"Saya tidak mengatakan apa pun pada pemilik rumah kontrakan saya. Akan ada saatnya Dina pasti akan bertanya juga pada pemilik kontrakan tentang saya, saya tidak ingin dicari, saya ingin menjauh dari mereka semua, selama identitas anak-anak saya yang sebenarnya tidak terbongkar, mereka akan aman. Saya tidak meninggalkan informasi kepada siapa pun," ucap Jhana.
"Lalu kenapa kau tidak jujur saja pada keluargamu kalau sebenarnya kau dan Rasyid saling jatuh cinta? Itu akan lebih baik, meski menyakitkan untuk diketahui, namun kejujuran itu akan berakhir baik akhirnya, jika sejak awal kalian jujur, kalian bisa menikah tanpa harus ada sosok Raya yang memasuki kehidupan kalian. Terlebih lagi dari ceritamu, Raya adalah seorang yang memiliki karakter buruk," ujar pak Ustad Alman.
"Terdapat sebuah rasa takut yang besar pada diri kami berdua, kami tidak pernah berani untuk mengungkapkan hal itu, dan kami sudah menyepakati hal itu. Saya tidak tahu apa saya seratus persen salah atau tidak, tapi yang saya tidak mengerti kenapa mereka hanya menyalahkan saya? Kenapa Rasyid tidak disalahkan? Untuk itu sesekali saya butuh seseorang untuk memberikan pendapat mengenai hal tersebut."
"Jhana, jika dilihat dari ceritamu, Raya adalah dalang dibalik semuanya, kemungkinan dia memprovokasi keluarga Dhananjaya, terlebih ibumu, tapi saya tidak ingin berburuk sangka. Namun jika berbicara tentang kesalahanmu, kesalahanmu lebih besar ketimbang Rasyid."
Jhana langsung tegang ketika mendengar pendapat pak Ustad Alman, ia langsung mengangkat tegak kepalanya.
"Jika cintamu dan Rasyid saja sudah membuat ibu kalian mengalami luka hati, ditambah dengan kebohongan kalian, apa lagi dengan kenyataan bahwa kalian sudah memiliki anak? Bukan hanya satu anak, bahkan sampai tiga anak," lanjut pak Ustad Alman.
"Mungkin hal itu benar, tapi kenapa ayah saya terkesan mendukung hubungan saya dan Rasyid?" tanya Jhana.
"Memahami isi hati orang adalah hal yang sulit, jika kau mau tahu jawabannya, maka kau harus melihat kondisinya," jawab pak Ustad Alman.
Jhana terdiam.
"Pak Ustad, saya tahu kalau dari awal saya salah, tapi apa kesalahan saya sebesar itu? Cinta bukanlah hal yang tercipta karena keterpaksaan, cinta adalah suatu fenomena yang murni," kata Jhana.
"Kau adalah seorang ibu, alasan mengapa ibumu begitu marah mungkin karena dia adalah seorang ibu. Berbeda dari seorang ayah, seorang ibu lebih peka terhadap anak-anaknya, jika sesuatu terjadi pada anaknya, maka seorang ibu lah yang paling bergejolak emosinya. Fakta bahwa Rasyid adalah anak yang penurut mungkin juga mendukung kemarahan ibu kalian, ibu kalian mungkin merasa kalau Rasyid memahami perasaannya, bahwa dia tidak mengharapkan hubungan yang terjalin di antara kau dan Rasyid tidak seperti itu."
"Entahlah, pak Ustad, saya adalah seorang ibu, tapi sampai sekarang bahkan saya tidak bisa memahami perasaan ibu angkat saya, bahkan saya tidak yakin kalau masalah ini akan selesai, saya tidak tahu obatnya."
"Seperti yang saya katakan tadi, memahami isi hati orang adalah hal yang sulit, meskipun kau juga seorang ibu, memang belum tentu kau dapat memahami perasaan ibu angkatmu. Namun ketahuilah, jika masalahnya adalah cinta, maka obatnya juga cinta."
"Cinta mengobati cinta?"
"Ya, kau harus menyelesaikan masalah ini, kau sudah menggoreskan hati ibu angkatmu, yang telah mengasuh dan sangat mencintaimu. Jangan pikirkan Rasyid, meskipun kalian dibesarkan dengan kasih sayang yang sama, tapi jelas seorang ibu kalau bisa tidak menyalahkan anaknya ketika suatu permasalahan terjadi. Yang harus kau lakukan sekarang adalah sembuhkan luka hati ibu angkatmu dengan cintamu."
"Dengan cinta saya?"
"Jhana, kau pernah menyelamatkan hidup ibumu dari Raya yang berusaha membunuhnya. Saya tahu bahwa kau tidak merasa dendam dengan ibumu dan keluargamu. Di dalam keluarga Dhananjaya, kau adalah perisai, oleh karena itu, kau harus berjuang dengan cinta yang kau miliki untuk menyelamatkan keluarga itu dari Raya, dengan begitu kau akan kembali mendapatkan kepercayaan dari mereka."
"Apa setelah itu kami akan bahagia?"
"Semuanya bergantung pada tindakanmu, saya tidak bisa menjawab hal itu. Jika kau berhasil membongkar kedok Raya, kemungkinan kau hanya akan mendapatkan kepercayaan. Luka hati ibu kamu, hanya bisa disembuhkan dengan cintamu, tunjukkan bahwa kau ingin memperbaiki kesalahanmu, lakukan hal itu."
Jhana hanya diam.
"Tapi, Jhana, saya ingin bertanya satu hal padamu," ujar pak Ustad Alman.
"Ya, silakan, pak Ustad," kata Jhana.
"Apa kau menyesali segala hal yang telah terjadi mengenai hal itu?"
Mendegar pertanyaan seperti itu, Jhana pun lantas langsung menjawab. "Penyesalan memang selalu datang belakangan, pak Ustad. Saya menyesal karena telah melukai hati ibu saya, tapi saya tidak menyesal karena telah mencintai Rasyid. Kesalahan terbesar saya mungkin memiliki anak dari Rasyid, terlebih lagi kami memiliki anak diluar nikah, tapi sekarang saya sadar, kalau anak-anak saya adalah pengganti Rasyid di sisi saya, terlebih Rasyid sekarang sudah tidak ada lagi di dunia ini."
Pak Ustad Alman kemudian tersenyum mendengar jawaban Jhana. "Semua masalah memang memiliki makna di belakangnya. Berjuanglah, raih kebahagiaanmu dan anak-anakmu dengan cara yang baik. Kau adalah wanita yang kuat dan layak untuk dicintai banyak orang, dan sangat layak untuk mendapatkan kebahagiaan sejati."
"Apa yang akan kau lakukan selanjutnya?" sambung pak Ustad Alman.
"Saya sudah memikirkan ulang tindakan yang akan saya ambil nantinya, tapi saya belum memutuskannya, pak Ustad," jawab Jhana.
"Bagus, jangan terburu-buru dalam mengambil keputusan, pikirkan secara matang. Kau bisa tinggal disini selama yang kau mau, pastikan kau terus memikirkan tindakan apa yang akan kau ambil selanjutnya."
"Baik, pak Ustad. Sekarang saya merasa lebih tenang dan lega. Terima kasih atas segala masukan yang pak Ustad berikan."
Pak Ustad Alman tertawa kecil. "Sama-sama."
Jam telah menunjuk pada pukul 04:50, Jhana telah bersiap untuk pergi ke sekolah Fina bersama Arini, ia membawa tas jinjing kecil yang dimasukkannya kedalam tas jinjing besarnya. Arini sudah memberikan kunci pintu kamar itu padanya tadi, jadi jika Jhana mau berpergian, ia bisa mengunci pintu kamarnya. Setelah siap, Jhana pun keluar dari kamarnya dan mengetuk pintu kamar Yazid dan Arini.
"Iya, sebentar," jawab Arini.
"Sudah?" tanya Jhana.
"Sudah, ayo," ajak Arini.
Mereka berdua kemudian berjalan ke gerbang masjid dan melihat Yazid yang sedang mengepel lantai teras masjid.
"Aku dan Jhana pergi dulu, ya. Maaf kalau hari ini aku tidak bisa mempersiapkan pakaianmu sebelum kau berangkat kerja," pamit Arini pada Yazid.
"Iya, jangan khawatir," ucap Yazid.
"Jangan terlambat perginya, ingat, jam tujuh sudah harus berangkat," ujar Arini sambil berjalan keluar bersama Jhana.
"Siap," jawab Yazid.
"Kalau boleh tahu, pekerjaan Yazid apa?" tanya Jhana.
"Dia bekerja pada orang lain, bosnya membuka usaha catering, jadi biasanya Yazid pulang setelah maghrib. Jadi seharian yang membersihkan masjid tentu saja aku," jawab Arini.
"Jadi bagaimana dengan hari ini?"
"Tidak apa, Yazid tadi sudah meminta izin dari pak Ustad tentang perginya aku dan kau, dan pak Ustad memberikan izin. Dan lagi pula, Yazid juga marbot, jadi ketika aku tidak ada, biasanya dia membersihkan masjid itu sebelum berangkat kerja, ya contohnya tadi, sebelum kita meninggalkan masjid saja dia sudah mulai membersihkan masjid."
"Kerja sama kalian memang sangat bagus," puji Jhana.
Arini tertawa. Dan tanpa terasa mereka sudah sampai di jalan besar. Jhana kemudian memberhentikan sebuah taksi dan mengatakan tujuannya juga Arini, mereka berdua lalu menaiki taksi tersebut.
Pada pagi hari seperti ini, jalanan belum terlalu ramai, jadi tempat tujuan bisa di datangi dengan cepat.
Ketika sampai di sekolah Fina, belum terlalu banyak murid yang datang, hanya ada sekitar 15, dan tidak termasuk Fina. Jhana dan Arini pun lantas langsung masuk dan menyelesaikan pembayaran uang sekolah Fina.
Usai menyelesaikan pembayaran uang sekolah Fina, Jhana dan Arini pun segera menuju rumah makan Populer. Jhana tidak ingin membuang waktu, jadi ia kembali memberhentikan sebuah taksi dan menaikinya bersama Arini untuk sampai ke rumah makan Populer.
Sesampainya di rumah makan Populer, Jhana dikejutkan dengan kehadiran pak Toni, Wanda dan Andra yang berada di dalam rumah makan tersebut. Terlebih lagi ini baru pukul 05:45, sedangkan rumah makan Populer biasanya baru buka antara pukul 06:50-7:00. Melihat kehadiran 3 orang tersebut, Jhana pun segera mengajak Arini masuk.
"Wah, lihat dia, dia datang sangat cepat hari ini karena dia tahu kalau hari ini dia akan dipecat," ucap Wanda pada Andra, meskipun sudah kelihatan jelas kalau ucapannya ditujukan pada Jhana langsung, bukan pada Andra.
Jhana dan Arini kemudian menghampiri pak Toni yang duduk di kursi paling ujung di rumah makan itu.
"Tepat waktu sekali, Jhana. Saya tidak menyangka kalau saya tidak akan menghabiskan waktu yang lama disini," ujar pak Toni.
Jhana dan Arini kemudian duduk.
"Dan saya juga sangat beruntung bertemu dengan bapak disaat yang saya mau. Tidak ada pekerja disini yang mengetahui rumah bapak, jadi pasti akan membutuhkan waktu yang lama jika saya menunggu bapak datang," ucap Jhana.
"Ada keperluan apa kau ingin bertemu dengan saya?" tanya pak Toni.
"Saya ingin mengundurkan diri dari pekerjaan saya," jawab Jhana to the point.
Jawaban Jhana sontak membuat Wanda terkejut.
"Bapak ada keperluan apa sampai ingin bertemu dengan saya?" tanya Jhana.
"Kebetulan, saya ingin memecatmu, atas laporan Wanda yang mengatakan kalau kau telah keluar saat bukan jam istirahat kamu lebih dari belasan kali. Untuk itu saya harus bertindak adil dan tegas dengan memecatmu," jawab pak Toni dengan berat hati, hal itu bisa dilihat jelas dari nada bicaranya.
"Kebetulan sekali memang. Tapi, pak, saya datang kesini juga ingin meminta gaji saya yang belum utuh untuk bulan ini," ujar Jhana.
"Oh, tentu saja, saya membawanya," kata pak Toni.
"Apa yang membuatmu mengundurkan diri? Saya sudah mengetahui tentang pertengkaranmu dan Wanda, tapi saya yakin bukan itu alasanmu mengundurkan diri," ucap pak Toni sambil memberikan sebuah amplop pada Jhana.
"Saya ..., tidak bisa memberitahu alasan saya mengundurkan diri sekarang, waktu akan menjawabnya, pak. Bapak akan tahu pada waktunya, tapi hari ini, mungkin bapak harus menangani Dina yang akan bertanya-tanya tentang saya."
"Baiklah jika begitu, terima kasih karena telah bekerja disini selama empat tahun belakangan ini, dan kembalilah suatu saat, tidak mesti sebagai pelayan, sebagai pelanggan saja sudah bagus."
"Pasti. Saya tidak akan pernah melupakan rumah makan ini, ini adalah tempat yang penuh kesan bagi saya."
Jhana dan pak Toni kemudian bersalaman, tanda mereka berhenti bermitra, dan mereka 'berpisah' secara baik-baik, terlebih lagi sebenarnya Jhana adalah 'anak emas pak Toni'.
"Ayo." Jhana mengajak Arini pergi.
Sebelum keluar dari rumah makan Populer, Jhana berkata dua kata pada Wanda. "Terima kasih." Jhana melontarkan senyuman lalu pergi bersama Arini. Sedangkan Wanda hanya terdiam dengan sikap Jhana, ia merasa bahwa hari ini ada yang aneh pada Jhana, terlebih sikap Jhana itu berubah hanya dalam waktu 1 hari.
Hari ini Dina lebih sibuk dari hari-hari biasanya, ia memasak banyak menu hari ini, sedangkan biasanya ia tidak pernah memasak dan selalu beli sarapan. Dina juga selalu mengontrol kesiapan Fina yang akan berangkat sekolah.
"Tasmu sudah disiapkan? Buku dan alat tulis jangan lupa dibawa. Botol air minum jangan lupa di isi. Seragamnya sudah dipakai belum?" tanya Dina yang sedang menghidangkan lauk-pauk dan sayur yang siap santap ke atas meja makan, pada Fina yang sedang menyisir rambutnya.
"Sudah semua," jawab Fina.
Mona lalu datang membawa piring-piring dan sendok-sendok dan meletakkannya ke atas meja makan.
"Ayo cepat makan, nanti kita terlambat," suruh Dina yang langsung menyantap masakannya sendiri.
"Mmm." Zhani menikmati masakan Dina.
"Enak?" tanya Dina pada Zhani yang duduk disebelahnya.
"Kurang garam," jawab Zhani.
"Eh?" Dina kembali merasakan sayur buatannya.
"Ehehe, iya. Tambah saja garamnya di atas sayur ini, lalu aduk biar asinnya merata," ucap Dina. Mona lalu langaung mengambil garam dan menambahkannya pada sayur yang dimasak oleh Dina tadi. Fina kemudian bergabung.
Setelah sarapan, Dina memutuskan untuk tidak memesan taksi yang biasanya karena sopir taksi itu adalah salah satu orang yang dicurigainya terlibat dalam kasus hilangnya Jhana, jadi Dina pun memesan taksi lain, dan mengantar Fina sekolah.
Terlihat kalau sekolah itu sudah ramai, banyak murid-murid yang sudah datang. Dina kemudian datang kepada pihak yang berwenang untuk menangani masalah SPP. Fina sudah masuk kedalam kelasnya, jadi Dina seorang diri mengurus SPP Fina.