Isa merasa terkejut sebab lupa kalau powerbanknya di charge sejak kemarin sore dan belum dicabut.
"Astaga! Ayah, aku harus meninggalkan ayah sebentar disini, aku akan segera kembali, aku lupa mencabut powerbank yang sedang aku charge sejak kemarin, jika tidak segera dicabut, entah apa yang akan terjadi, aku harus cepat, makanya aku harus meninggalkan ayah dulu sebentar disini. Sebentar saja, paling lama lima menit, ok?"
Tn. Farzin mengangguk. Isa kemudian tersenyum dan kemudian segera berlari masuk ke dalam mansion untuk mencabut powerbanknya yang sedang di charge.
Begitu Isa masuk, Dina dan Jhana beserta anak-anak Jhana sampai di mansion Dhananjaya. Dina kemudian membayar taksi langganannya itu.
"Ayo masuk," ajak Dina.
Tn. Farzin melihat mereka secara samar-samar dari kejauhan.
"Kak Dina, apakah ini sebuah istana?" tanya Mona.
"Sayang, jika kau merasa bahagia tinggal di sebuah rumah bersama keluargamu, maka rumah itu layak disebut sebagai istanamu, dan ini adalah istana keluarga kak Isa, mereka bahagia tinggal disini," jawab Dina.
"Tidak ada alasan untuk sedih karena tinggal disini. Pasti semua orang yang tinggal dirumah sebesar ini bahagia," ucap Fina.
"Yah, sepertinya begitu."
"Ayo, aku sudah tidak sabar untuk melihat isi dalamnya." Mona meraih tangan Dina. Kemudian mereka semua berjalan menuju gerbang dan membukanya sedikit.
Namun tiba-tiba Jhana merasa ada yang kurang. "Tunggu."
"Ada apa?" tanya Dina.
"Dompetku tertinggal di dalam taksi itu! Haduh! Bagaimana ini?!" Jhana terlihat panik.
"Tidak usah panik, yang tadi itu adalah taksi langgananku, jadi aku memiliki nomor teleponnya. Sebentar, aku akan menguhubunginya."
"Baiklah." Sekarang Jhana merasa sedikit lega.
Lain dengan Jhana yang panik, Ny. Zemira justru sedang kebingungan di depan meja makan, hal itu tampak dari wajahnya yang terlihat sedikit gelisah dan tatapan matanya kosong.
"Ibu, ada apa?" Bunga merasa khawatir dengan ibunya yang sedari tadi tidak bisa tenang.
"Semuanya sudah berkumpul di meja makan ini, sedangkan Isa dan ayah kalian sedang di halaman depan, tapi kemana Arvin? Kenapa dia belum datang juga?"
"Tenang saja ibu, menurut Isa, Arvin bilang kan dia akan datang sebelum acara makan malamnya dimulai. Lihat, Dina saja belum datang."
"Iya, namun alangkah baiknya jika dia sudah berada disini sekarang."
"Ibu, saya rasa kita hanya perlu menunggu Dina datang, sebab jika Arvin berada di mansion ini sekarang, belum tentu dia mau bergabung dengan kita." Kevlar berusaha menenangkan Ny. Zemira.
"Ucapanmu memang ada benarnya, tapi aku akan lebih tenang bila dia ada di mansion ini, tidak apa jika dia tidak bergabung dengan kita, asalkan dia menunjukkan wajahnya di mansion ini."
"Jika memberi kabar saja tidak, apa lagi dengan kehadiran. Ibu, Raya rasa Arvin akan menghabiskan waktu diluar selama acara makan malam ini berlangsung." Raya angkat bicara.
"Jadi menurut kalian kita akan memulai acara makan malam ini tanpa kehadirannya?"
"Kurang lebih begitu," ujar Bunga.
"Baiklah kalau begitu, mungkin ucapanmu benar, Raya, kemungkinan dia tidak akan pulang sampai acaranya selesai."
"Dan kita tidak mungkin kan menunggu sampai tengah malam untuk menunggunya pulang?" tambah Raya.
"Ya, ya, kau benar."
Dina memutuskan sambungan teleponnya dari sopir taksi tadi.
"Bagiamana?" Jhana masih terlihat sedikit panik.
"Dia mau kembali dan mengantarkan dompetmu, kak," jawab Dina.
"Huft, syukurlah."
"Apa kita akan menunggu sampai taksi itu datang kesini?" tanya Fina.
"Kalian masuklah duluan, biar aku saja yang menunggu disini," suruh Jhana.
"Tapi, apa tidak apa kakak menunggu taksi itu sendiri disini?" kata Dina.
"Tidak, kau tenang saja, aku hanya akan menunggu sebuah taksi."
"Baiklah, ayo anak-anak, kita masuk."
Isa langsung menaiki tangga dan berlari menuju lantai 2 ketika sampai di dalam mansion. Ia berlari kearah kamarnya yang berada di paling ujung, sebab di lantai 2 ini terdapat banyak kamar. Isa kemudian masuk ke kamarnya dan melihat powerbanknya masih dalam keadaan di charge, dengan cepat, ia pun mencabut chargernya.
"Syukurlah, kupikir powerbank ini sudah meledak." Isa berbicara sendiri.
Baru saja pemuda itu akan melangkah keluar kamarnya, tiba-tiba ia mendapatkan pesan singkat dari sang tunangan.
Aku sudah sampai
Begitu bunyi pesan yang dikirim oleh Dina. Isa pun tersenyum, karena ia memang sudah lapar.
Akhirnya aku akan melihatmu lagi, mwah mwah mwah
Balasnya.
Kamu berlebihan, tadi siang kan kita bertemu
Balas Dina.
Setiap detik aku merindukanmu
Balasnya.
I love you
Balas Dina.
I love you too, honey
Balasnya sebagai penutup percakapan. Ia kemudian melangkah keluar sambil tersenyum.
Setelah mendapatkan jawaban yang manis dari Isa sebagai penutup percakapan, Dina kemudian mematikan handphonenya dan melihat Tn. Farzin yang duduk ditengah halaman depan. Gadis itu segera menghampiri calon mertuanya tersebut, di ikuti oleh Mona dan adik-adiknya.
"Paman sedang apa disini?" tanya Dina.
Tn. Farzin kemudian melirik ke arah langit, sebagai jawaban bahwa ia sedang menikmati langit malam. Kakek 60 tahun itu kemudian melihat Mona, Fina dan Zhani, ia tampak bingung karena belum pernah melihat 3 bocah itu sebelumnya. Dina langsung mengerti jawaban dan kebingungan Tn. Farzin.
"Oh begitu. Paman, mereka ini anak-anak teman kerjaku, teman-teman kuliahku tidak bisa ikut karena jadwal kuliah mereka malam semua, jadi aku mengajak salah satu teman kerjaku beserta anak-anaknya."
Tn. Farzin kemudian tersenyum, sepertinya ia menyukai 3 bersaudara itu.
"Kak Dina, apa kakek ini adalah ayahnya kak Isa?" tanya Mona.
"Ya, beliaulah orangnya," jawab Dina.
"Kenapa kakek ini duduk sendirian disini?" tanya Zhani.
"Beliau sedang menikmati bulan dan bintamg yang terlihat indah malam ini," jawab Dina.
"Bagaimana kakak tahu? Kakek ini kan tidak menjawab pertanyaan kakak," ucap Fina.
"Sebab kakak harus mengerti bahasa isyarat yang digunakan beliau. Itu adalah salah satu syarat utama untuk bisa menjadi istri seorang Isa Dhananjaya."
Tn. Farzin lantas tersenyum mendengar jawaban-jawaban Dina.
"Paman mau kuantar kedalam?" tawar Dina. Tn. Farzin lalu menggeleng.
"Apa seseorang akan membawa paman kedalam?"
Tn. Farzin mengangguk.
"Baiklah, kalau begitu kami duluan ya, paman."
Tn. Farzin mengangguk-angguk sambil tersenyum.
"Ayo, anak-anak."
Di halaman belakang, Isa bergabung dengan Ny. Zemira, Bunga, Kevlar, Raya, Shirina dan Arka yang sudah duduk di kursi mereka masing-masing.
"Dia sudah sampai disini," ujar Isa seraya memilih sebuah kursi untuk di duduki, dan ia memilih duduk di sebelah Arka.
"Dia? Siapa?" tanya Raya.
"Dina, kak Raya," jawab Isa sambil mengedipkan mata kanannya.
"Kenapa kau tidak menjemputnya diluar? Itu adalah cara romantis seorang pria untuk menyambut pasangannya yang akan membuat si wanita semakin jatuh hati dengan si pria."
"Benarkah?"
Raya mengangguk.
"Kak Kevlar?" Isa meminta pendapat Kevlar.
"Tentu saja, itu adalah hal romantis yang di inginkan hampir oleh setiap wanita. Iya kan sayang?" jawab Kevlar sambil memegang tangan Bunga yang duduk disebelahnya.
"Ya, jemputlah dia," suruh Bunga.
"Tapi tunggu." Ny. Zemira menahan Isa untuk pergi.
"Ya, ibu?" Isa kembali duduk.
"Dimana ayahmu?"
"Eh? Ayah? Astaga! Aku meninggalkan ayah di halaman depan karena lupa mencabut powerbank yang sudah kucharge sejak kemarin, dan sekarang aku lupa bahwa ayah masih di halaman depan!"
"Astaga kau ini." Ny. Zemira memutar kedua bola matanya. Isa terkekeh kecil kemudian pergi.
"Itulah yang namanya dimabuk cinta, hanya ada satu hal yang ada dipikirannya, yaitu cintanya," ucap Bunga yang memancing tawa keluarganya.
"Tapi sepertinya paman Isa sedang kelaparan sehingga dia lupa banyak hal," timpal Arka.
"Itu juga salah satu penyebabnya. Cucu-cucu nenek memang pintar," kata Ny. Zemira.
Taksi yang ditumpangi Dina dan Jhana beserta anak-anaknya tadi akhirnya kembali. Sang sopir taksi turun dan memberikan dompet Jhana.
"Terima kasih, ya. Maaf merepotkan anda," ujar Jhana.
"Tidak apa-apa, Nyonya. Saya permisi dulu."
"Silakan." Jhana tersenyum melihat sopir taksi itu tidak merasa keberatan sama sekali untuk mengantar dompetnya ya ke mansion itu. Ia kemudian mengecek isi dompet tersebut setelah taksi itu pergi. Dan ternyata isinya masih lengkap.
"Huft, syukurlah, Dina memang tahu kepada siapa dia harus berlangganan." Jhana kemudian berbalik badan dan membuka gerbangnya sedikit, ia lalu menutup gerbang itu dan berjalan menuju mansion itu.
Disaat Jhana berjalan, ia tidak melihat memperhatikan Tn. Farzin yang dari tadi mengamatinya dari kejauhan, ketika Jhana semakin dekat, Tn. Farzin mulai bisa melihat sosok wanita itu dengan jelas, begitu pula dengan Jhana yang akhirnya menyadari keberadaan Tn. Farzin. Keduanya sama-sama terkejut melihat satu sama lain. Jhana kemudian menghampiri Tn. Farzin, dan ia tidak menyangka bahwa kejadian ini adalah nyata.
Terjadi ketegangan di antara mereka berdua, mereka saling terpaku, sebelum akhirnya Jhana membuka suara.
"Ayah," lirihnya. Tn. Farzin kemudian meneteskan air mata.
Dina baru saja akan memencet bel, namun tiba-tiba pintunya terbuka, dan yang membuka adalah sang pujaan hati, Isa. Dina pun terkejut sekaligus merasa senang, sedangkan Isa pangling melihat dandanan Dina.
"H-hai," ucap Isa.
"Hai?" Dina tampak bingung.
"K-kau terlihat c-cantik malam ini."
"Ssstt." Dina mengisayaratkan kepada Isa untuk tidak berkata hal yang seperti itu di depan anak kecil, Isa pun langsung sadar bahwa disitu bukan hanya ada dirinya dan Dina.
"Siapa mereka?" tanya Isa.
"Isa, kau tahu kan kalau teman-teman kuliah kita semuanya memiliki jadwal kuliah malam?"
"Iya. Lalu, kamu menamai anak-anak ini sebagai temanmu? Ah! Itu lebih baik dari pada teman-teman kuliah kita yang datang. Lihat mereka, betapa lucunya mereka. Siapa namamu, jagoan kecil?" Isa mengajak Zhani untuk beradu tinju. Zhani kemudian mundur.
"Dia tidak menyukaimu, hewmhewmhewm," ledek Mona sambil menirukan gaya tertawa Dina.
"Ya, bisa dibilang begitu, tapi mereka adalah anak-anak teman kerjaku," ucap Dina.
"Maksudmu teman-teman kerjamu?" tanya Isa yang masih berharap Zhani akan mau memberikan tinjunya.
"Teman, hanya satu."
"Dimana orangnya?"
"Dompetnya tertinggal di taksi yang kami tumpangi tadi, jadi aku menghubungi si sopir dan dia sedang menunggunya di depan gerbang."
"Oooh begitu. Jadi, tunggu apa lagi? Mari masuk. Dan kau akan memberikan tinjumu padaku suatu saat nanti," ujar Isa pada Zhani.
Dina lantas tersenyum dan mengajak Mona, Fina dan Zhani untuk masuk. Isa kemudian mengikuti mereka masuk.
"Isa?" kata Dina setelah Isa menutup pintu.
"Ya?" sahut Isa.
"Paman Farzin masih diluar."
"Astaga! Aku lupa lagi soal ayah!"
Dina lalu tertawa kecil seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
Jhana mencium tangan kanan Tn. Farzin sambil bercucuran air mata, begitu juga dengan Tn. Farzin yang menangis tanpa suara.
"Ayah, kenapa ayah bisa sampai seperti ini? Apa yang terjadi selama aku tidak bersama kalian lagi? Dan, kenapa kalian pindah ke Jogja juga mendirikan mansion baru yang memiliki design sama?"
Tn. Farzin tentu saja tidak menjawab, ia berusaha memeluk Jhana, dan Jhana tanggap akan hal itu, ia langsung memeluk Tn. Farzin, dan teringat akan masa lalu, ketika dirinya masih kecil, tinggal disebuah mansion, yang sama persis designnya dengan mansion Dhananjaya.
Kala itu, ia tinggal di Jakarta, menyandang nama Rinjhana Dhananjaya. Ya, ia tinggal di mansion Dhananjaya yang berada di Jakarta, design dan luas mansion tersebut sama persis dengan mansion Dhananjaya yang berada di Jogja.
Jhana saat itu adalah gadis kecil berusia 10 tahun, sedang duduk di depan meja makan bersama anggota keluarga Dhananjaya lainnya, yaitu Tn. Farzin, Ny. Zemira, Bunga, Arvin, dan mendiang kakak sulung mereka. Ketika itu anak-anak Tn. Farzin dan Ny. Zemira masih kecil, kecuali mendiang putra sulung mereka yang tampak sudah remaja.
Sembari menunggu sarapan datang, Jhana bertanya pada Tn. Farzin. "Ayah, aku ingin bertanya."
"Ya, sayang, silakan saja," kata Tn. Farzin.
"Suatu saat, boleh tidak, aku mendatangi panti asuhan tempat ayah dan ibu mengadopsiku?"
"Hmm, boleh saja, ya kan, bu?"
"Iya Jhana sayang, kita akan mendatangi panti asuhan itu suatu saat nanti," ucap Ny. Zemira sambil tersenyum.
Kania kemudian datang membawa beberapa lauk sambil berkata, "Nyonya, saya mendengar Tuan Isa menangis, sepertinya dia ingin menyusu."
"Baiklah akan kulihat dulu dia." Ny. Zemira yang kala itu belum berhijab pun langsung pergi ke kamar Isa yang masih bayi.
Itu adalah saat-saat yang sangat indah bagi keluarga Dhananjaya. Saat Tn. Farzin masih sangat sehat, saat putra-putri Tn. Farzin dan Ny. Zemira masih lengkap dan belum bertingkah 'aneh'.
Entah memang takdir atau sebuah ketidaksengajaan, tapi sepertinya pertemuan antara ayah dan anak angkat ini sudah ditentukan.
"Ayah, ini adalah kota tempatku bersembunyi, aku lari kesini. Aku yakin ayah telah bertemu tiga anak kecil yang dibawa Dina tadi, dan mereka adalah anak-anakku. Ayah, aku sangat merindukan ayah. Apa yang membuat kalian pinda ke Jogja?" Jhana masih memangis tersedu-sedu.
"Tentang janji ayah waktu itu, apa masih ada kesempatan untuk kita datang ke panti asuhan tempat ayah dan ibu mengadopsiku?"
"Ayah, aku yakin semuanya masih sama, dan karena itu aku hanya berani bertemu dengan ayah. Kenapa ayah masih menerimaku?"
Terlihat sekali mereka berdua sangat bahagia dan sedih, namun entah perasaan apa yang terdapat pada air mata mereka berdua, mungkin perasaan bahagia dan sedih itu telah bercampur di dalam air mata mereka.
Namun air mata justru membawa ingatan buruk kepada Jhana. Ia kembali mengingat sebuah ingatan yang telah lama ia kubur, hari yang paling menyakitkan baginya, luka hati dari kejadian itu masih membekas dihatinya, Jhana berusaha untuk tidak mengingatnya, namun ingatan itu melintas di dalam pikirannya.