Setelah sampai di salah satu kamar marbot di masjid itu, Jhana pun duduk di atas sebuah ranjang kecil, ranjang itu memang hanya ada satu dan kecil, namun di atasnya terdapat selimut, bantal, guling dan spreinya juga membuat siapa saja betah berlama-lama berada di atasnya.
"Hanya ada ranjang ini di dalam kamar ini, tapi dikamar saya dan Yazid ada dispenser dan galon, televisi, kipas angin dan barang-barang lain. Ranjang kami agak lebih besar dari ini. Kami biasanya makan dirumah pak Ustad Alman, beliau menyuruh kami untuk menjadi marbot disini, dan segala kepentingan kami dipenuhi oleh beliau, tapi Yazid tetap bekerja untuk beberapa hal yang kami butuhkan," jelas Arini.
"Terima kasih atas keramahanmu, panggilah aku sebagai Jhana saja agar kita semakim akrab, dan izinkan aku memanggilmu Arini saja, dan mari gunakan bahasa yang sedikit tidak formal," ucap Jhana.
"Oh iya, tidak masalah, aku justru senang jika kau maunya begitu."
Jhana tersenyum.
"Kau orang asli sini?" tanya Jhana.
"Iya, aku lahir disini tapi besar di Lombok, aku bertemu dengan Yazid di Lombok dan setelah menikah, kami pindah ke kampung halamanku," jawab Arini.
"Jhana, pak Ustad Alman akan bertanya beberapa hal sebelum benar-benar menerimamu disini, salah satunya aku harus tahu siapa kau. Mau menceritakan tentang dirimu?" sambung Arini.
"Tentu saja, kau adalah orang yang baik, kurasa kau adalah orang yang cocok untuk menerima ceritaku. Sini, duduk," ujar Jhana.
Usai membentang karpet sajadah, Yazid berjalan menuju teras masjid dan menyapunya, tidak lama setelah ia selesai menyapu teras masjid, seorang pria paruh baya datang.
"Assalamualaikum," kata pria itu.
"Waalaikumsalam. Pak Ustad datang cepat sekali hari ini," sambut Yazid.
"Ya, saya ingin adzan sekali-kali, sudah lama saya tidak melakukan adzan. Semuanya sudah beres?" tanya pak Ustad Alman.
"Sudah pak Ustad, silakan adzan."
"Bagus." Pak Ustad Alman kemudian tersenyum dan berjalan masuk kedalam masjid, ia lantas melakukan adzan.
"Jadi apa yang akan kau lakukan selanjutnya? Kau sudah pasti tidak akan terus disini dan membiarkan semuanya semakin berlarut-larut, kan?" tanya Arini.
"Entahlah, tapi untuk jangka waktu pendek, aku berencana untuk keluar dari pekerjaanku dan bekerja di kebun buah Dhananjaya," jawab Jhana.
"Jadi, mereka adalah keluarga investor dan pemilik perusahaan pakaian yang memiliki kebun buah?"
"Ya, ayah adalah seorang investor dan pemilik sebuah perusahaan pakaian yang kaya raya, namun sepertinya ketika posisinya diambil alih oleh ibu, ibu lebih mengurus kebun buah dan mengembangkannya ketimbang bisnis investasi dan perusahaan pakaian mereka."
"Tapi jika kau berpikir kalau sesekali temanmu yang bernama Dina itu akan membawa anak-anakmu ke mansion Dhananjaya, apa akan sulit bertemu dengan mereka jika kamu bekerja di kebun buah Dhananjaya?"
"Aku tahu, bahkan jika dengan penyamaran yang sempurna, aku tidak akan memiliki kesempatan yang besar untuk bertemu kembali dengan anak-anakku, tapi setidaknya ada kesempatanku untuk bertemu dengan mereka."
Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamar marbot yang ditempati Jhana. Arini lalu membukanya. Ia mendapati pak Ustad Alman dan Yazid yang berdiri di depan pintu kamar tersebut.
"Eh? Pak Ustad?" sambut Arini, Jhana pun segera berdiri untuk ikut menyambut pak Ustad Alman.
"Yazid mengatakan kalau ada seorang wanita yang tidak punya tempat tinggal disini. Dimana orangnya? Saya ingin mengetahui tentangnya lebih jauh, dia harus bercerita pada saya," ucap pak Ustad Alman.
"Saya orangnya, pak Ustad," ujar Jhana.
"Apa kita akan mengobrol di dalam masjid saja?" usul Arini.
"Ayo, itu lebih bagus," kata pak Ustad Alman.
Jhana pun mengikuti mereka bertiga. Belum ada yang datang ke masjid, hanya ada mereka berempat, jadi bercerita tentang hal seperti masa lalu Jhana bukanlah sesuatu yang harus ditahan oleh Jhana dengan keadaan sepi seperti ini.
"Jadi, siapa namamu?" tanya pak Ustad Alman.
"Saya Rinjhana, biasa dipanggil Jhana, pak Ustad," jawab Jhana.
"Kalau saya Ustad Alman, panggil saja saya dengan nama itu," ucap pak Ustad Alman.
"Baik, pak Ustad."
"Dari mana asalmu?"
"Saya orang Jakarta asli, pak Ustad," jawab Jhana.
"Dimana keluargamu? Kenapa kau bisa sampai disini dan tidak punya tempat tinggal?"
"Lima tahun yang lalu, saya pergi dari Jakarta, lari ke Jogja, meninggalkan keluarga saya yang ada disana."
"Kenapa kau lari?"
"Maaf, mungkin sebaiknya saya menceritakan segalanya dari awal, tapi akan sedikit panjang, tidak apa-apa kan, pak Ustad?"
"Oh, tentu, cerita saja, itulah yang saya butuhkan sekarang."
"Saya adalah yatim piatu yang tinggal di sebuah panti asuhan di Jakarta sejak bayi, namun ketika usia saya belum genap setahun, sebuah keluarga bernama Dhananjaya mengasuh saya, mereka adalah keluarga kaya raya, kepala keluarga itu adalah Farzin Dhananjaya, beliau merupakan seorang investor, pemilik sebuah perusahaan pakaian dan memiliki beberapa kebun buah. Sebelum mengasuh saya, ibu dan ayah angkat saya memiliki seorang putra bernama Rasyid, dan setelah mengasuh saya, mereka memiliki tiga anak kandung lagi. Fakta bahwa saya adalah anak adopsi di keluarga itu tidak pernah ditutupi, namun mereka semua tidak membedakan saya dan tetap menyayangi saya," jelas Jhana.
"Tapi pada akhirnya saya dan Rasid justru saling jatuh cinta dan akhirnya menjalin hubungan. Hubungan kami memang tidak terlarang karena kami tidak memiliki hubungan darah, namun orangtua angkat saya selalu memperlakukan kami sebagai saudara, mereka tidak pernah berharap kalau anak angkatnya akan saling jatuh cinta dengan anak kandungnya, mereka akan sangat marah apa bila hal seperti itu sampai terjadi. Ketika ibu dan ayah angkat saya menjodohkan Rasyid dengan seorang perempuan bernama Raya, Rasyid tidak bisa menolak, sebab dia adalah anak yang penurut pada orangtuanya, terlebih saat itu ayah Raya sedang sakit-sakitan dan sangat ingin melihat putri tunggalnya menikah, Rasyid menjadi kasihan pada ayah Raya dan menerima perjodohan itu. Saya tidak menghalangi perjodohan itu, meskipun secara jujur Rasyid mengatakan pada saya kalau dia hanya mencintai saya, dia tidak pernah mencintai Raya," lanjut Jhana.
"Setelah menikah, Raya tinggal bersama keluarga Dhananjaya, dan memiliki hubungan yang baik dengan anggota keluarga Dhananjaya, tapi ketika dia tahu kalau saya adalah anak adopsi, dia berusaha untuk menyingkirkan saya dari kehidupan Dhananjaya dan kehidupannya. Dia merasa jijik dengan saya dan mengatakan kalau niatnya yang sebenarnya menikah dengan Rasyid adalah dendam. Dia menunjukkan kedoknya di hadapan saya, namun dia terlihat sangat baik di hadapan anggota keluarga Dhananjaya. Saya berusaha untuk tidak mengumumkan kedok Raya karena saya takut kalau pada akhirnya keluarga saya akan menganggap saya mencintai Rasyid dan tidak sudi dengan kehadiran Raya di tengah keluarga itu," sambung Jhana.
"Raya tahu tentang ketakutan saya dan semakin menjadi-jadi. Dia berusaha meracuni ibu saya dan berusaha untuk mengurangi jatah harta warisan yang akan saya dapat nantinya, namun semuanya berhasil saya gagalkan. Rasyid akhirnya tahu akan hal itu dan mulai membenci Raya. Rasyid tidak bisa menceraikan Raya karena teringat akan sumpahnya pada ayah Raya untuk menjadi suami dan penjaga Raya seumur hidupnya. Pada akhirnya, Rasyid dan saya menjadi lebih serius menjalin hubungan kami, dan hubungan kami berhasil diketahui oleh Raya, dan dia membongkar segalanya tentang hubungan saya dan Rasyid yang sebenarnya. Dia menuduh kami berselingkuh dan mengatakan kalau saya adalah perempuan perebut suami orang. Ibu saya marah besar ketika hubungan asmara saya dan Rasyid terbongkar, tapi ayah saya membela Rasyid dan saya."
"Saya tahu kalau hubungan asamara saya dan Rasyid pasti akan selalu dibenci oleh ibu, namun yang namanya cinta sudah pasti tidak memandang apa pun lagi. Kemudian saya diusir dari mansion Dhananjaya, dan pada saat itu saya dalam keadaan hamil. Sebelum diusir, saya telah menerima uang dari Rasyid untuk modal saya bertahan hidup, dan uang itu saya gunakan untuk mengontrak rumah. Rasyid masih tetap mencintai saya, begitu juga sebaliknya, dia masih sangat sering mengunjungi saya dan menyembunyikan kehamilan saya dari keluarga Dhananjaya. Sampai akhirnya saya melahirkan."
"Begitu terus selama setahun hingga saya hamil anak kedua kami. Setelah anak kedua kami lahir, kami memutuskan untuk berhenti memiliki anak, sedangkan Rasyid tak kunjung mendapatkan anak dari Raya. Sekama bertahun-tahun, saya dan kedua anak saya bisa bertahan hidup karena Rasyid menanggung-jawabi kami, dia rutin datang seminggu lima kali dan rutin memberikan saya uang. Dia selalu meminta pudding rasa jeruk ketika mengunjungi saya dan anak-anak kami. Hingga akhirnya, Raya mengetahui kalau saya dan Rasyid masih tetap berhubungan dan sudah memiliki dua anak."
"Entah bagaimana caranya, tapi akhirnya dia mengetahui rumah kontrakan saya. Dia memberitahu anggota keluarga Dhananjaya yang lain mengenai hal itu, dan tentu saja mereka semua datang pada saya. Ibu melabrak dan mengancam saya, ibu bilang jika saya tidak pergi jauh dari kehidupan keluarga Dhananjaya, maka saya dan anak-anak saya akan mendapatkan teror berkepanjangan. Dan hal itu lah yang membuat saya lari ke Jogja, padahal ketika itu saya sedang hamil anak ketiga saya dari Rasyid. Rasyid adalah satu-satunya anggota keluarga Dhananjaya yang tidak hadir ketika penglabrakan itu terjadi. Saya akhirnya merasa takut dengan ancaman ibu saya dan memutuskan untuk tidak berkomunikasi lagi dengan Rasyid dan memulai hidup baru disini bersama ketiga anak saya."
"Tidak lama setelah saya melahirkan anak ketiga saya, saya mendapatkan kabar dari tetangga saya kalau seseorang bernama Rasyid Dhananjaya melakukam bunuh diri, dan kasus itu pernah diliput oleh media. Dan sampai sekarang saya tidak tahu alasan Rasyid melakukan aksi bunuh diri. Sampai akhirnya, seorang teman kerja saya yang bernama Dina, mengajak saya untuk mengikuti makan malamnya dengan keluarga tunanganya. Keluarga Dina berada di Pontianak, dan keluarga tunangannya menyuruhnya untuk mengajak beberapa teman-temannya untuk menggantikan posisi keluarganya, Dina kemudian mengajak saya juga ketiga anak saya."
"Hal yang paling tidak saya sangka adalah, tenyata tunangan Dina itu merupakan adik kandung Rasyid, Isa namanya. Isa adalah anak bungsu, yang artinya calon keluarga baru Dina merupakan keluarga angkat saya, atau mungkin bisa disebut sebagai mantan keluarga angkat saya."
"Dari mana kau tahu kalau keluarga itu adalah keluarga Dhananjaya?" tanya pak Ustad Alman.
"Karena saya bertemu dengan ayah saya di halaman depan mansion mereka. Ayah saya sepertinya terserang stroke, kaki beliau lumpuh, begitu juga dengan tangannya, yang mungkin hanya bisa digerakkan sedikit, beliau juga sulit untuk berbicara sekarang."
"Apa mereka pindah dari Jakarta ke Jogja?" tanya pak Ustad Alman, lagi.
"Ya, mereka pindah dan membangun sebuah mansion baru disini. Ayah saya ternyata masih menerima saya, beliau menangis bahagia ketika bertemu kembali dengan saya, saya bisa melihat raut kebahagiaan di wajahnya. Setelah bertemu dengan ayah saya, saya memutuskan untuk tidak masuk kedalam mansion Dhananjaya, sedangkan sebelumnya dompet saya tertinggal di taksi yang saya, Dina dan anak-anak tumpangi, jadi saya menunggu taksi itu kembali di depan gerbang, sedangkan mereka berempat masuk untuk memulai acara makan malamnya, disitulah saya akhirnya bertemu dengan ayah saya.".
"Apa yang membuatmu memutuskan untuk tidak masuk kedalam?" tanya pak Ustad Alman.
"Karena saya masih trauma dengan pengusiran yang dilakukan ibu, sepuluh tahun yang lalu. Mereka semua memusuhi saya, kecuali ayah saya, dan dalam keadaan seperti itu, jika Raya melihat saya, dia pasti akan langsung menghabisi saya. Terlalu banyak resiko yang saya ambil jika saya memilih untuk masuk kedalam mansion," jawab Jhana.
"Lalu bagaimana dengan anak-anakmu?"
"Secara tidak langsung saya menitipkan mereka pada Dina, keluarga Dhananjaya pasti akan tahu kalau anak-anak saya adalah orang miskin dan tidak akan menerima mereka. Jadi, ketika saya menghilang secara tiba-tiba, Dina pasti akan mengasuh anak-anak saya."
"Kenapa kau kabur?"
"Karena sudah pasti akan timbul banyak pertanyaan dari Dina, saya belum siap untuk memberitahu segalanya pada Dina, makanya saya memilih jalan ini."
"Apa pekerjaanmu dan Dina?"
"Kami bekerja disebuah rumah makan, saya sebagai pelayan dan Dina sebagai kasir. Dina adalah anak orang kaya yang memilih hidup mandiri, makanya keluarga Dhananjaya menyetujui hubungan Isa dan Dina."
"Apa keluarga Dhananjaya itu memiliki sifat yang sombong?"
"Hampir semuanya memiliki sifat sombong, saya juga tidak mengerti kenapa."
"Apa rencanamu kedepannya?"
"Saya sudah meninggalkan sebuah surat di lubang ventilasi di kostnya Dina, saya juga meninggalkan sedikit uang di dalam sebuah amplop yang ada disebelah surat itu. Jam lima nanti saya akan kesekolah anak kedua saya untuk membayar uang sekolahnya, hanya dia anak saya yang bersekolah."
"Kau mengontrak rumah di Jogja ini, kan? Bagaimana dengan pemiliknya?"
"Soal itu ...."