[17 HARI MENUJU PERNIKAHAN ISA & DINA]
Pukul 05:00 di mansion Dhananjaya, Ny. Zemira, Bunga dan Raya sudah rapi untuk menyambut seseorang di ruang tamu, sambil menunggu sarapan disajikan juga memang.
"Aku tidak percaya dia bersedia untuk melakukan hal ini," ucap Bunga.
"Semuanya akan berjalan dengan sempurna, aku yakin itu," ujar Raya.
"Terima kasih Raya. Jika semuanya berhasil, itu semua berkat dirimu," kata Ny. Zemira.
"Tidak, seharusnya kita berterima kasih pada gadis itu."
"Tapi jika kau tidak mencetuskan ide itu, aku tidak akan mungkin mendapat solusi dari masalah ini."
Raya kemudian hanya tersenyum penuh kebangaan.
Jhana kebetulan lewat di depan pintu ruang tamu dan ia pun menjadi heran karena 3 wanita itu sudah sangat rapi pada saat fajar belum keluar sempurna.
Tak lama kemudian, suara bel berbunyi, Jhana pun segera berjalan menuju pintu depan dan membukanya. Ia mendapati seorang gadis yang tak dikenalnya, yang tidak lain adalah Khansa. Gadis itu segera masuk setelah Jhana membukakannya pintu dan langsung melangkah menuju ruang tamu.
"Kelihatannya kehadiranku sangat ditunggu disini," sapa Khansa pada ketiga wanita yang sedang berada di ruang tamu itu.
"Ini dia tamu spesial kita," sambut Bunga.
'Siapa gadis itu?' batin Jhana.
Sekitar setengah jam kemudian, semuanya sudah berkumpul di ruang makan, termasuk Khansa. Jhana tahu kalau gadis yang tak dikenalnya itu bakal jadi bahan pembicaraan utama keluarga Dhananjaya pagi ini di ruang makan, jadi ia menguping dari sebelah pintu ruang makan.
"Jadi semuanya, siapa yang masih ingat Khansa?" tanya Ny. Zemira.
Kevlar, Isa, Arvin, Tn. Farzin, Arka, Shirina hanya celingak-celinguk setelah Ny. Zemira melontarkan pertanyaan tersebut.
"Aku yakin kalian lupa padanya. Arvin, Isa, Khansa ini adalah putri tunggal dari paman Eph dan bibi Bahira, kalian pasti ingat pada mereka berdua," sambung Ny. Zemira.
"Paman Eph? Ephraim Shakiel?" Isa bertanya.
"Ya! Itu dia! Ibu yakin kalau ayahmu juga pasti mengingatnya."
"Halo semuanya," sapa Khansa.
"Kakak, kau cantik sekali," puji Shirina.
"Ah, terima kasih sayang, kau juga cantik," balas Khansa.
"Apa yang gadis ini lakukan disini?" tanya Arvin.
"Sekedar silahturahmi, tidak salah, kan?" jawab Khansa.
"Bukannya kau dan keluargamu tinggal di Jakarta?"
"Tahun lalu kami pindah ke Jogja untuk menikmati suasana yang lebih tenang. Dan kebetulan sekali kami bisa bertemu lagi dengan bibi Zemira yang menghubungi ibuku beberapa waktu yang lalu. Ibumu kemudian mengajakku untuk ikut sarapan disini hari ini."
Arvin kemudian menatap Ny. Zemira.
'Gadis ini ... pasti dia alat untuk memisahkan aku dari Salma. Mudah sekali untuk ditebak,' batin Arvin.
Ny. Zemira lantas kembali mengingat saat Khansa mau untuk melakukan perjodohannya dengan Arvin.
'Kita harus berbohong pada semuanya, dengan mengatakan bahwa Khansa sudah dihamili oleh Arvin,' ucap Ny. Zemira.
'Apa?' kata Ny. Bahira dan Khansa.
'Kenapa kita harus sampai sebegitunya untuk membuat Arvin menerima perjodohan ini?' tanya Ny. Bahira.
'Karena Arvin adalah orang yang pendiriannya sangat kuat, sulit untuk membuatnya berpaling dari gadis itu kecuali dengan cara ini,' jawab Bunga.
'Tapi, bukankah itu terlalu ekstrem?'
'Tidak ekstrem jika kita melakukannya pada Arvin.'
Ny. Bahira lalu mengenyitkan dahinya.
'Dia memiliki gaya hidup yang kurang baik di masa lalu, tapi sekarang dia sudah berubah karena calon adik iparku. Jadi kami ingin memanfaatkan gaya hidupnya dulu untuk menciptakan sandiwara ini,' sambung Bunga.
Untuk 3 menit selanjutnya, suasana menjadi hening.
'Kenapa kita tidak mencoba cara lain saja? Cara ini terlalu beresiko,' ujar Khansa.
'Seperti apa? Aku bahkan tidak bisa memikirkan cara apa pun. Cara ini adalah ide menantuku,' papar Ny. Zemira.
'Tapi kehormatan keluarga kita dipertaruhkan untuk hal seperti ini,' sanggah Ny. Bahira.
'Kehormatan siapa pun tidak akan dipertaruhkan jika hal ini tidak sampai terdengar oleh wartawan,' ucap Bunga.
Kemudian suasana menjadi hening lagi.
'Tolong, bantu kami. Kami bahkan akan sangat setuju jika Khansa menikah dengan Arvin,' Bunga masih mencoba untuk meyakinkan Ny. Bahira.
'Sudah kupikirkan. Aku menolak perjodohan ini, aku tidak akan melakukan cara gila ini,' Ny. Bahira memberi jawaban.
'Tapi pikirkan lagi,' ujar Ny. Zemira.
'Zemira, aku sudah punya cukup waktu untuk berpikir, dan aku sudah memberikan jawabanku. Kehormatan putriku lah yang paling berada dalam posisi berbahaya jika semua orang tahu tentang 'kehamilan' ini.'
'Maka dari itu kita harus benar-benar merahasiakan hal ini,' Bunga belum menyerah.
'Kita bukan orang sembarangan, Bunga. Kita tidak bisa membuat orang lain tetap tidak mengetahui 'kehamilan' ini!'
'Bahira, tolong ...' pinta Ny. Zemira.
'Tidak, Zemira, aku lah yang seharusnya meminta tolong padamu untuk tidak memaksaku. Mungkin kalian bisa pergi sekarang.'
Bunga dan Ny. Zemira kemudian hanya bisa diam.
'Baiklah, kami permisi, terima kasih karena telah melayani kami dengan baik,' ujar Ny. Zemira seraya bangkit dari duduknya. Ia lalu berjalan keluar dari ruang tamu, di ikuti oleh Bunga.
'Tunggu!' sergah Khansa ketika Ny. Zemira dan Bunga berada di depan pintu ruang tamu.
'Kalian tidak meminta pendapatku?' tanya Khansa, Ny. Zemira dan Bunga lalu berbalik badan.
'Aku yang dijodohkan dengan Arvin, bukan? Seharusnya aku lah yang mengambil keputusan, bukan ibu,' sambung Khansa.
'Maksudmu kau menyetujuinya?' Ny. Bahira memastikan.
'Ya, tapi-'
'Khansa, tidak!'
'Bahira!' panggil Ny. Zemira.
'Biarkan dia memberikan alasannya,' lanjutnya, Ny. Bahira kemudian terdiam.
'Dengar ibu, sejak awal bertemu dengan Arvin, aku langsung jatuh cinta padanya, tapi setelah hubungan ayah dan paman Farzin mulai longgar, aku sadar kalau kesempatanku untuk memilikinya semakin terkikis setiap hari. Hingga hari ini datang, akhirnya aku memiliki kesempatan besar untuk memilikinya. Aku sangat senang karena pada awalnya bibi Zemira menjodohkanku dengan Arvin agar Arvin menjauh dari gadis yang disukainya, tapi ketika bibi Zemira mengatakan tentang sandiwara yang harus kita lakukan jika perjodohan ini dijalankan, aku juga memikirkan hal yang sama dengan ibu,' jelas Khansa.
'Jadi kenapa kau mau melakukan sandiwara konyol itu?' tanya Ny. Bahira.
'Karena sebenarnya kita tidak harus melakukannya agar Arvin bisa menjadi milikku.'
'Apa maksudmu?' Bunga bertanya pada Khansa.
'Maksudku, aku akan mencoba untuk merebut Arvin dari gadis miskin itu tanpa harus ada sandiwara yang kalian usulkan.'
'Tapi itu tidak akan berhasil,' ucap Ny. Zemira.
'Kita harus mencobanya bibi, kita tidak akan tahu hasilnya jika tidak mencobanya. Meskipun bibi dan kak Bunga bilang perjodohan ini mustahil untuk berhasil, tapi aku akan mencobanya agar aku tahu hasilnya.'
'Bagaimana jika usahamu tidak berhasil?'
'Aku akan memikirkan cara lain agar berhasil.'
'Bagaimana jika cara lainmu itu juga gagal?' tanya Bunga.
'Maka aku harus melakukan opsi terakhir, dan mempertaruhkan kehormatan kita, untuk mendapatkan Arvin dan melepaskan gadis miskin itu darinya,' jawab Khansa dengan mantap.
Untuk kesekian kalinya, suasana kembali menjadi hening. Bunga, Ny. Bahira dan Ny. Zemira sedang memikirkan keputusan Khansa.
Ny. Zemira lalu menghela nafasnya. 'Baiklah, keputusanmu layak untuk dicoba.'
'Aku juga berpikir begitu,' kata Bunga. Khansa kemudian tersenyum.
'Ibu?' Khansa menagih jawaban dari Ny. Bahira.
'Dengar, nak, ibu benar-benar akan menolaknya jika kau tidak mencintai Arvin, tapi kau mencintainya. Setelah mendengar alasanmu, ibu akan mengubah keputusan ibu,' Ny. Bahira memberikan jawabannya.
'Aku tahu ibu akan berkata seperti itu,' ucap Khansa.
'Tapi kau harus menjajikan satu hal pada ibu.'
'Apa?'
'Jika kau tidak mendapatkan 'cara lain' yang kau katakan tadi, maka kau harus mundur.'
Khansa kemudian terdiam, ia terlihat menimbang-nimbang permintaan ibunya.
'Artinya jika aku mendapatkan 'cara lain' itu, aku bisa maju terus?' tanya Khansa.
'Tidak juga, kau harus menjelaskan idemu pada kami bertiga dulu dan meminta persetujuan kami.'
'Baiklah, kurasa itu tidak masalah.'
'Ketahuilah bahwa semua ini ibu lakukan untuk kebahagiaanmu, jika kau tidak bahagia, mundur lah.'
'Baiklah, aku berjanji.'
'Langkah pertama, Khansa harus melakukan pendekatan dulu dengan Arvin,' ujar Bunga.
'Wow, menantuku akan bertambah lagi jumlahnya,' canda Ny. Zemira, mereka berempat kemudian tertawa.
Setelah mengingat kejadian itu, Ny. Zemira kemudian tersenyum.
"Bisa aku bertanya satu hal padamu, Arvin?" ucap Khansa.
"Kenapa harus padaku?" tanya Arvin.
"Karena saat ini aku hanya memiliki pertanyaan untukmu."
"Apa?"
"Kemana kau semalam? Kenapa kau pulang terlambat?"
Ny. Zemira sedikit terkejut mendengar pertanyaan Khansa, sedangkan Arvin tampak keheranan.
"Jangan bingung. Bibi Zemira bercerita padaku lewat pesan semalam kalau kau pulang terlambat, ibumu sangat khawatir, tahu!" sambung Khansa.
Arvin lalu kembali menatap ibunya. "Kenapa ibu menceritakan hal yang tidak penting padanya?" tanya Arvin pada Ny. Zemira.
Ny. Zemira lantas menatap Khansa sebentar. "Karena ibu rasa hal itu penting, siapa yang tahu sebenarnya semalam kau sedang bersamanya," jawab Ny. Zemira.
"Setelah beberapa tahun, baru kali ini lagi aku bertemu dengannya, aku bahkan hampir lupa dengannya, jadi bagaimana mungkin aku bertemu dengannya?"
"Hanya menduga."
"Memangnya kau semalam ada dimana?" sambar Khansa.
"Kenapa kau ingin tahu?" Arvin bertanya balik.
"Tidak salah kan jika aku tahu?"
"Memang tidak, tapi dimana pun aku berada, tidak ada untung dan ruginya untukmu."
"Arvin, jangan begitu, jawab saja dia," Bunga berusaha melerai.
Arvin lalu membuang nafasnya dengan kasar. "Aku semalam berada di rumah Salma."
Sontak saja semua orang yang sedang berada di ruang makan itu terkejut dengan jawaban Arvin.