
"Maaf. Maafin semua kesalahanku. Aku salah... aku salah, semuanya berawal dari aku... kehancuran hubungan kitaa... dan semuanya... I'm so sorry,"
Gue hanya mengusap punggungnya menenangkan. Melupakan mencari Abi dan meninggalkan masa lalu tapi gue memeluk masa lalu itu sekarang.
.
.
*Author*
Faras tidak tau, ada kehebohan didalam pesta ketika masa lalu tengah ia dekap dalam peluk. Ada kekauacaun yang siap mengombang ngambing hati. Seakan semesta belumlah puas membolak balikan hatinya, tuhan masihlah pemegang nomor satu atas hati para hambanya.
Semuanya akan dimulai dari sekarang, ketika Faras memeluk sang asa bersama masa lalu.
.
.
*AKU ADA CERITA BARU. KALAU SUKA JANGAN LUPA CEK PROFILKU*
RINGKASAN_
__RUANG RASA__
"Perjanjiannya, abang gak akan punya pacar sampai kamu punya pacar dua tahun kedepan."
"Oke, saksinya Prima sekarang."
Yang disebut melongo melihat kedua kakak-adik zone yang tidak masuk akal. Tapi serius, mereka kaya pacaran tapi bukan. Mereka mesra tapi cuma adik-kakak zone. Mereka cocok tapi lain pasangan.
Nggak tau deh, mereka berdua membingungkan.
Tidak lama setelah perjanjian. Tika kenalin pacar ke abang. Nggak lama, abang ikutan kenalin gebetannya sama Tika.
Lewat dua tahun lebih, eh kok malah abang nyosorin Tika yang sudah dapet label halal?.
Loh ini kenapa? Kok bisa ya pada akhirnya kakak-adik zone ini menikah?.
Terus mulut Tika langsung dipatok abang dengan lumatan, Tika lemas. Abang kalau nyium suka melipir jauh dari bibir, ujungnya minta di kelonin.
.
.
JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK KALIAN UNTUK CERITAKU YAAA....
CERITA INI HANYA ADA DI WEBNOVEL DAN WATTPAD.
TOLONG KASIH TAU AKU KALAU ADA KESALAHAN KATA DENGAN SOPAN DAN BAIK AKAN AKU TERIMA.
SORRY ABOUT TYPO YA, AKU SUKA TYPO.