"Apa yang kalian lakukan disitu?" tanya Dina pada Mona, Fina dan Zhani yang berada 1 meter dari tangga.
"Hei, ayo naik," ajak Isa yang menghampiri mereka bertiga, ia kemudian menarik tangan Mona, namun Mona melepaskannya.
"Ibunya Arka melarang kami untuk menginjakkan kaki kami ke dalam karena tidak ingin rumah kalian terkontaminasi oleh virus kemiskinan yang dia bilang kami bawa, dia menyuruh kami untuk terus berada dalam jarak satu meter dari tangga, kami boleh mundur, tapi kami tidak boleh maju," jelas Mona.
"Ya ampun," ucap Dina.
"Jangan hiraukan perkataannya, ayo masuk, diluar sini dingin," ujar Isa.
"Tidak, ibu bilang kami harus mentaati aturan," kata Fina.
Isa kemudian merasa geram kepada Raya dan Bunga.
"Kalian belum tahu namaku, kan? Namaku adalah Isa, panggil saja aku paman Isa." Isa menyodorkan tangannya dan mengajak bocah-bocah itu bersalaman.
"Kami sudah tahu namamu, kak Dina sudah menceritakan sedikit hal tentangmu," ucap Mona.
"Kalau begitu, mari kita berkenalan, jika kita bersalaman, maka tandanya kita berteman."
"Tidak, nanti paman Isa bisa terkontaminasi virus kemiskinan yang kami bawa."
Mendengar hal itu, Isa merasa sedikit sedih karena melihat ketaatan mereka pada aturan, meskipun mereka dihina, namun mereka tetap menerapkan aturan. Isa kemudian meraih tangan Mona dan membuatnya bersalaman dengan gadis kecil itu.
"Dengar, tidak ada yang namanya virus kemiskinan, miskin bukanlah sebuah virus atau penyakit. Nah, dengan ini kita berteman," ujar Isa.
Mona tak kuasa menahan tangisnya, ia melihat kesungguhan Isa dalam kata-katanya, ia tahu kalau Isa berbeda dari keluarga Dhananjaya yang lainnya, selain Arka.
"Paman Isa ..." Mona mulai meneteskan air mata.
"Ya?" sahut Isa, sembari tersenyum.
"Bolehkah aku melangkah untuk memelukmu?"
Tanpa ragu, Isa langsung memeluk Mona dengan erat, Mona juga memeluknya dengan erat sambil menangis.
"Kau gadis yang baik, Mona," kata Isa.
"Namamu Fina, kan, gadis cantik?" tanya Isa pada Fina, Fina mengangguk.
"Mau bersalaman dengan paman Isa?"
Fina dengan lancar menerima ajakan Isa untuk bersalaman. Isa kemudian berjalan jongkok mendekati Zhani, namun Zhani melangkah mundur.
"Ada apa denganmu, Zhani? Paman Isa adalah orang yang baik," ucap Fina.
"Wajahnya, apa itu? Dia terlihat menyeramkan," ujar Zhani.
"Hewmhewmhewmhewmhewm." Dina tertawa geli.
"Jadi begitu! Brewokmu membuatnya takut," sambung Dina.
"Uh? Huh! Pantas saja. Fina, berikan tanganmu," pinta Isa, Fina menurutinya. Isa kemudian mengarahkan telapak tangan Fina ke wajahnya, Fina sempat ragu, namun setelah ia menyentuh wajah Isa, ia merasa senang dan terus mengelusnya dengan kedua tangannya.
"Bagiamana rasanya?" tanya Isa.
"Menggelikan, tapi aku suka," jawab Fina sambil mencubiti pipi Isa, Isa pun tertawa kecil.
"Paman, apa ini rambut?" tanya Fina.
"Iya, ini lah rambut yang tumbuh di wajah."
"Tapi kenapa aku tidak memilikinya?"
"Hanya pria dewasa yang bisa memilikinya, wanita apa lagi gadis kecil sepertimu tidak bisa memilikinya."
"Oooh jadi begitu."
Dina kemudian melangkah keluar. Sedangkan Zhani mendekati Isa dan ikut menyentuh wajah pemuda berusia 22 tahun itu karena penasaran melihat kakaknya yang sangat senang menyentuh wajah Isa.
Isa merasa senang melihat anak-anak itu akhirnya tersenyum hanya karena menyentuh wajahnya setelah tadi mereka terus di hina.
"Bagaimana? Apa kau masih takut pada brewok ini?" tanya Isa pada Zhani.
"Ini menyenangkan, aku juga ingin memilikinya suatu hari nanti," jawab Zhani.
"Mau bersalaman denganku?"
"Tidak."
Isa terdiam.
"Tapi aku mau beradu tinju dengan paman Isa," lanjut Zhani sambil mengulurkan tinjunya. Isa pun tertawa dan mengadu tinjunya dengan Zhani.
"Nah, sekarang, Zhani, ayo naik ke punggungku," suruh Isa.
"Untuk apa?" tanya Zhani.
"Naik saja, dan kau akan ketagihan nanti."
Zhani pun melakukan apa yang disuruh oleh Isa.
"Mona, Fina, mendekatlah," suruh Isa pada Mona dan Fina.
"Fina kau disebelah kiri sini. Coba kalian menghadap ke pintu. Zhani pegangan, ya?" Isa kemudian memeluk Mona dan Fina dari belakang, lalu mengangkat mereka, alias menggendong mereka bertiga secara bersamaan.
"Pegangan," pinta Isa.
"Isa, apa yang kau lakukan?" tanya Dina.
"Akan kuberi jawabannya nanti, ikuti aku," jawab Isa sambil berjalan masuk.
"Tapi paman, kami tidak boleh masuk," ucap Mona.
"Yang kau katakan tadi bukan kalian tidak boleh masuk," ujar Isa.
"Eh?" Mona terlihat bingung.
"Coba ingat-ingat seluruh perkataan bibi Raya pada kalian ketika dia menyuruh kalian untuk tetap diluar."
Lain halnya dengan Isa yang asyik bercengkrama dengan anak-anak, Kevlar justru sedang menikmati angin malam dari teras kamarnya.
'Mansion ini, seluruh harta kekayaan keluarga ini, sebentar lagi akan menjadi milikku. Aku tidak bisa meyakinkan Zemira untuk menyerahkan bisnis investasi dan perusahaan pakaian Farzin kepadaku, jadi aku akan memakai cara lain, aku akan membuat Bunga menghasutnya untuk memberikan kendali teratas keluarga ini padaku, dan dengan begitu tujuanku akan tercapai. Humph! Kupikir perjodohan ini akan terasa membosankan, tapi ternyata aku bisa menemukan masa depanku disini, akhirnya aku bisa mengerti keuntungan perjodohan ini bagiku. Hnghnghnghng, aku telah menunggu lama untuk titik klimaksnya, tidak lama lagi, usahaku akan membuahkan hasil,' batinnya.
Ny. Zemira langsung mengetuk pintu kamar Arvin ketika ia sampai di depan pintu itu. Namun tidak ada respon dari dalam. Kemudian Ny. Zemira melihat ke arah jam, sekarang adalah pukul 23:10, ia berpikir kalau Arvin pasti sudah pulang. Tapi perasaan tidak yakin tiba-tiba menghantuinya, jadi Ny. Zemira memutuskan untuk membuka pintu kamar Arvin. Ia melihat ada sesuatu dibalik selimut, kemudian mendekati ranjang tidur salah satu putranya itu.
Ketika Ny. Zemira membuka selimut tersebut, ia mendapatkan Arvin yang sedang tertidur pulas. Arvin tampak acak-acakan, namun tetap terlihat tampan bagi Ny. Zemira. Ia kemudian mengelus wajah anak ketiganya itu, namun rupanya hal itu membuat Arvin terbangun. "Ibu?" ucapnya.
"Senang rasanya bisa melihatmu tertidur pulas seperti tadi, ibu jadi teringat masa-masa kau ketika masih bayi dulu," ujar Ny. Zemira.
"Apa yang ibu lakukan disini? Kenapa ibu tidak mengetuk pintunya dulu?" tanya Arvin yang terlihat sangat mengantuk.
"Ibu sudah mengetuknya tadi, tapi kau tidak dengar."
"Ibu belum menjawab pertanyaan pertamaku."
"Nak, mulutmu bau alkohol, apa kau minum lagi?"
"Ibu jangan mengalihkan pembicaraan."
"Arvin! Ibu bertanya apa kau minum lagi?!"
"Ck, iya, aku habis minum. Tapi setidaknya itu lebih baik dari pada harus bergabung dalam acara makan malam yang tidak bermutu."
Mata Arvin kembali sayup-sayup, terlihat sekali ia sangat mengantuk, namun ia masih bisa melihat Ny. Zemira menangis.
"Kalau melihat dirimu yang sekarang, ibu jadi sangat menyesal karena telah mengadopsi Jhana," ucap Ny. Zemira dengan suaranya yang bergetar.
"Dia yang patut disalahkan atas semua yang telah terjadi, dia membuatmu menjadi seperti ini. Ibu mengenalmu dulu sebagai anak yang sangat ramah dan suka berbincang-bincang, tapi sejak kejadian itu, kau berubah, nak," lanjutnya seraya mengusap-usap rambut Arvin yang entah mendengarnya atau tidak.
"Hm? Jhana? Siapa Jhana?" Arvin mulai berbicara melantur.
Ny. Zemira kemudian tersenyum, lalu mencium pipi Arvin. "Tidurlah dengan nyenyak, selamat malam. Ibu lega karena kau sudah pulang."
Ia lalu menyelimuti anaknya itu dengan benar dan berjalan keluar. Ny. Zemira lantas menutup pintu kamar Arvin dan mengintip kamar Arka yang pintunya terbuka sedikit.
Isa membawa anak-anak Jhana ke ruang tamu, dengan Dina yang mengikutinya. Disana terlihat Bunga yang sedang mempamerkan koleksi perhiasan berliannya kepada Raya, juga ada Shirina yang sedang menonton film kartun dari koleksi CD nya.
"Lihat yang ini, ini adalah hadiah termahal ketika pernikahanku dan Kevlar, kau ingat kan? Aku pernah cerita dulu tentang kalung ini," kata Bunga.
"Aku tidak ingat, karena koleksi perhiasan berlianmu sangat banyak, kau selalu bercerita tentang perhiasan-perhiasan ini, mungkin saking kayanya keluarga ini sampai koleksi berlianmu saja sudah seperti total butiran pasir di planet ini," jawab Raya.
"Hahaha." Bunga tertawa kecil, tak lama kemudian pandangannya teralihkan ke Isa yang menggendong anak-anak Jhana.
"Isa, apa yang kau lakukan?!" tanya Bunga sambil mengernyitkan dahinya. Raya kemudian menoleh ke arah Isa.
"Kenapa kau membawa anak-anak itu dan menggendong mereka?! Aku sudah melarang mereka untuk menginjakkan kaki mereka kedalam rumah ini!" ucap Raya.
"Ya, kak Raya melarang mereka untuk menginjakkan kaki mereka kedalam rumah ini, tapi diluar sangat dingin, jadi untuk menghangatkan diri, mereka harus masuk, tapi bagaimana caranya agar aturannya tidak dilanggar? Aku menggendong mereka bertiga! Dan hal itu tidak membuat mereka menginjakkan kaki kedalam rumah ini kan?" jawab Isa. Dina pun tersenyum setelah mendengar alasan Isa.
"Tapi, apa kau gila?! Punggungmu bisa patah jika kau seperti itu terus!" ujar Bunga.
"Itu lebih baik bagiku dari pada mereka kedinginan diluar sana," pungkas Isa.
"Lepaskan mereka, Isa!"
"Aku akan melepaskan mereka asal mereka boleh menginjakkan kaki mereka kedalam rumah ini."
"Tapi ..."
"Kalau tidak aku akan tetap seperti ini."
"Argh! Iya! Lepaskan saja mereka, mereka boleh menginjakkan kaki dirumah ini?"
"Bunga, apa yang kau lakukan?" Raya tampak tidak setuju dengan keputusan Bunga.
"Aku hanya tidak ingin adikku sakit hanya karena menggendong mereka bertiga!" Bunga membela diri.
"Baiklah anak-anak, kalian boleh turun," ujar Isa pada Mona, Fina dan Zhani.
"Ayo kita ke atas," ajaknya.
"Apa yang akan kau lakukan lagi?!" tanya Bunga.
"Aku akan membawa mereka ke kamarku, mereka pasti sudah mengantuk, aku akan membiarkan mereka tidur sebentar di kamarku," jawab Isa.
"Tapi, Isa, ranjang tidurmu akan terkontaminasi oleh virus kemiskinan."
"Aku tidak mengerti apa yang ada dipikiran kalian, namun aku hanya akan memberitahu satu hal, tidak ada yang namanya virus kemiskinan. Ayo." Isa mengajak anak-anak Jhana ke kamarnya, ia masih di ikuti Dina.
"Ibu, aku mengantuk," ujar Shirina.
Setelah menutup pintu kamar Arka, Ny. Zemira pergi ke kamar mandi yang ada di lantai 2, bertepatan dengan masuknya Ny. Zemira ke kamar mandi, Isa, Mona, Fina, Zhani dan Dina datang. Mereka berjalan menuju kamar Isa, dan begitu mereka semua masuk kedalam kamar itu, anak-anak Jhana terkejut.
"Rumah kontrakan kami bahkan tidak lebih besar dari kamar paman," ucap Mona yang terpana.
"Kalau kalian mengantuk, kalian boleh tidur disana," kata Isa sambil menunjuk ranjangnya.
"Apa itu, sebuah kasur?" tanya Fina.
"Ya, sebut saja benda itu dengan nama yang kau suka," jawab Isa.
Mona lalu berlari ke arah ranjang besar itu dan menyentuhnya. "Ruang tamu dirumah kontrakan kami pasti tidak muat jika dimasukkan kasur ini."
Isa tertawa.
"Dan kasur ini begitu nyaman juga empuk," sambung Mona. Mendengar hal itu, Fina dan Zhani pun juga ikut tidur di atas ranjang Isa.
"Cuci lah kaki kalian sebelum naik ke atas ranjang itu," suruh Isa, anak-anak Jhana hanya mengangguk. Dina kemudian berjalan ke teras kamar Isa. Isa lantas menyusulnya.
"Diluar dingin, tapi entah kenapa di atas sini rasanya sejuk sekali," ujar Dina yang menumpukan tubuhnya pada pembatas.
"Mansion ini tidak hanya sejuk karena AC, tapi juga alam, karena di daerah sini hanya ada pepohonan, jadi ketika malam udara disini menjadi lebih dingin," ucap Isa yang memilih duduk di sebuah kursi rotan.
"Isa ..."
"Ya?" sahut Isa.
"Boleh aku bertanya dan menagih janjimu?"
"Menagih janji? Bertanya? Silakan saja."
"Tentang Jhana yang keluargamu bicarakan, siapa sebenarnya dia? Kenapa bibi Zemira sampai menjadikannya sebagai satu-satunya orang yang dibencinya? Dan kenapa kau bilang dia pernah memainka peran yang penting di kehidupan kalian?"
"Baiklah, karena kau sebentar lagi akan menjadi anggota keluarga ini, kurasa tidak masalah untuk menceritakan segalanya sekarang, lagi pula di antara pasangan tidak boleh ada rahasia, bukan?"
Dina mengangguk.
Isa menarik nafas. "Aku bingung harus memulainya dari mana, tapi semuanya dimulai jauh sebelum aku lahir."
"Jauh sebelum kau lahir?"
Isa kemudian menoleh ke arah kamarnya untuk memastikan anak-anak Jhana tidak mendengar ceritanya. Dan mereka bertiga sudah tertidur pulas.
"Ya. Dua belas tahun sebelum aku lahir, ibu dan ayah memiliki anak pertama mereka."
"Selama ini aku tidak pernah tahu nama mendiang kakak sulungmu, boleh aku tahu siapa namanya?" tanya Dina.
"Itulah bagian terpentingnya. Dia adalah seorang pria, yang menjadi panutan adik-adiknya. Dia adalah suami kak Raya, dan ayahnya Arka. Namanya adalah ...."
"Rasyid Dhananjaya," lanjut Isa.
"Rasyid?" gumam Dina.
"Dia meninggal lima tahun yang lalu, tapi bukan itu inti cerita ini. Aku akan menceritakan tentang kehidupannya, yang membawa pengaruh yang besar bagi keluarga ini. Dan semuanya terhubung dengan kak Jhana."
Dina meneguk air ludahnya, ia menjadi deg-degan tatkala mendengar Isa menyebutkan nama Jhana dan Rasyid. Tiba-tiba saja ia berpikir bagaimana jika Jhana teman kerjanya dan Jhana yang pernah ada dikehidupan calon keluarganya adalah orang yang sama? Namun pikirannya itu sirna ketika Isa melanjutkan ceritanya.