"Siapa itu Salma? Gadis miskin itu?" tanya Khansa. Ny. Zemira yang sedang minum, sontak terkejut mendengar pertanyaan Khansa yang menggunakan kalimat 'gadis miskin'.
"Yah, dia miskin," ucap Arvin dengan wajah memelas, Isa yang melihatnya hanya bisa tersenyum bangga melihat kakak laki-lakinya yang tidak malu mengakui kalau kekasihnya kurang mampu dalam segi keuangan.
"Apa yang kau lakukan dirumah gadis miskin itu? Jangan katakan kalau kau mengikuti jejak Jhana," ujar Raya.
Jhana yang menguping percakapan mereka lalu mengernyitkan dahinya, sedangkan raut wajah Ny. Zemira berubah tatkala Raya menyebut nama Jhana barusan.
"Apa maksudmu?" Arvin bertanya dengan nada yang menggambarkan kalau ia tidak senang dengan ujaran Raya barusan.
"Jelas, kan? Hubunganmu dengan Salma kurang disenangi disini, siapa tahu kau mengikuti jejak Jhana melakukan zina karena tahu kalau hubunganmu pasti tidak akan direstui di keluarga ini," jawab Raya.
"Jangan gila, aku tidak akan mempanutkan orang yang salah lagi."
"Kak Rasyid bukan orang yang salah untuk dijadikan panutan," sambar Isa yang tampaknya tidak terima dengan pernyataan Arvin.
"Ya, Jhana lah yang salah, jangan pernah menyalahkan Rasyid," timpal Bunga.
"Bukan begitu maksudku," kata Isa.
'Aku tetap salah,' batin Jhana.
Ny. Zemira lantas menepuk meja makan itu dengan keras. "Ruang makan ini bukan tempat untuk bernostalgia!" bentak Ny. Zemira.
Semuanya terkejut dengan aksi Nyonya besar itu, termasuk Jhana.
"Padahal kita baru bernostalgia tentangku tadi," ucap Khansa.
"Spesifiknya, ibu tidak ingin kita membicarakan Jhana di hadapannya, Khansa. Lagi pula wanita itu memang tidak pantas untuk kita bahas lagi," ujar Kevlar.
'Kau lah yang tidak pantas untuk dibahas oleh keluarga ini,' Jhana menggeram di dalam hatinya.
"Maaf, siapa si Jhana ini?" tanya Khansa, namun tidak ada yang menjawabnya. "Baiklah, mungkin sebaiknya kita tidak membahasnya lagi."
"Jadi, apa yang kau lakukan di rumah gadis itu semalam?" Raya kembali bertanya pada Arvin.
"Oh iya, soal itu, aku lupa memberitahu pada kalian kalau tidak lama lagi aku dan Salma akan menikah," ucap Arvin. Semua orang yang sedang berada di ruang makan tersebut kecuali Isa tentu saja kembali dibuat terkejut oleh Arvin.
"Apa?!"
"Kapan kalian mulai berpacaran?! Maksudku, kau bahkan baru mengenalnya! Bukan begitu?!" tanya Ny. Zemira.
"Ya ... sebenarnya baru beberapa hari ini kami berpacaran, sepertinya belum genap empat puluh delapan jam."
"Bagaimana bisa kau akan menikah dengan seorang gadis yang belum genap dua hari kaupacari?!" tanya Bunga.
"Kenapa? Memangnya seharusnya tidak bisa?" Arvin bertanya balik.
"Bukan begitu, tapi ... kau belum mengenalnya dengan baik Arvin. Ok, kesampingkan masalah kasta dulu, bagaimana bisa kau dan Salma akan menikah sedangkan gadis itu belum pernah bertemu dengan kami?!"
"Aku sudah mengenalnya dengan sangat baik semalam, aku juga sudah sangat dekat dengan neneknya. Meskipun aku tahu kalau sebenarnya tiga jam saja tidak cukup untuk mengenali seseorang dengan sangat dalam, tapi, kurasa aku sudah mengetahui karakter mereka sampai ke dasarnya. Dan soal pertemuan, besok aku akan mengajaknya kesini dan memperkenalkannya pada kalian."
"Jika kalian akan menggunakan pertemuan itu untuk meminta restu, aku tidak akan menyetujuinya!" tegas Ny. Zemira.
"Aku tidak butuh restu dari keluargaku karena selain memang kalian tidak akan menyetujuinya, yang akan menikah dengan Salma itu aku, jadi kalian tidak perlu keberatan."
"Apa yang kau bicarakan?! Tentu saja kami keberatan!" Raya kembali buka suara.
"Arvin jangan salah langkah dan gegabah, kau membutuhkan restu dari keluargamu untuk bisa menikah," tambah Bunga.
"Jika begitu, aku yakin Isa akan merestui hubunganku dan Salma. Cukup?"
"Arvin, kenapa kau menjadi menentang keluargamu demi gadis itu?" tanya Ny. Zemira.
"Aku tidak menentang kalian ibu."
"Lalu apa?!"
Arvin terdiam.
"Lihat! Bahkan kau saja tidak tahu jawabannya!" ucap Ny. Zemira.
"Setiap manusia berhak menentang hal yang salah," ujar Arvin.
"Apa maksudmu?! Kami berusaha melakukan yang terbaik untukmu! Dan kau mengatakan kalau kami salah?!" bentak Ny. Zemira.
"Tidak, ibu, keinginan baik kalian untukku tidak salah, masalahnya kalian dibutakan oleh kesombongan."
"Kau tidak mengerti, Arvin, kau lah yang sudah dibutakan! Oleh gadis itu!"
"Tolong, jangan terus menerus menyalahkan Salma."
"Gadis itu yang bersalah atas situasi yang terjadi sekarang!" Bunga berseru.
"Yang kutahu jika seorang anak dibesarkam oleh nenek, biasanya perangainya kurang bagus," ucap Raya.
"Argh! Itulah guna pertemuan yang akan kami lakukan dengan kalian! Aku akan membuktikan kalau dia bukanlah gadis yang manja! Dia gadis yang luar biasa!"
"Itu agak kurang nyambung dengan ucapanku."
"Ok, kau ingin tahu sesuatu?! Dia tidak dibesarkan oleh neneknya! Dia yatim piatu sejak bayi dan dia dibesarkan juga diasuh oleh paman dan bibinya! Dua tahun yang lalu dia memutuskan untuk membawa neneknya ke daerah kota untuk memulai kehidupan yang lebih baik!"
"Ini ruang makan! Berhenti berdebat dan berbicara dengan nada tinggi!" pekik Kevlar.
Semuanya kemudian terdiam.
"Keluarga ini membuatku muak!" umpat Arvin sembari bangkit dari kursinya. Pernyataannya itu tentu saja membuat semuanya terkejut.
"Kau tahu? Aku memang mendukungmu, tapi caramu untuk membuat kak Salma bisa diterima di keluarga ini salah. Kau mengumpat kami seolah kau adalah manusia paling suci. Kau seharusnya sadar ketika kau mengumpat keluargamu sendiri, disaat yang bersamaan kau mengatai orangtuamu sendiri dan itu adalah sikap durhaka dari seorang anak. Awalnya aku berpikir akan membelamu dan menghentikan semua adu mulut ini, tapi, kau membuatku kecewa," kata Isa yang kemudian pergi dari ruang makan itu dengan membawa Tn. Farzin. Jhana segera menjauh dari ruang makan ketika semua orang yang berada di ruang makan itu memutuskan untuk pergi, menyisakan Ny. Zemira dan Arvin.
Setelah keadaan sepi, Jhana kembali lagi ke dekat pintu ruang makan, karena ia tahu kalau Ny. Zemira sebetulnya belum selesai berbicara dengan Arvin.
Arvin memalingkan wajahnya dari ibunya.
"Lihat ibu," perintah Ny. Zemira pada Arvin, Arvin kemudian menurutinya.
"Kenapa, Arvin? Kenapa? Kenapa pikiranmu terkunci karena gadis itu?" lirih Ny. Zemira yang mulai berlinang air mata.
"Ibu kecewa padamu, sangat kecewa," sambungnya, kali ini air matanya lebih banyak keluar. Wanita yang hampir berusia 60 tahun itu lalu berbalik badan dan berniat meninggalkan Arvin seorang diri.
"Tunggu," Arvin berusaha menahan Ny. Zemira dari seberang, karena memang Arvin dan Ny. Zemira mendapatkan kursi yang berseberangan.
"Aku minta maaf, ibu," lanjut Arvin.
"Ibu tidak mendidikmu untuk menjadi anak yang bodoh. Bagaimana bisa kau menganggap kalau maaf saja cukup untuk segala yang telah kau pada kami? Terutama pada ibu?"
"Lalu bagaimana bisa ibu berusaha untuk menghancurkan hubunganku dan Salma? Kami saling mencintai, ibu, ibu seharusnya tahu kalau cinta bukanlah suatu hal yang dipaksakan."
"Ibu minta maaf, Arvin, ibu sedang tidak dalam mood untuk membahas gadis itu lagi." Ny. Zemira lantas melanjutkan langkahnya, namun ia kembali berhenti saat Arvin membalas ucapannya.
"Bagaimana dengan ibu dan ayah?!"
"Dengar, ibu, aku minta maaf untuk perkataanku yang kasar pada kalian tadi, terutama pada ibu, atau juga ayah, aku sudah bertindak durhaka pada orangtuaku sendiri, aku minta maaf, aku terbawa emosi karena aku tidak terima dengan perlakuan kalian," sambung Arvin.
Ny. Zemira hanya terdiam.
"Aku tahu kalau Khansa hanyalah alat untuk memisahkanku dan Salma, karena itu aku menjadi kesal. Bagaimana bisa kalian tega memisahkanku dari orang yang kucintai? Bayangkan jika ibu dipisahkan oleh orang lain dari ayah. Ibu pasti marah, kan?"
"Kau tidak tahu apa-apa tentang orangtuamu," ujar Ny. Zemira.
"Mungkin aku tidak perlu mengetahui semua hal tentag kalian, tapi, setiap orang akan memberontak ketika dirinya dipisahkan dari orang yang dicintainya, kecuali itu adalah takdir dan harus."
"Kau harus pisah dari gadis itu."
"Kenapa ibu? Kenapa? Apa hanya karena dia miskin? Kenapa alasan ibu begitu konyol bagiku?"
"Sudah ibu katakan, ibu sedang tidak dalam mood untuk membahas gadis itu."
Ny. Zemira kembali melanjutkan langkahnya, namun Arvin segera menahannya dengan memegang tangan kanannya.
"Jangan pergi dulu, ibu. Tolong. Beri aku alasan yang logis. Aku tahu ibu berbeda dari kak Bunga dan kak Raya yang memang sangat menghindari orang-orang kelas bawah."
Dengan air mata yang masih bercucuran, Ny. Zemira berseru. "Kenapa kau tidak menurut saja?! Kenapa kau tidak menerima keputusan ibu?!"
"Karena aku tahu kalau ibu paham betul kalau sebenarnya Khansa tidak akan berpengaruh apa-apa pada hubunganku dan Salma."
"Kau salah, ibu tidak akan melakukan hal yang sia-sia."
"Kalau ibu rasa Khansa adalah penghalang yang bagus, maka ibu seharusnya sadar bahwa cintaku dan Salma tidak akan goyah hanya dengan kehadirannya. Ibu tidak perlu repot-repot meminta bantuannya. Meskipun ibu belum pernah melihatku dan Salma bersama, tapi aku yakin ibu paham bagaimana kekuatan cintaku dan Salma dengan pendirianku yang tidak berubah meskipun kalian berusaha untuk memisahkanku darinya dengan segala macam cara. Aku yakin ibu paham akan hal itu karena ibu dan ayah pasti juga pernah mengalaminya."
Ny. Zemira kemudian mendengkus.
"Kau benar-benar tidak tahu apa pun tentang orangtuamu," ujar Ny. Zemira.
"Katakan hal yang harus kuketahui," kata Arvin.
"Baiklah, sepertinya ini saat yang tepat untuk menceritakannya pada orang lain."
"Orang lain?"
"Orang selain ibu."
"Apa maksud ibu?"
"Ibu menyimpan rahasia masa lalu ibu selama empat puluh tahun lebih, seorang diri."
"Apa? Kenapa?"
"Mungkin hal itu tidak penting lagi sekarang, maka ibu akan menceritakannya padamu, orang pertama yang akan ibu bagikan rahasia ini. Tapi sebelum itu, mari kita duduk dan lupakan segala hal tentang Salma, jangan membahasnya selama ibu bercerita, karena ujungnya kita akan tetap membahasnya juga walaupun sebenarnya ibu sedang tidak mau membahasnya."
"Baiklah, aku akan menurut kali ini."
Ny. Zemira lalu menghapus air matanya dan kembali duduk di kursinya, di ikuti oleh Arvin yang duduk disampingnya.
"Ibu tidak tahu harus memulai dari mana, tapi, ibu juga anak panti asuhan seperti Jhana," papar Ny. Zemira sebagai pembuka ceritanya.
"Apa?" gumam Jhana seraya mengernyitkan dahinya, ia terlihat benar-benar tidak menyangka.