Chereads / Konsekuensi / Chapter 5 - Ingatan Itu, 10 Tahun yang Lalu

Chapter 5 - Ingatan Itu, 10 Tahun yang Lalu

"Keluar kau dari sini! Mulai detik ini, kaulah orang yang paling kubenci di dunia ini!" seru Ny. Zemira sambil melemparkan sebuah tas jinjing berwarna hitam berukuran besar keluar dari mansionnya.

"Tapi ibu, dengar dulu," pinta Jhana sambil menangis.

"Jangan panggil aku dengan sebutan 'ibu' lagi! Aku bukan ibumu dan tidak akan pernah menjadi ibumu lagi!" amarah Ny. Zemira semakin meluap-luap.

"Ibu.."

"Aku bilang pergi kau dari sini!"

Seluruh penghuni mansion Dhananjaya hanya melihat kejadian itu, ya, baru kali ini semuanya melihat Ny. Zemira semarah ini, apa lagi ia marah pada anak angkatnya sendiri yang sudah dianggapnya seperti anaknya sendiri.

"Gerbang ini terbuka lebar sekarang! Ayo cepat pergi!" teriak Ny. Zemira yang memang sedang berdiri di depan gerbang sambil terus mendorong Jhana yang melawan dorongannya.

"Ibu, ibu sudah salah paham," ucap Jhana yang lepas dari dorongan Ny. Zemira.

"Apa pun alasanmu, hatiku sudah terlanjur sakit! Bagaimana bisa kau melakukan hal seperti itu?!"

"Tapi ibu jangan menyalahkan sepihak." Jhana masih menangis tanpa jeda.

"Aku tidak peduli! Kau adalah orang yang paling hina di muka bumi ini! Dasar perempuan yang tidak tahu untung!"

"Ibu, dengarkan aku dulu," kata Jhana sambil memeluk kaki kanan Ny. Zemira.

Ny. Zemira kemudian menendang Jhana dan berseru, "Aku bahkan tidak sudi jika kau menyentuh pakaianku!"

"Ibu ...." namun Jhana kembali memeluk kaki Ny. Zemira.

"Pergi! Pergi! Pergi kau!!" Ny. Zemira merasa sangat geram pada Jhana sampai ia menjambak rambut Jhana sambil menggoyang-goyangkan kepala putri angkatnya tersebut. Ia kemudian menarik rambut Jhana kebelakang yang tentu saja membuat tubuh Jhana terhempas, Jhana pun meringis kesakitan.

Melihat istrinya yang mulai brutal, Tn. Farzin melangkah maju dan berusaha menghentikan Ny. Zemira. "Zemira ..."

"Jangan ada yang maju! Jika ada yang maju, itu sama saja dengan kalian menghinaku!" ucap Ny. Zemira, Tn. Farzin pun menghentikan langkahnya.

"Ibu, hentikan," ujar mendiang putra sulung Tn. Farzin dan Ny. Zemira, yang berusaha maju, namun tangannya ditahan oleh Raya.

"Sudah kubilang jangan ada yang maju!"

Tiba-tiba Ny. Zemira merasa sesak nafas, sepertinya hal itu di akibatkan karena ia terus berteriak, sehingga membuat jantungnya berdetak lebih cepat dan juga berdampak pada nafasnya. Ia kemudian memegangi dadanya, dan membuat semua orang panik.

"Ibu!"

"Nyonya!"

"Zemira!"

Semuanya panik dan langsung menghampirinya, bahkan juga Jhana. Namun Bunga menghalangi Jhana. "Jika kau masih disini, kau akan membunuh ibu," ucapnya. Jhana pun kemudian paham akan keadaan, ia hanya akan membuat Ny. Zemira semakin sakit jika ia menetap di mansion tersebut, jadi dengan berat hati, Jhana memutuskan untuk pergi. Sebelum keluar dari gerbang dan mengambil tasnya, Jhana menoleh kebelakang dan melihat Tn. Farzin yang menggendong Ny. Zemira. Air matanya telah berhenti mengalir saat melihat Ny. Zemira sesak nafas tadi, namun kini air matanya kembali menetes melihat keadaan Ny. Zemira.

Mungkin ini salahnya, ia hanya tidak ingin ibu angkatnya tambah parah keadaannya karena dirinya, oleh sebab itu, Jhana menyerah dan pergi dengan pakaian dan uang yang berada di dalam tas jinjing itu.

Dan itu semua adalah kejadian 10 tahun yang lalu, semua itu saat ini adalah sebuah ingatan yang melintas dipikiran Jhana ketika ia dan Tn. Farzin menangis bersama. Kini semuanya mungkin masih sama, Ny. Zemira mungkin masih membencinya, dan sekarang ia sangat dekat dengan keluarga angkatnya, namun perasaan takut menghantuinya. Ia takut kejadian seperti saat itu terulang lagi, oleh karena itu, Jhana hanya memberanikan diri untuk bertemu dengan Tn. Farzin dan bertatap muka dengannya.

"Dia selalu mengatakan kalau ayah selalu bercerita tentangku ketika kalian mengobrol, dia mengatakan kalau ayah selalu berucap kalau ayah merindukan aku. Aku tahu ayah berbeda dari yang lainnya, aku tahu ayah mengerti apa yang terjadi, dan aku juga merindukan ayah," ucap Jhana.

"Ayah, maaf tapi aku tidak bisa masuk kedalam sekarang, ingatan tentang hari itu masih berlarian dipikiranku. Tapi aku tidak bisa membuat alasan kepada Dina, jadi aku memutuskan akan menghilang, aku tetap akan mengawasi mansion ini, dan aku menitipkan anak-anakku kepada ayah. Aku akan selalu mengawasi kalian semua."

Secara tidak sengaja, Jhana melihat Isa yang berjalan mendekati ia dan Tn. Farzin, namun Isa melihat kebawah ketika jalan. Jhana merasa kalau apa yang dikatakannya barusan sudah benar dan pas, ini adalah saatnya ia untuk menjalankan rencana barunya, namun mulai detik ini, semuanya akan terasa berat baginya karena harus berpisah untuk sementara waktu dari anak-anaknya.

"Aku pergi, sampai jumpa lagi disuatu tempat, ayah. Aku tahu anak-anakku akan aman jika ayah bersama mereka."

Jhana lantas melakukan kiss-bye dari berlari menuju gerbang dan bersembunyi di balik dinding yang ada di sebelah gerbang, memperhatikan mansion itu.

"Maaf, aku membuat ayah menunggu," ujar Isa yang akhirnya sampai pada Tn. Farzin yang sudah berhenti menangis.

'Apa ini takdirku untuk bertemu lagi dengan mereka? Mona, Fina, Zhani, maafkan ibu sayang, mulai sekarang kita akan hidup berpisah. Dina, besok sepertinya kita akan bertemu, namun aku memilih untuk menghindari hal itu, aku akan mengundurkan diri dari pekerjaanku besok,' batin Jhana. Ia telah mempersiapkan sebuah rencana untuk menjalankan hari-harinya mulai besok, bahkan mulai malam ini.

"Aku tidak bisa mengatakan satu hal pun kepada Dina, jika tidak, aku terpaksa memberitahukannya segala hal yang telah terjadi di masa lalu pada keluarga ini. Dan aku tidak bisa mengambil anak-anakku, jadi aku akan masuk ke dalam mansion ini dengan caraku sendiri, aku yakin mereka akan di urus oleh Dina, dan ketika Dina bekerja, dia pasti akan menitipkan anak-anakku kesini, dan aku tidak mungkin menculik mereka. Apa pun itu, aku akan mengambil anak-anakku dan membawa mereka untuk pindah ke kota lain, agar aku tidak lagi berdekatan dengan keluarga Dhananjaya, bahkan juga Dina, karena hanya akan ada bahaya jika aku terus tinggal di Jogja," gumam Jhana. Ia kemudian pergi dari mansion itu di dinginnya malam.

"Katakan halo kepada mereka," suruh Dina pada Mona, Fina dan Zhani untuk menyapa keluarga Dhananjaya.

"Apa ini? Kenapa yang datang bersamamu hanya tiga anak kecil?" tanya Ny. Zemira.

"Bibi, acara ini berbentrokan jamnya dengan jadwal kuliah semua teman kuliahku, jadi aku mengajak salah satu teman kerjaki dan menyuruhnya untuk membawa anak-anaknya juga," jelas Dina.

"Dimana temanmu itu sekarang?"

"Dompetnya tertinggal di dalam taksi yang kami tumpangi, jadi aku menghubungi taksi itu dan memintanya untuk kembali kesini, teman kerjaku itu sedang menunggunya."

"Oh begitu ya, kalau begitu silakan duduk. Lihat ibu, mereka lucu sekali kan?" ucap Bunga.

"Ayo." Dina mengajak ketiga anak Jhana itu untuk duduk.

"Apa acaranya bisa dimulai sekarang?" tanya Isa yang datang bersama Tn. Farzin.

"Apa? Dimulai? Bagaimana dengan kak Arvin? Dan temanku itu juga belum kembali, sepertinya dia masih menunggu taksi yang kami tumpangi tadi," ujar Dina.

"Kak Arvin sudah tidak bisa diharapkan lagi kehadirannya, sudahlah, jangan pikirkan dia. Dan soal temanmu, aku tidak melihat siapa pun di gerbang," kata Isa sembari duduk disebelah Dina.

"Eh? Apa mungkin dia kembali kerumahnya karena meninggalkan sesuatu yang lain?"

"Entahlah, mungkin saja."

"Kalau begitu biarkan aku mengirimkan pesan kepadanya untuk segera datang."

"Apa itu artinya kita akan menunggu hingga temanmu itu tiba?" tanya Raya.

"Ya, kurasa begitu," jawab Dina sambil mengetik.

"Bukannya aku tidak mau menunggu, tapi mansion ini jauh dari permukiman, kemungkinan makanan-makanan ini akan dingin jika menunggunya sampai."

"Lalu maksudmu?" tanya Ny. Zemira.

"Kenapa tidak kita mulai saja acara makan malamnya?" Raya langsung to the point.

"Dina, bagaimana menurutmu, nak? Apa kita akan memulainya atau menunggu teman kerjamu itu?" Ny. Zemira bertanya pada Dina.

"Tidak biasanya dia tidak membalas pesan yang kukirim, jadi menurutku langsung kita mulai saja makan malamnya," jawab Dina.

"Tapi, kau kan baru saja mengirim pesan," cegah Isa.

"Iya, tapi selama ini dia selalu membalas kurang dari satu menit setelah aku mengirim pesan, entah kenapa kali ini tidak."

"Isa, biarkan saja pihak perempuan mengambil keputusan, aku tahu kau juga yang memiliki acara ini, namun dalam hal ini, kurasa lebih baik kita mengikuti kata-kata Dina saja." Kevlar angkat bicara.

"Benar sekali." Bunga langsung menimpalinya.

"Tapi kakak, teman kerja Dina sudah sampai disini tadi, mungkin saja handphonenya tertinggal di rumahnya makanya dia tidak membalasnya. Tidak enak kan jika ketika dia kembali lagi kesini makanannya sudah hampir habis." Isa membela diri.

"Jangan khawatir, dia bukan wanita yang seperti itu. Dia pasti mengerti kalau ketika dia kembali, makan malamnya pasti sudah dimulai, paling tidak, dia pasti akan membeli makanan untuk dimakan. Dia adalah orang yang memikirkan segala kemungkinan, tak apa, mari kita mulai makan malamnya," jelas Dina.

"Ah, jadi dia seorang wanita," ucap Raya.

"Kau yakin?" tanya Isa, pada Dina. Dina kemudian mengangguk. "Baiklah." Isa mengikuti kata-kata Dina.

Semua orang mulai memegang garpu dan sendok, namun anak-anak Jhana tidak memegang apa pun, mereka hanya melihat tangan orang lain dan merasa heran, karena ini baru pertama kali mereka melihat orang memegang garpu dan sendok secara bersamaan untuk makan. Baru saja semuanya akan mulai menyantap makanan pembuka, namun Arka, Mona, Fina dan Zhani menghentikan mereka secara tidak langsung.

Ya, 4 bocah itu berdoa sebelum mulai nemakan makanan yang sudah tersaji di hadapan mereka. Hal itu sontak membuat semuanya tidak jadi makan dan mengikuti langkah keempat bocah itu untuk berdoa lebih dulu. Melihat hal itu, Tn. Farzin merasa senang dan tersenyum. Tampak yang terukir di wajahnya adalah senyum kebahagiaan, Ny. Zemira melihat senyuman itu usai ia berdoa, dan hal itu membuatnya merasa senang karena akhirnya bisa melihat senyum kebahagiaan Tn. Farzin setelah sekian lama.

Jhana terus berlari sambil memegangi dompet dan sepatu high heelsnya di tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya ia gunakan untuk menahan dress bagian bawahnya yang sudah ia tarik ke atas agar memudahkannya untuk berlari.

Dinginnya malam bisa dirasakan olehnya, namun hal itu tidak menghalanginya untuk terus berlari. Lelah sudah pasti, namun dirinya hanya akan membuang waktu jika menyempatkan waktu untuk beristirahat, terlebih sepertinya ia sudah berlari sejauh 1,5 kilometer, jadi dirinya memutuskan untuk tidak berhenti, agar dinginnya malam ini tidak akan dirasa olehnya.

Namun sebuah hal menghentikan langkahnya, Jhana melihat cahaya penerangan dari sebuah mobil, meski mobilnya belum terlihat, tetapi Jhana memutuskan untuk berhenti dan bersembunyi dibalik sebuah pohon, sampai mobil itu lewat.

Ketika mobil itu lewat, Jhana melihat seorang pria dewasa di dalamnya, ia tidak bisa mengenali siapa pria tersebut, sebab hanya bagian samping wajah pria itu saja yang terlihat.

'Kemana pria itu akan pergi? Kupikir orang yang datang kesini hanya akan pergi ke mansion Dhananjaya,' batin Jhana.

Ayang menyajikan beberapa makanan penutup yang terlihat sangat enak ke meja makan. Sedangkan Isa masih menyuapi Tn. Farzin makan.

"Ehm, Dina, boleh aku bertanya satu hal?" tanya Ny. Zemira.

"Iya bibi, silakan saja," jawab Dina.

"Kapan orangtuamu akan datang lagi kesini?"

"Mereka baru datang sebulan yang lalu untuk acara pertunanganku dan Isa, bibi. Jadi, apa hal yang harus membuat mereka datang lagi kesini?"

"Tentu saja untuk menentukan tanggal pernikahanmu dan Isa. Aku tahu kalian masih muda, tapi pertunangan ini tidak boleh dibiarkan mengambang tanpa ikatan pernikahan. Untuk apa terus terikat dengan hubungan pertunangan selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun? Jika sampai berlarut-larut, pertunangannya akan menjadi sia-sia, kalau begitu kita sebenarnya tidak butuh pertunangan ini."

"Hmm, aku belum memikirkan hal itu, bibi, tapi nanti aku akan mencoba untuk berbicara dengan orangtuaku tentang hal itu."

"Ya, sebaiknya dibicarakan dalam waktu dekat saja."

"Ibu, jangan mendesaknya seperti itu, beri dia waktu untuk mengumpulkan kesiapan untuk menjadi istri Isa dan menantu ibu juga ayah. Jika semuanya dilakukan dengan terburu-buru, hasilnya malah tidak akan bagus," ujar Isa.

"Ibu tahu. Ibu hanya mengingatkan untuk tidak membiarkan hubungan kalian berlarut-larut, karena ibu sangat menyukai Dina," kata Ny. Zemira seraya tersenyum, senyumannya dibalas oleh Dina.

"Kau beruntung, Dina," ucap Bunga.

"Beruntung? Kenapa?" tanya Dina.

"Ibu kami bukanlah orang yang gampang menyukai orang, terlebih perempuan yang akan atau ingin menjadi menantunya."

"Apa ibu terlihat seperti itu? Rasanya ibu mudah untuk menyukai orang, dan satu-satunya orang yang ibu benci hanyalah Jhana," pungkas Ny. Zemira.

"Jhana?" Dina tampak heran.

"Kenapa? Kau mengenal seseorang bernama Jhana dihidupmu?" tanya Bunga.

"Ya, ada satu, dan kebetulan Jhana yang kukenal adalah ibu dari mereka bertiga." Dina terkekeh kecil.

"Ibu dari mereka bertiga?" gumam Ny. Zemira.

Mendengar percakapan itu, Tn. Farzin menjadi deg-degan karena ia sendiri pun belum siap jika keluarganya mengetahui bahwa ketiga bocah yang dibawa Dina itu adalah anak-anak Jhana, mantan putri angkatnya dan Ny. Zemira. Namun apa yang bisa dilakukannya dengan kondisinya?.

Lain halnya dengan perasaan tegang yang dirasakan oleh Tn. Farzin, Jhana justru memikirkan percakapannya dengan Dina ketika di taksi tadi.

Ia tidak pernah menyangka bahwa 'Isa' yang dibicarakannya bersama Dina tadi adalah orang yang sama, dan ia juga tidak menyangka bahwa Isa yang terakhir kali dilihatnya masih sebagai remaja, kini sudah menjadi pria dewasa yang sebentar lagi akan menikah.

"Isa ..., sepertinya ..., kau tidak berubah," ucap Jhana.