[18 HARI MENUJU PERNIKAHAN ISA & DINA]
Pagi hari di mansion Dhananjaya, semuanya berjalan normal seperti biasanya. Di lantai 3, tepatnya di kamar Kevlar & Bunga, sepasang suami-istri itu tengah berbincang sebelum Kevlar berangkat bekerja.
"Hari ini aku akan pergi bersama ibu," ucap Bunga.
"Kemana?" tanya Kevlar.
"Ke mansion keluarga Shakiel untuk menjumpai bibi Bahira dan putri tunggalnya, Khansa."
"Shakiel? Ephraim Shakiel? Bukankah dia itu mantan rekan bisnis ayah?"
"Ya, istrinya masih berhubungan baik dengan ibu sampai sekarang."
"Untuk apa kau dan ibu kesana?"
"Ibu mendapat saran dari Raya agar melakukan perjodohan pada Arvin dengan Khansa, agar gadis miskin yang disukai oleh Arvin itu pergi dari kehidupan kita dan Arvin. Lagi pula Arvin memang tidak pantas untuk mendapatkan seorang gadis berlatar belakang kelas bawah."
"Ouh. Lalu kenapa kalian tidak mengajak Raya juga?"
"Dia sudah kami ajak, tapi dia menolak karena ada janji dengan Juliet hari ini."
"Juliet?"
"Istri Romeo, katanya dia ingin mengobrol dengan Raya di sebuah kafe, tapi entah soal apa."
"Baiklah, semoga keluarga Shakiel mau melakukan perjodohan itu. Aku pergi dulu."
"Hati-hati di jalan."
Di depan pintu masuk, Mona dan Zhani sedang berdiri menatap pintu yang jauh lebih tinggi dari mereka itu.
"Kenapa? Apa kakak belum siap?" tanya Zhani.
Moja kemudian menarik nafasnya dalam-dalam, lalu membuangnya. "Ok, aku siap sekarang."
Gadis kecil itu lantas meraih gagang pintu tersebut dan memegangnya, namun kembali melepasnya karena masih terbayang akan kejadian yang hampir merenggut nyawanya beberapa hari yang lalu.
"Apa lagi sekarang?" ucap Zhani.
"Aku tidak bisa, aku akui, aku masih takut," ujar Mona.
"Kita akan masuk untuk bertemu dengan ibu, bukan masuk ke halaman belakang dan melihat kolam. Lagi pula di halaman belakang banyak pekerja, kan?"
"Kau tidak paham."
"Tidak perlu takut, kakak, aku disini menemanimu." Zhani memeluk Mona, si sulung kemudian membalas pelukan hangat si bungsu itu.
"Kau benar, aku seharusnya tidak takut, karena kau bersamaku," kata Mona.
"Ok, ayo kita masuk," sambungnya. Baru saja Mona akan memegang gagang pintu itu lagi, tiba-tiba pintu itu terbuka dari dalam oleh Kevlar, hal itu pun mengejutkan Mona.
"Tidak apa, hanya paman Kevlar," ucap Zhani yang berusaha menenangkan Mona.
"Sedang apa kalian disini?" Kevlar bertanya.
"Kami ingin masuk, tapi kak Mona masih ketakutan," jawab Zhani.
"Apa yang kau takuti?" tanya Kevlar pada Mona.
"Kejadian itu, aku tidak bisa melupakannya dari pikiranku," jawab Mona.
"Apa hanya karena kejadian itu hampir merenggut nyawamu?"
"Itu bukan cuma sekedar 'hanya', paman."
"Aku tahu. Pasti sulit mengalami rasa trauma, kan?"
"Ya dan seharusnya paman tidak mengatakan hal itu dengan kata 'hanya'."
Kevlar terkekeh. "Maaf. Mungkin paman bisa menghilangkan rasa traumamu itu."
"Bagaimana?"
"Paman kenal seseorang dengan trauma yang sangat berat, dan paman berhasil membuatnya lepas dari perasaan itu, jadi paman berpikir kalau mungkin kau hanya perlu sentuhan Kevlar Novandiro."
"Siapa orang itu? Apa dia disini?"
"Tidak, dia tidak disini. Dia adalah kakak kandung paman."
"Dimana dia sekarang?"
"Di surga."
Mona kemudian terdiam.
"Aku minta maaf, aku tidak bermaksud untuk-"
"Tidak apa, lagi pula semuanya hanya masa lalu. Paman sudah merelakannya."
"Jadi kenapa tidak paman hilangkan saja rasa takut kak Mona sekarang?" tanya Zhani.
"Nanti saja, ini adalah saatnya paman untuk berangkat bekerja. Untuk sekarang, mungkin kau harus sedikit berani agar rasa traumamu itu justru malah takut padamu."
"Jadi menurut paman, aku harus masuk kedalam?"
"Lakukanlah jika hal itu tidak memberatkanmu. Paman tahu itu berat, tapi, tidak ada yang lebih berat dari rasa rindu. Ok, paman pergi dulu." Kevlar lantas pergi ke garasi, ia terlihat seperti pria baik-baik di hadapan anak-anak.
'Dia benar, tidak ada yang lebih berat dari rindu. Rasa takutku, sebenarnya tidak berat untuk dilawan, sebab aku pernah begitu merindukan ibuku, dan kurasa itu memang sangat berat untuk dilalui,' batin Mona.
"Mona? Zhani?" ucap Jhana yang kebetulan melihat kedua anaknya itu dari dalam, karena pintu masuk tidak ditutup oleh Kevlar.
"Ibu!" panggil Zhani. Kontan saja Mona langsung menutup mulut adiknya itu dengan telapak tangannya sendiri.
"Itu adalah rahasia!" bisiknya pada Zhani dengan nada menggeram.
Menyadari kalau anak-anaknya sedang membutuhkan kehadirannya, Jhana pun segera menghampiri mereka berdua karena ia juga sedang ingin bertemu dengan kedua bocah itu.
"Ada apa?" tanya Jhana.
"Syukurlah ibu datang menghampiri kami tanpa perlu kami masuk kedalam," bisik Mona.
"Kalian ingin berbicara pada ibu? Ibu juga, tapi ini bukan saat yang tepat sebab ibu sedang sibuk," Jhana juga berbicara dengan nada berbisik sekarang, wanita itu lalu melihat mobil Kevlar yang melaju menuju gerbang tanpa melihat ke arah mereka bertiga.
'Kuharap dia tidak mendengar teriakan Zhani tadi,' batin Jhana.
"Ok? Kalian pergilah dari sini," suruh Jhana.
"Kami hanya ingin memberitahu ibu kalau semalam kami masuk kedalam kamar ibu dan membongkar tas ibu. Kami mengambil foto kita," ujar Mona.
"Dan itulah yang ingin ibu tanyakan pada kalian, terjawab sudah. Tapi kita tidak bisa mengobrol saat ini, sekarang, kembali lah ke kamar kak Tantri dan kita akan membahas hal ini lagi nanti."
"Ok."
"Dadah," sambung Mona seraya melambaikan tangannya, Jhana lalu membalasnya kemudian menutup pintu masuk tersebut.
Ketika berbalik badan, Jhana dikejutkan dengan kehadiran Raya yang tidak disadari oleh Mona dan Zhani tadi.
"Wow, anak-anak itu memiliki ibu pengganti rupanya," ujar Raya.
Di dalam mobil Isa, tersisa Fina dan Shirina yang belum tiba di sekolah mereka masing-masing, sedangkan Arka sudah tiba di sekolahnya, dan saat ini Isa sedang membawa kedua gadis kecil itu ke sekolah Fina. Seperti biasa, suasana menjadi hening di dalam mobil tersebut setelah Arka tiba di sekolahnya, sebab Shirina dan Fina semakin hari semakin tidak akrab.
"Kalian tahu? Beberapa hari ini paman melihat kalian tidak pernah berbicara lagi di dalam mobil. Di mansion memang kalian tidak pernah berbicara, tapi biasanya kalian masih berbicara di dalam mobil ini, kenapa beberapa hari belakangan ini tidak?" ucap Isa.
"Kami memang tidak pernah berbicara. Aku hanya berbicara padanya ketika aku merasa risih dengan gerak-geriknya. Yah, aku memang selalu risih dengan kehadirannya," ketus Shirina.
"Aku sudah mencoba membangun hubungan yang baik dengannya, tapi, dia menganggap itu sebagai sebuah gangguan," kata Fina.
"Huh, bahkan permusuhan orang dewasa sedikit lebih longgar dari permusuhan kalian," keluh Isa.
"Kami tidak bermusuhan, paman. Shirina hanya tidak ingin membangun hubungan yang baik denganku hanya karena ... aku ini ... miskin," Fina membela diri.
"Ok bagus, terus salahkan aku," sewot Shirina.
"Dengar, pernikahan paman dan kak Dina tinggal delapan belas hari lagi, seminggu sebelum acara itu berlangsung, paman tidak bisa lagi mengantar-jemput kalian. Jadi selama itu, paman memiliki permintaan untuk kalian," ucap Isa.
"Apa?" tanya Shirina.
"Aku tidak mau melakukan hal-hal yang merugikanku karena permintaanmu, paman," lanjutnya.
"Paman tidak akan merugikanmu, dan kau juga, Fina, justru permintaan ini akan menguntungkan kalian."
"Apa apa apa apa apa apa?" Shirina yang tadinya tampak tak peduli dengan situasi di sekitarnya, mulai antusias ketika Isa mengatakan kalau dirinya akan mendapatkan keuntungan setelah melakukan permintaan Isa.
"Perbaiki hubungan kalian menjadi jauh lebih baik, jadilah akrab sebelum hari pernikahan paman, dan ketika hari pernikahan paman tiba, paman ingin kalian menjadi sangat akrab, tidak hanya untuk hari itu, tapi untuk selamanya," jawab Isa.
"Kelihatannya itu akan merugikanku. Aku sudan punya teman, Agatha namanya, dan aku sudah berpikir untuk tidak menambah jumlah temanku."
"Keuntungannya akan kalian dapatkan setelah acara pernikahan paman dan kak Dina selesai digelar, dan paman tidak bisa memberitahukan keuntungannya sekarang. Oh iya, Shirina, jika kau tidak ingin menambah jumlah temanmu, maka jadikanlah Fina sebagai saudaramu, ok paman tahu bahwa dia bukan saudaramu, tapi anggap saja seperti itu jika kau tidak bisa menjadikannya sebagai seorang teman."
"Dan hal itu tidak perlu paman katakan padaku juga, sebab aku sudah mencobanya dan tidak berhasil karena Shirina tidak mau," ucap Fina.
"Jujur, aku lebih tertarik pada keuntungannya," ujar Shirina.
Isa terkekeh. "Tidak apa, Fina, katakan saja kalau kau juga lebih tertarik pada keuntungannya."
Wajah Fina kemudian memerah.
"Untuk mendapatkan keuntungannya, akan ada sebuah syarat," kata Isa.
"Aku tidak mau yang aneh-aneh, paman," ucap Shirina.
"Ini tidak aneh, kok. Syaratnya adalah, kalian harus benar-benar memiliki hubungan yang baik pada hari pernikahan paman dan untuk selamanya. Libatkan Mona dan Zhani juga, karena paman tidak ingin Shirima haya akrab dengan Fina."
"Ok ..., asalkan ada keuntungannya. Boleh aku tahu, apa keuntungan itu berbentuk barang?" tanya Shirina.
"Paman sudah mengatakannya, keuntungannya masih menjadi rahasia sampai acara pernikahan paman selesai digelar," ujar Isa.
'Kupikir paman Isa akan mengatakannya jika aku bertanya sampai dua kali, tapi ternyata tidak,' batin Shirina.
"Kalian menyetujuinya?" Isa memastikan.
"Hmmmm." Shirina dan Fina kompak memikirkan penawaran tersebut.
"Aku tidak bisa mengambil keputusan sendiri jika hal ini harus melibatkan kak Mona dan Zhani, bukankah kita harus meminta pendapat mereka juga?" Fina buka suara.
"Terserah kau saja, aku sudah memutuskan, aku mau melakukan permintaan paman Isa," ucap Shirina.
"Baiklah, kita akan membuat mereka berdua memberikan jawaban mereka juga, baru setelah itu kalian bisa mulai memperbaiki hubungan kalian," ujar Isa.
"Ok," kata Fina.
Di mansion Dhananjaya, Jhana dan Raya masih dalam posisi yang sama.
"Aku terkesan, Tantri yang sudah mengenal mereka lebih lama darimu, hanya dipanggil dengan sebutan kakak oleh mereka. Sedangkan kau, belum satu minggu kau bekerja disini, tapi anak-anak itu sudah memanggilmu dengan sebutan ibu. Apa yang membuatmu istimewa?" tanya Raya.
"Aku tidak tertarik untuk membahasnya," ucap Jhana sambil melangkah menuju Raya, sebenarnya ia ingin pergi ke ruang tamu dan membersihkannya sebelum Dina datang, namun karena ia harus melewati Raya sebelum ruang tamu, terpaksa dirinya harus menghampiri Raya. Raya kemudian menahan tangan kanan Jhana saat mereka berdua berpapasan.
"Tapi aku tertarik, dan kau tidak memiliki hak untuk menolak permintaanku," ujar Raya.