Isa dan Dina membuka kedua mata mereka secara perlahan, dan sangat terkejut dengan apa yang ada di ruang tengah.
"Apa yang terjadi disini?" ucap Isa, yang sangat terkejut melihat ruangan itu, sampai-sampai ia tidak berkedip sama sekali.
"Aku ... tidak percaya ini," ujar Dina yang juga sangat terkejut sampai tidak berkedip sama sekali.
Ya, siapa pun tidak akan menyangka dengan apa yang ada di ruang tengah. Jhana menjadikan ruangan itu sebagai kamar, namun yang ada disana lebih seperti 'kapal pecah'.
2 kasur yang tidak memiliki ranjang, berada di posisi yang tidak beraturan. Sprei, selimut, bantal semuanya berserakkan, bahkan ada beberapa baju kotor disana. Di ruangan yang dijadikan sebagai kamar itu juga terdapat dispenser, lemari, galon kosong dan kipas angin. Beberapa barang kecil lainnya juga ada disana, namun sangat berantakkan, keadaan ini akan membuat siapa saja yang melihatnya merasa pusing.
"Apa ini kamar?" tanya Isa.
"Mana kutahu, aku saja terkejut melihat ruangan ini," jawab Dina.
"Dan sekarang aku tahu kenapa kak Jhana tidak pernah membiarkanku masuk kedalam rumah ini," lanjut Dina.
"Tunggu, tapi apa mungkin ini sebuah perampokan?" ucap Isa.
"Jika dilihat dari keadaannya, mungkin iya, tapi kurasa kita tanyakan saja dulu pada anak-anak itu, apa sebelum mereka pergi, keadaan rumah ini seberantakkan ini atau tidak, kalau tidak, berarti rumah ini dirampok. Tapi sebelum itu kita cek dulu dapur, jika kak Jhana tidak ada di dapur, besok setelah satu kali dua puluh empat jam kita bisa membuat laporan kepada polisi tentang hilangnya kak Jhana," usul Dina.
"Ide yang bagus, kalau begitu ayo kita ke dapur," ujar Isa, namun baru saja satu langkah berjalan, Isa berhenti karena merasa telah menginjak sesuatu. Ia kemudian berjongkok dan mengambil benda yang diinjaknya itu. "Kunci?"
"Apa itu kunci pintu depan?" kata Dina.
"Atau kunci lemari ini?" tambah Isa.
"Simpan saja kunci itu," suruh Dina. Isa memutar kedua bola matanya.
Mereka berdua kemudian berjalan menuju dapur dan tidak mendapatkan apa pun disana. Dina pun kembali ke ruang tengah, sedangkan Isa membangunkan anak-anak Jhana. Belum lama Dina menunggu, Isa datang bersama ketiga bocah itu, mereka terlihat masih mengantuk, dan berusaha untuk sadar sepenuhnya dengan cara menggosok-gosok mata mereka sendiri.
"Kita sudah sampai dirumah kami?" tanya Fina.
"Iya," jawab Dina.
"Dimana ibu kami?" tanya Mona.
"Dia belum kembali, sepertinya dia akan kembali besok," ucap Dina yang berusaha untuk tidak membuat anak-anak itu panik dengan ibu mereka yang tiba-tiba menghilang tanpa jejak, padahal ia sendiri tidak tahu kapan Jhana akan kembali. Setelah menjawab pertanyaan Mona, Dina dan Isa saling melirik.
"Sekarang kakak mau tanya. Apa ketika kalian pergi ruangan ini seberantakkan seperti sekarang?" tanya Dina.
"Eh? Astaga! Kenapa kalian tidak meminta izin dulu pada kami sebelum masuk kesini?!" Mona tiba-tiba panik.
"Kenapa memangnya?" tanya Isa.
"Ibu mengatakan kalau tidak ada waktu lagi untuk membereskan ruangan ini, ibu takut kami terlambat dan melakukan segala hal secara terburu-buru, padahal ketika kami keluar, kami butuh waktu sepuluh menit lebih untuk menunggu kak Dina, dan busana kami sudah tidak memungkinkan untuk melakukan pemberesan pada ruangan ini. Jadi maaf jika ruangan ini berantakkan. Hmm, maaf, kalian mau apa? Disini ada teh sama sirup," jawab Mona.
"Ambil seluruh pakaian kalian, dan ambil seluruh barang berharga kalian dari rumah ini," suruh Dina.
"Eh? Untuk apa?" tanya Zhani.
"Apa yang ingin kau lakukan?" tanya Isa pada Dina.
"Sepertinya ini bukan penculikan atau pun perampokan, mereka ditelantarkan tanpa alasan yang jelas, jadi pada dini hari seperti ini, sebaiknya kita membawa mereka ke kostku saja," jawab Dina.
"Ditelantarkan? Perampokan? Penculikan? Apa maksud kakak?" tanya Fina.
"Apa yang sebenarnya terjadi pada ibu kami?" tanya Mona yang mulai panik.
Dina melirik Isa, seolah mengisyaratkan untuk menyerahkan tugas menjawab pertanyaan mereka padanya. Dan Isa pun peka akan hal itu.
"Anak-anak, mungkin kalian memang harus tahu segalanya," ucap Isa sambil berjongkok untuk menyesuaikan tingginya dengan anak-anak Jhana.
"Tahu apa?" tanya Fina.
"Bahwa ibu kalian menghilang secara tiba-tiba ketika acara makam malam tadi. Dia tidak memberikan kabar sama sekali dan tidak bisa dihubungi oleh kak Dina. Makanya kami membawa kalian kesini untuk melihat apakah ibu kalian ada disini atau tidak, dan ternyata tidak ada. Dilihat dari kondisi ruangan ini dan dari jawaban kalian, sepertinya rumah ini tidak dirampok, namun kemungkinan ibu kalian diculik," jelas Isa.
"Diculik?" lirih Fina.
"Tapi jangan khawatir, kemungkinan juga ibu kalian ada urusan mendadak yang tidak bisa diundur, mungkin dia pergi keluar kota secara mendadak tanpa sebuah rencana. Kita belum bisa memastikan apa pun sebelum besok malam, jika sampai besok malam ibu kalian tidak ada kabar, maka kita bisa melaporkan kepada polisi mengenai masalah hilangnya ibu kalian."
"Tapi, apa ibu kami baik-baik saja?" tanya Zhani yang tampak sedih.
"Kita doakan hal-hal yang terbaik untuk ibu kalian."
"Jadi kami akan makan apa besok? Bagaimana kami hidup tanpa ibu kami? Uang sekolah Fina belum dibayar untuk sebulan kedepan, dan apa pemilik kontrakan ini tahu akan hilangnya ibu? Bagaimana dengan pekerjaan ibu?" kata Mona.
"Sampai ibu kalian kembali, kakak rasa sebaiknya kalian tinggal di kost kakak saja, kakak akan mengurus makan kalian, dan tenang saja, bila waktunya telah tiba untuk membayar uang sekolah Fina, kakak akan meminta uang dari orangtua kakak," ucap Dina.
"Tapi kami hanya akan merepotkan kakak."
"Kakak tahu kalian bukan anak yang merepotkan, makanya kakak membuat keputusan ini."
"Jadi, yang harus kami lakukan sekarang adalah membereskan barang-barang berharga kami dan pakaian-pakaian kami?" tanya Fina.
"Ya. Dan mari kita membereskan rumah ini sebelum kita tinggalkan rumah ini untuk waktu yang tidak kita ketahui, kak Dina dan paman Isa akan membantu, tenang saja," jawab Dina.
Mereka semua pun akhirnya bekerja sama untuk membereskan dan membersihkan rumah itu pada dini hari, hingga jam menunjuk pada pukul 01:05, mereka akhirnya selesai.
"Kenapa dirumah ini tidak ada foto yang terpajang?" tanya Isa setelah meneguk segelas air putih.
"Seharusnya ada dua, tapi belakangan aku tidak memperhatikannya, mungkin ibu memindahkannya," jawab Mona.
"Apa kalian pernah melihatnya akhir-akhir ini, Zhani, Fina?" tanya Isa.
"Aku selalu sibuk mengerjakan tugas sekolah, jadi aku tidak terlalu ingat dimana dua foto itu diletakkan," jawab Fina.
"Aku bahkan tidak sadar kalau dirumah ini ada dua foto yang terpajang," jawab Zhani.
"Apa itu adalah hal yang penting?" tanya Mona pada Isa.
"Tidak untuk sekarang, tapi foto ibu kalian akan berguna untuk membuat laporan orang hilang. Dina apa kamu memiliki foto kak Jhana temanmu itu?" Isa menghampiri Jhana yang sedang menutup resleting dari sebuah ransel kecil, dan di sebelah kanannya ada 2 ransel lainnya.
"Hmm, tidak, aku tidak pernah berpikir untuk mengambil fotonya, atau bahkan untuk foto berdua," jawab Dina.
"Hoaaahhhmm, bisakah kita kembali ke mobil? Aku sangat ngantuk," ujar Zhani.
"Apa semuanya sudah selesai?" tanya Isa.
"Sudah, ayo pergi ke kostnya kak Dina." Mona juga terlihat sudah mulai mengantuk lagi.
"Apa kita akan memberitahu hal ini pada pemilik kontrakan ini dulu?" usul Dina.
"Kurasa tidak perlu, apa lagi jika ibu mereka pulang besok. Kita hanya akan repot menjelaskan segalanya. Ayo, kita langsung berangkat ke kostmu," ajak Isa.
"Baiklah kalau begitu, aku setuju. Ayo anak-anak."
Mereka berlima kemudian keluar dari rumah itu dan berjalan menuju mobil Isa. Isa kemudian berjalan ke arah bagasi mobilnya dan menyuruh Dina untuk memasukkan 3 ransel itu kedalamnya. Disana juga ada sebuah kasur yang dapat dilipat, 3 bantal, selimut dan beberapa barang lainnya.
"Pintunya tidak kau kunci, kan?" tanya Dina pada Isa setelah mereka semua masuk kedalam mobil.
"Tidak, dan kuncinya aku bawa," jawab Isa.
"Mari sini, biar aku saja yang simpan kuncinya," ucap Dina, Isa lalu menurut dan menyerahkannya pada Dina.
Usai perjalanan yang tidak terlalu jauh antara rumah kontrakan Jhana dan kost Dina, akhirnya mereka sampai di kost Dina. Anak-anak Jhana kembali tertidur pulas di dalam mobil Isa, sedangkan Dina terbangun ketika mobil berhenti.
"Jam berapa ini?" tanya Dina.
"Satu lewat empat belas," jawab Isa.
"Aku turun dulu ya, kalau mereka tinggal disini, aku harus melapor pada pemilik kostku."
"Baiklah, aku mana kunci kostmu? Aku akan memindahkan semua barang-barang itu."
Dina kemudian mengecek tas kecilnya dan mengambil sebuah kunci, lalu memberikannya pada Isa. Isa menerimanya dan segera turun, begitu juga dengan Dina yang langsung pergi menuju rumah pemilik kostnya yang berada tak jauh dari kost tempatnya tinggal.
Setelah mereka berdua selesai dengan urusan mereka masing-masing, mereka akhirnya bertemu lagi di depan pintu kost Dina.
"Apa kau membangunkan anak-anak itu?" tanya Dina.
"Iya, mereka tidur lagi di dalam," jawab Isa.
"Kau mengatakan apa pada pemilik kost ini? Dia mau menerima mereka?" lanjut Isa.
"Aku bilang ibu mereka sedang ke Jakarta untuk beberapa hari sampai beberapa minggu kedepan, mereka tidak punya siapa-siapa di Jogja ini makanya ibu mereka menitipkan mereka padaku, dan aku juga mengatakan kalau kita baru kembali dari bandara setelah mengantar ibu mereka. Dan baginya tidak masalah jika mereka bertiga tinggal disini, asal mereka bertiga tidak menganggu ketenangan di lingkungan ini."
"Baiklah, sepertinya ini adalah saatnya bagiku untuk pulang," ucap Isa.
"Pulanglah, ini sudah jam setengah dua."
"Tapi, soal mereka, gajimu tidak akan cukup untuk membiayai empat orang sekaligus, katakan padaku jika kamu butuh uang atau sesuatu."
"Tidak apa, aku akan meminta bantuan orangtuaku saja. Aku tidak mau merepotkanmu, tabunglah uangmu untuk masa depan kita nanti," canda Dina.
"Haha, itulah yang membuatku semakin cinta denganmu."
"Aku pulang dulu, ya," sambung Isa.
"Hati-hati dijalan," ujar Dina.
"Dadah." Isa melambaikan tangannya dan masuk ke dalam mobilnya.
Setelah Isa pergi, Dina pun masuk kedalam kostnya dan melihat anak-anak Jhana sudah tertidur pulas di dalamnya. Dina merasa iba pada mereka bertiga, sekaligus masih heran dengan Jhana yang tiba-tiba menghilang. Ia kemudian mengunci pintu depan kostnya, dan secara tidak sengaja melihat sebuah amplop beserta kertas di lubang ventilasi, Dina pun mengambil kertas itu.
Dan ternyata itu adalah sebuah surat.
Maafkan aku, menghilang tiba-tiba tanpa alasan seperti ini sudah pasti akan merepotkan orang lain, dalam kasus ini, aku telah merepotkanmu. Aku punya alasan sendiri kenapa menghilang seperti ini, dan aku tidak bisa memberitahu siapa pun mengenai alasanku. Aku tidak diculik, jadi jangan cari aku. Disaat seperti ini datang, aku tahu, bahwa kaulah orang yang akan mengasuh anak-anakku, jadi aku menyiapkan sedikit uang di dalam amplop itu, jangan pikirkan uang sekolah Fina, biarkan itu menjadi urusanku. Jika mereka tidak mau menurut padamu dan nakal, marahi saja mereka. Jangan manjakan mereka, lakukan apa yang mestinya seorang ibu lakukan. Dina, sekali lagi maafkan aku, aku telah membuatmu repot, aku sendiri tidak menyangka kalau akhirnya akan jadi seperti ini. Dan mohon jangan cari aku, maafkan aku.
Jhana
Begitulah isi surat tersebut. Ternyata Jhana meninggalkan sebuah surat dan amplop di lubang ventilasi kost Dina.
"Itu artinya dia sudah kesini sebelum aku?" gumam Dina.
"Tapi apa alasan dan tujuannya menghilang seperti ini?"
Dina lantas mengambil amplop itu.
'Aku hanya bisa mendapatkan jawaban di rumah makan Populer dan sekolahnya Fina, salah satu dari dua tempat itu pasti akan di datangi oleh kak Jhana besok,' batin Dina.
Jam akhirnya menunjuk pada pukul 03:15. Jhana masih tertidur pulas di sandaran sebuah pilar yang terdapat di sebuah masjid. Seorang wanita berhijab tanpa sengaja melihat Jhana yang tertidur sambil bersandar di pilar, ia pun lantas membangunkannya secara sopan.
"Nyonya, Nyonya."
Tak butuh waktu yang lama baginya untuk mendapatkan respon dari Jhana. Jhana segera bangun setelah seseorang berupaya untuk membangunkannya.
"Hm? Eh?" ujar Jhana.
"Kenapa Anda tidur disini?" tanya wanita itu.
"Kau siapa?" Jhana bertanya balik.
"Saya marbot disini, sebelum subuh tiba, saya sudah harus membersihkan masjid ini agar orang-orang nyaman salatnya," jawab wanita itu.
"Oh begitu, maafkan saya, saya tidak punya tempat tinggal lagi, makanya saya tidur disini. Yasudah, saya permisi dulu, maaf, ya," ujar Jhana.
"Tunggu. Disini ada dua kamar marbot, saya tinggal satu kamar bersama suami saya, jika Nyonya mau, Nyonya bisa tinggal sementara waktu di kamar yang satu lagi, saya akan meminta izin pada Ustad yang membangun masjid ini, beliau juga warga disini, beliau yang menjadi imam di masjid ini."
"Tapi ..."
"Tidak masalah Nyonya, walaupun Nyonya ini bukan warga di sini, tapi Nyonya juga berhak menempati kamar yang satunya."
"Sejujurnya saya memiliki masalah keluarga," kata Jhana.
"Masalah keluarga?"
"Saya rasa, saya bisa menceritakannya padamu nanti. Terima kasih atas penawarannya, saya Rinjhana, biasa dipanggil Jhana."
"Saya Arini."
Mereka berdua kemudian bersalaman.
"Mari saya antarkan ke kamar yang satunya," ajak Arini. Jhana pun berdiri dan berjalan mengikuti Arini.
Ketika sampai di ruangan yang terdapat 2 kamar marbot, Arini dan Jhana bertemu dengan seorang pria.
"Arini, ini siapa?" tanya pria tersebut.
"Ini Rinjhana, panggil saja dia Jhana, dia tidak punya tempat tinggal lagi, katanya dia memiliki masalah keluarga, dia tidur di depan semalaman. Aku menyuruhnya tinggal di kamar yang satu lagi untuk sementara waktu, tidak apa-apa kan?" jawab Arini.
"Tentu saja tidak apa-apa, pak Ustad pasti akan senang dengan kedatangan tamu baru di masjid ini," ujar pria itu.
"Nah, Nyonya Jhana, ini suami saya, namanya Yazid, kami terbiasa saling memanggil nama masing-masing, jadi kadang terdengar kurang sopan," kata Arini dengan ramahnya.
Jhana dan Yazid kemudian bersalaman sambil tersenyum.
"Bagian dalam masjid sudah kau sapu?" tanya Yazid pada Arini.
"Sudah, tapi karpet sajadahnya belum kubentang," jawab Arini.
"Baiklah, temani saja Jhana, biar aku saja yang membentangnya sekalian aku sapu teras," ucap Yazid yang kemudian pergi kedalam masjid.
"Ayo kita ke kamar yang akan Anda tempati," ajak Arini, Jhana kemudian mengangguk dan berjalan mengikuti Arini.