Gue mencoba tenang dengan wajah lelah dihadapan abang yang paham kalau gue sedang unmood karena banyak pasang mata yang menoleh dan menatap terang-terangan abang yang duduk dihadapan gue, mungkin beberapa orang juga mengenali siapa abang ini.
Alasan sebenarnya adalah karena gue melihat Gibran di toko bersama mama Putri ibu Gibran dan Della. Mereka layaknya keluarga bahagia yang terlihat saling mengasihi, ada kecemburuan yang muncul didalam hati gue melihat itu. Karena di dalam hati terdalam gue dan paling sudut sana, ada secuil doa untuk Gibran agar hidup bahagia dengan ilihannya.
Gue terlihat bodoh dan menyedihkan ya?.
"Sudah donk, kamu kalau unmood sangat tidak menyenangkan Rasya. Abang jadi bingung harus bagaimana bersikap." Dengan tangan yang membelai wajahku dan membuat teriakan tertahan dari pengunjung restoran korea ini melihat perlakuan abang kepada gue.
Apalagi bahasa Indonesainya sangat fasih membuat beberapa gadis yang duduk belingsakan tidak bisa diam, malah ada yang memvideokan kami dan segera mereka sembunyikan ponselnya ketika ketahuan oleh lirikan mata gue.
Dan kenapa semesta tidak berpihak pada gue saja agar tidak mempertemukan kita lagi, sepertinya dunia ini sangat sempit karena gue melirik kearah pintu masuk dimana ketiga orang yang membuat aku kehilangan gairah belanja itu masuk dengan senyum dan tawa.
"Abang udah selesai makan?. Kita pulang yuk, cape dari tadi jadi perhatian orang mulu. Abang sih kegantengan udah kaya oppa korea, tau sendiri gimana remaja Indonesia sama yang berbau korea. Seribu pulau akan kulewati untuk dapat melihat kegantengan oppa-oppa korea."Gue mencebik tidak suka untuk menutupi rasa kesal ini.
Dan sialnya mata gue dan GIibran bertemu tatap yang dimana dia tersenyum tapi gue melengos tidak peduli, untuk menarik tangan abang beranjak.
"Kamu liat siapa deh, oh-Mantan kamu?."
"Loh!!Kok abang tau?."
Gue menatap menyelidik abang yang tersenyum kikuk, kan ketahuan tuh. Kayanya stalking gue deh, masa tau mantan gue padahal waktu ketemuan dia nanya mantan dijalan enggak gue jawab. Nama saja nggak tau apalagi muka mantan gue kan.
"Eh. Abang ketahuan ya, hehehe. Nanya ke temen cowok kamu yang sewot terus kalau pulang sama abang, itu tuh siapa. Yang tajem banget tatapan matanya."
Siapa?. Farrel sama Abi kan sama saja tuh, kalau badmood natap orang udah kaya mau nyergap maling terus tinggal gebukin biar bonyok. Aduh, hiperbola banget ya gue kalau jabarin keunikan temen-temen dora the explore.
"Semua temen aku tatapannya tajem-tajem kok, apalagi kalau kita berdua mau jalan."Ungkap gue tanpa menutupi.
"Itu, yang rambutnya belah dua itu. Ponian itu, suka nyugar rambutnya."
"Oh, si Farrel kah. Kok dia mau sih jawab abang, perasaan dia kaya yang dendam kesumat gitu sama abang."
"Abang cari kelemahan Farrel biar kasih spoiler kehidupan kamu dan mantan-mantan kamu, kesukaan kamu ataupun yang nggak kamu suka. Makannya abang tau kan kamu alergi seafood, itu juga dari dia."
Wah kampret, si Farrel muka dua juga. Didepan gue dia kaya nggak suka gitu padahal dibelakang sering nerima sogokan dari abang. Mantul sangat lah, besok ketemu bakalan gue jambak habis tuh rambut kebanggaannya. Gue musuhin sekalin biar tau rasa. Dan abang ngasih tau hal ini disaat perasaan gue sedang berceceran, bagus sekali menambah bahan bakar bagi gue untuk murka.
"Abang nyogok apa ke Farrel?."
"Abang belikan PS5 dan peretelan lainnya, komputer khusus nggame dan segala macamnya. Abang nggak ngerti, cuma itu dia mintanya banyak banget."Abang melirik gue yang berjalan bersisian dengannya menuju basement.
"Tapi kamu jangan marah ya, dia nggak salah kok. Salahin abang aja ya, kan abang yang ngorek ke dia."
"Nggak bisa gitulah, dia juga salah karena malah kasih tau tanpa izin aku. Marahnya aku sama abang,"
"Yah... Chagia, hajima..."
"Bodo amat, nggak usah sok-sok an imut pake agyo korea. Nggak mempan."
.
.
.
.
Memang dasar gue umood banget akhirnya mendiamkan bnag Daniel, kekanakan memang. Tapi masa bodo, gue sengaja melakukannya agar semua orang menjuhi gue dulu agar gue dapat membenahi perasaan gue yang berceceran.
Terserahlah mau dikata apa, kenapa gue malah mengingat kembali masa lalu padahal sudah setahun. Sangat terlambat sekali, apa lagi Gibran akhir-akhir ini malah jadi sering muncul seperti menguntit gue, sebab dimanapun pasti gue akan bertemu dengannya.
Gue mendiamkan abang dan Farrel secara bersamaan, pun gue jadi jarang juga ikut kumpul kalau tidak Salma atau Abi yang datang bergatian maupun bersama tanpa Farrel. Mereka main kerumah gue, keduanya bilang Farrel tau diri dan nunggu gue mau maafin nanti dia datang.
Cih, sudahlah gue malas membahas Farrel. Gue terus scroll atas habis itu keatas. Tapi gue tidak menemukan film yang seru karena sebenanrya gue tidak suka nonton, tapi karena ini hari libur biasanya gue akan diajak main. Gue hanya rebahan di atas ranjang sampai pembantu dirumah memanggil nama gue dari depan kamar memberitahukan ada paket dua kardus cukup besar atas nama gue.
"Tunggu bi, nanti aku keluar."
Gue keluar dan duduk diruang keluarga dan sudah ada dua kardus itu diatas lantai. Melihat siapa pengirimnya gue tersenyum senang, dari bang Daniel dan dia tidak lagi menutupi nama pengirim dengan anonim.
Dengan harapan barang adalah hal yang gue inginkan, gue langsung loncat senang karena itu minyak wangi horang kaya yang sangat gue inginkan. Ada tiga, bukan satu saja minyak wanginya. Uh, nggak bisa gue bayangin kalau gue yang beli minyak wanginya.
Gue obrak-abrik lagi untuk melihat barang yang lainnya, bagaimana tidak terkejutnya gue. Sepatu dengan merk gucci yang gue pengen bersama sendal dan jaket pun baju juga celananya. Ini satu paket dan gue langsung teriak diruang keluarga senang. Loncat sana loncat sini sudah kaya kelinci, mama sampai kluar kamar dengan perut yang sudah mulai terlihat menonjolnya.
Hehehe, disana adik gue sedang tumbuh. Aduh, bahagia ya punya pasangan yang lebih tua dari kita apalagi punya uang dan kedudukan. Jadi ada adrenalin gimana gitu. Apa deh gue kaya anak remaja yang suka om-om saja, padahal gue cocok kok sama bang Daniel. Apalagi dia nggak keliatan tuanya. Dia nggak tua, tapi matang.
.
.
.
Setelah perang batin Gue akhirnya menerima ajakan Abi datang ke acara party milik temannya, tentu Farrel dan Salma. Gue sudah memaafkan Farrel, tenang saja. Jadi tidak akan terjadi baku hantam antara gue dan Farrel, leebih tepatnya gue tidak akan murka.
Acara diadakan di sebuah vila yang ada di bali sudah dibooking tiga hari tiga malam. Gue dijemput Abi kemudian menjemput Farrel kalau Salma sedang tidur dikursi belakang, dia baru saja maraton nonton episode Boruto dan sempat menangis karena spoiler dari internet kalau Naruto bakalan mati di episode 5, mungkin. Gue lupa tepatnya episode berapa dan bagaimana.
Sampai didepan rumah Farrel gue melihat abangnya sekaligus teman Gibran yang tengah memeluk pinggang seorang perempuan yang dibilang cantik tidak, tapi dia manis dan layaknya ada daya tarik yang selalu membuat gue untuk terus menatap wajah perempuan yang kemungkinan pacarnya.
"Lepas abang, ini mau ke mobil kenapa perlu peluk-peluk pinggang sih?!!."
Gue mendengar gerutuan si perempuan yang berwajah sebal terlihat manis. Kemudian abangnya Farrel hanya tersenyum terlihat sangat bahagia tapi juga terlihat gila.
"Ah sial. Maaf ya agak telat gue, itu abang gue lagi bucin-bucinnya ama adek-adekannya. Parah sih, pusing gue mau berangkat malah suruh nungguin adek rasa pacar biar gk kabur."
Farrel memulai cerita ketika bokongnya baru saja menyentuh jok mobil tanpa perlu ditanya. Wajahnya terlihat sangat kelam dan samarawut.
"Apalagi ka Tika ini non akhlak banget kampret. Rambut gue udah di tata rapih malah di jambak, untung calon kakak ipar. Kalau bukan, gue dorong sampe jungkir balik kali."
"Apanya?."
"Pacar abang guelah!!." Jawab Farrel sewot.
"Yang nanya!."
"Halah tai kucing!!."
.
.
.
Kita ada di satu vila khusus untuk kumpul, banyak makanan, cemilan dan minuman yang enak banget termasuk minuman beralkohol bagi yang minum. Gue dan Salma menjad predator mencoba sedikitnya, bukan hampir sebagian makanan disana. Meninggalkan Farrel dan Abi yang mengobrol masalah bisnis yang sangat tidak kami berdua perempuan pahami.
"Gue mau ke kamar mandi bentar ya."
Gue sendirian sambil memakan potongan buah strowbery dan semangka. Yang manis banget, ini enak. Kenapa makanan di temapt mahal seenak ini?.
Tapi sialnya, mata gue kenapa harus mendapati seseorang yang paling gue hindari tengah berlaku sangat romantis kepada pasangannya. Si lelaki memasangkan jas yang ia gunakan pada bahu terbuka si wanita. Ini memang malam yang khusus menggunakan baju formal besok malam baru kami memakai baju dengan warna tema putih di padu pastel.
"Dingin, seharusnya kamu gunakan baju yang lebih tertutup."
Si wanita hanya balas tersenyum sambil menyenderkan kepala pada bahu sang pria. Sial, kenapa sih tiap gue pergi melangkah selalu menemukan masa lalu yang sangat sulit gue hilangkan jejaknya.
"Hai, kamu tunangan Daniel kan?."
Seseorang itu bertanya menutupi pemandangan yang menyakitkan bagi gue, dia seorang lelaki putih, tinggi, kekar dan bermata sipit seperti bang Daniel. Juga perempuan yang gue kenal sih wajahnya. Sepertinya dia salah satu selegram yang diundang tapi gue lupa siapa namanya.
"Oh, aku bukan tunangan bang Daniel. Kami belum tunangan, by the way."
"Ohahaha, iya maksudku gebetan Daniel. Kasian sekali dia tidak dianggap."
Dan yang gue adalah menatap dengan wajah bertanya. Hah?.
"Kita belum kenalan nih. Saya James Kim dan ini kamu mungkin kenal Nayaka Sri Ayu, dia seorang selebgram."
Gue menjabat keduanya dengan senyum yang gue paksakan, tidak menutupi gue malas berkenalan apalgi dalam suasana yang ancur lagi.
Sayang gue tidak bisa melarikan diri karena Jmes dan Nayaka mengajak gue mengobrol perihal Daniel, mereka bercerita bagaimana Daniel yang pendiam mulai terlihat tidak mau diam dan sering kehilangan fokus jika sudah menatap ponsel. Gimana dia sangat bersemangat mencari hadiah untuk di kirim ke seorang perempuan yang ternyata adalah gue.
Kemudian melipir membahas tentang buku dan seniman, tentu gue jadi terpancing karena dua hal itu sangat gue sukai tanpa sadar gue jadi terbawa arus topik mereka. Gue tertawa karena James bercerita dengan meragakan bagaimana ia mendatangi sebuah galang dana disebuah pameran yang diperuntukan bagi anak tanpa orang tua.
Sampai Gibran dan Della mendatangi kami bertiga, dan sangat menganggu. Gue langsung terdiam ketika James dan Nayaka menyapa Gibran sedang gue bingung harus bagaimana.
"Hai... Kenalin Far, Gibran. Dia teman sekaligus suplier telur puyuh disuper market saya."
James menarik gue mendekat dengan memeluk pundak gue dari samping, gue enggan menatap langsung kearah mata Gibran yang begitu intens menatap kearah gue. Terserahlah, gue jadi malas bercakap-cakap lagi.
Kenapa Salma lama sekali ke kamar mandi, apa perlu gue juga ikut izin pergi ke kamar mandi?.
"Kami sudah saling mengenal, dia adik tingkat saya di kampus. Dan James, Faras tidak suka dipeluk dengan orang asing!."
Lu tau. Seketika kami berlima terdiam akan teguran Gibran pada James yang buat orang bingung.
"What's?. Sorry far, saya nggak tau kalau kamu tidak nyaman dipeluk oleh orang baru."
"No, no. It's oke. Aku nggak begitu peduli, kita teman sekarang bukan?. Jadi enjoy saja." Elak gue untuk menutupi rasa tidak suka yang muncul.
"Tapi kamu benci itu, Ara."
"Apa peduli lo?. Nggak usah sok tau."Benteng gue mulai rapuh untuk menahan gejolak amarah dan kerinduan secara bersamaan pada sosok didepan gue yang menatap tanpa tau malu bahwa dia yang telah membuang gue.
"Hei, benar yang dibilang Gibran Far. Nggak seharusnya gue asal memeluk lo ketika lo tidak menyambut."
"Kamu tidak harus mendengarkan ocehan dia James, dia hanya sok tau." Gue menunjuk tepat di depan wajah Gibran yang tetap menatap gue terang-terangan.
"Permisi kalau begitu"