Chereads / Konsekuensi / Chapter 46 - Bunuh Dia

Chapter 46 - Bunuh Dia

'Yang selalu dipegang ayah itu foto Jhana yang di ambil beberapa hari sebelum hubungannya dengan kak Rasyid terungkap, bisa dibilang itu foto paling baru Jhana yang kami punya. Ayah sangat menyayangi Jhana, sampai-sampai dia tidak bisa melupakan Jhana begitu saja meskipun semua foto Jhana disini sudah dibuang dan dibakar, dan ayah meminta untuk menyisakan foto Jhana yang selalu dipegangnya itu. Yah, ada sih satu lagi yang tersisa di kamar Isa, foto keluarga tapi, sewaktu masih ada Jhana, tapi foto itu di ambil ketika kami semua masih kecil,' ucap Bunga.

-

'Hey,' sapa Kevlar yang tampak duduk di tangga sambil memegangi uang Ny. Zemira yang ia curi. Sapaannya tentu saja membuat Jhana kaget setengah mati, sebab Jhana mengira bahwa Kevlar sudah masuk ke kamarnya, untung saja tekonya tidak jatuh.

'Y-ya, T-tuan?' ucap Jhana.

'Kenapa kau bersembunyi di bawah tangga? Apa kau mengawasiku?' tanya Kevlar dengan santainya, ayah Shirina itu masih duduk masih di salah satu anak tangga.

'T-tidak, Tuan. Saya terbangun karena kehausan dan kebetulan air di teko saya habis, jadi saya pergi ke dapur untuk mengisi teko ini,' jawab Jhana.

Ingatan Kevlar langsung memutar kembali 2 kejadian yang memberikannya sebuah jawaban dari pertanyaan besarnya. Bunga pernah menjelaskan padanya kalau foto yang dipegang oleh Tn. Farzin adalah foto Jhana, sebab Kevlar belum pernah melihat wajah Jhana ketika Jhana dewasa karena hampir semua foto Jhana sudah dibuang dan dibakar di mansion itu.

Dan tanpa disadarinya, ia sebenarnya sudah pernah melihat wajah Jhana diusia dewasa, tepatnya ketika ia mencuri uang-uang Ny. Zemira..

'Karin adalah Jhana?' batin Kevlar.

'Tapi bagaimana bisa?'

Lamunan Kevlar terbuyarkan tatkala Tn. Farzin berusaha meraih foto itu darinya, pria itu pun memberikan foto tersebut pada ayah mertuanya itu.

"Bisa tunggu sebentar disini, ayah? Aku akan kembali, sebentar saja," ujar Kevlar. Tn. Farzin hanya menjawabnya dengan anggukan pelan, Kelvar pun segera pergi dari halaman belakang.

'Dimana dia? Aku harus mendapatkan penjelasan,' batin Kevlar sambil menoleh kesana-kemari, mencari Jhana. Dan yang di dapatkannya hanya Zhani yang baru masuk.

"Zhani, apa kau melihat kak Karin?" Kevlar bertanya pada Zhani.

"Kak Karin?" Zhani terlihat lupa dengan nama samaran ibunya.

"Iya, kak Karin," Kevlar memastikan lagi.

"Hmm, tunggu sebentar." Zhani mengernyitkan dahinya, pertanda ia sedang berpikir keras.

'Ada apa dengan anak ini? Bagaimana bisa dia lupa dengan Karin?' batin Kevlar.

"Aku seperti pernah mendengar namanya, tapi aku lupa siapa. Sepertinya aku tidak mengenalnya," ucap Zhani.

"Apa? Kenapa kau berbicara melantur?"

"Melantur?"

"Maksudku kenapa bicaramu tidak jelas?"

"Aku menjawab paman dengan jelas, kan?"

"Iya, aku pernah melihatmu sedang bersama Karin, bagaimana bisa kau tidak mengenalnya?"

"Tunggu ... Karin?"

"Oh astaga! Maaf paman, aku lupa dengan nama samaran ibu," sambung Zhani dengan polosnya.

Kevlar sontak saja terkejut dengan pertanyaan bocah itu. "Nama samaran ibu?" kata Kevlar.

"Iya," jawab Zhani dengan santainya.

"Ooh! Astaga! Itu rahasia, aduh aku keceplosan," lanjut bocah itu seraya menepuk-nepuk mulutnya.

"Kenapa hal itu menjadi rahasia? Bisa kau menceritakannya padaku?" ujar Kevlar.

"Aku tidak bisa, itu adalah rahasia."

"Kalau begitu apa ini hanya rahasiamu?"

"Tidak, kak Mona, kak Fina dan ibu juga tahu."

"Maksudku, kak Karin," sambung Zhani.

"Kenapa aku tidak boleh tahu?"

"Karena itu adalah rahasia kami, bukan rahasiamu, paman."

"Lalu apa salahnya jika aku tahu? Ceritakanlah padaku."

"Tidak ada yang salah memang, tapi ..., rahasia tetaplah rahasia."

"Zhani, tidak akan ada yang berubah jika aku juga mengetahuinya, percayalah, hanya jumlah orang yang mengetahui rahasianya saja yang bertambah."

"Jadi?"

"Tidak apa, ceritakan saja padaku."

Zhani terdiam sesaat.

"Ok, kurasa tidak masalah jika paman tahu rahasia ini, karena paman adalah orang yang baik, jadi aku akan menceritakannya. Tapi mari kita berbicara di tempat lain yang lebih sepi," ucap Zhani.

'Sepertinya anak ini akan memberikanku sedikit jawaban,' batin Kevlar.

"Ayo, tapi dimana?" tanya Kevlar.

"Ikuti saja aku," suruh Zhani.

Sementara itu, di rumah makan Populer, Salma sedang dihujani pertanyaan oleh Arvin dan Yahya.

"Bagaimana rasanya setelah penampilanmu diubah?" tanya Yahya.

"Aku merasa biasa saja sebenarnya," jawab Salma.

"Apa kau merasa nyaman?"

"Ya, tentu."

"Jadi, kenapa kacamatamu dilepas? Penglihatanmu kan rabun," tanya Arvin.

"Siapa yang mengatakan kalau mataku rabun?" tanya Salma balik.

"Loh? Jadi selama ini matamu tidak rabun?"

"Tidak."

"Kupikir matamu rabun karena kau selalu memakai kacamata."

"Sejujurnya itu hanya untuk gaya saja."

"Kau bilang kacamata itu hanya untuk gaya?"

"Ya, kenapa? Aku berpikir kalau kacamata itu akan memperbagus penampilanku."

"Jujur, sebenarnya, kacamata itu tidak memperbagus penampilanmu."

"Apa? Apa menurutmu juga begitu, kak Yahya?"

"Aaaah." Yahya tampak ragu untuk menjawab.

"Jangan tersinggung, ya, sejujurnya yang dikatakan Arvin itu benar, bahkan kau terlihat lebih bagus tanpa kacamata itu," jawab Yahya.

"Memangnya itu kacamata siapa? Kenapa modelnya tua sekali?" tanya Arvin.

"Itu kacamata ayahku, aku memakainya agar merasa selalu dekat dengan kedua orangtuaku," jawab Salma.

"Begitu rupanya, maaf."

"Tidak apa, sekarang aku juga sadar bahwa kacamata itu tidak cocok untukku, karena kacamata itu adalah kacamata laki-laki."

"Yah, memang benar."

"Kau merasa lebih percaya diri sekarang?" tanya Yahya.

"Permisi, aku tidak pernah minder dengan penampilanku selama ini, jadi pertanyaanmu itu salah, kak," jawab Salma.

Yahya seketika saja terdiam dan merasa malu.

"Kau puas dengan hasilnya?" tanya Arvin.

"Puas sekali, aku jadi seperti seseorang yang berbeda, terima kasih untukmu," jawab Salma.

"Dan ucapkan terima kasih juga untuk orang yang sudah me-make over dirimu, dia pandai sekali."

"Aku tidak lupa akan hal itu."

"Hei Wanda, kenapa kau tidak berkomentar?" ucap Yahya.

"Apa pentingnya?" ujar Wanda.

"Biasanya kan kau selalu mengomentari orang lain."

"Kalau begitu aku tidak tertarik untuk mengomentari Salma."

Yahya lalu mengangkat kedua bahunya. "Terserah kau saja."

Di sebuah kafe, Raya dan Juliet akhirnya bertemu di jam yang sudah mereka janjikan.

"Ada apa?" tanya Raya setelah meneguk kopinya.

"Aku sadar, kalau seharusnya aku tidak menceritakan hal ini padamu yang baru kukenal beberapa minggu belakangan ini, tapi, aku tidak punya teman dekat, saudara-saudaraku juga bukanlah tempat yang tepat bagiku untuk mencurahkan isi hatiku, sedangkan aku sudah tidak tahan untuk tidak menceritakannya pada siapa pun," ujar Juliet.

"Hal apa yang ingin kau ceritakan? Ceritakan saja."

"Romeo berselingkuh dariku, tapi dia tidak pernah mengaku, sampai akhirnya, kemarin aku mempergokinya sedang bersama wanita itu."

"Wow, belum ada yang pernah curhat padaku tentang perselingkuhan, aku akan tertarik. Jadi, siapa wanita itu?"

"Nesha, teman Romeo semasa dia sekolah, mereka awalnya tidak pernah bertemu selsma bertahun-tahun, tapi setelah sekolah mereka mengadakan acara reuni, mereka jadi semakin dekat setiap hari."

"Kalau kau tidak senang, kenapa kau tidak bertindak?"

"Untuk apa aku bertindak?"

'Astaga wanita ini bodoh ternyata,' batin Raya.

"Apa kau suka kalau suamimu selingkuh?" tanya Raya.

"Tentu saja tidak!" Juliet mempertegas jawabannya.

"Lalu kenapa tidak kau pisahkan mereka? Kau sangat berhak untuk melakukan itu."

"Selama ini aku tidak berbuat apa pun untuk hubungan mereka, tapi setelah semuanya menjadi jelas kemarin, Romeo memutuskan untuk menceraikanku."

"Apa? Kau mencintainya kan? Lakukan sesuatu!"

"Ya, aku mencintainya, tapi aku tidak tahu harus berbuat apa untuk mencegah perceraianku terjadi dan menjauhkan Romeo dari Nesha."

"Apa yang kau lakukan ketika semuanya terungkap?"

"Aku marah besar pada Romeo, tapi dia mengabaikanku dan meninggalkan rumah semalam."

"Hanya itu?"

"Ya, dan amarahku tampaknya benar-benar tidak berpengaruh padanya."

"Kau salah bertindak, Juliet."

"Jadi apa lagi yang harus kulakukan? Aku sudah memarahinya, namun dia lebih memilih Nesha dari pada aku dan dia mengatakan kalau aku ini idiot."

"Kau tak seharusnya memarahi Romeo."

"Apa? Apa kau tidak bisa membayangkan perasaanku? Bagaimana aku hanya bisa diam disaat seperti itu? Oh, ok, kau pasti tidak bisa membayangkannya karena statusmu bukan istri orang sekarang."

"Tidak, aku paham betul bagaimana perasaanmu."

"Lalu kenapa kau sanggup mengatakan hal itu?!"

"Karena seharusnya kau melakukan sesuatu pada Nesha sebelum persidangan perceraianmu dan Romeo dimulai!"

Juliet langsung terdiam.

"Apa yang harus kulakukan?" tanya Juliet.

"Kau tidak melakukan apa pun pada Nesha kemarin?" Raya bertanya balik. Juliet menjawabnya dengan gelengan kepala.

'Romeo benar, dia idiot. Pantas saja pria itu lebih memilih si Nesha yang sepertinya lebih bagus kinerja otaknya dari pada Juliet,' batin Raya.

"Bagaimana bisa kau tidak melakukan apa-apa pada wanita itu?" ucap Raya.

"Memangnya apa yang harus kulakukan? Romeo lah satu-satunya yang harus aku beri pelajaran."

"Kau salah, Juliet. Jika kau mencintai Romeo, maka seharusnya kau tidak melakukan apa-apa padanya, tapi pada pada Nesha."

"Nesha? Tapi apa yang harus kulakukan padanya?"

"Bunuh dia."