Chereads / Konsekuensi / Chapter 3 - Dhananjaya

Chapter 3 - Dhananjaya

Di sebuah mansion, yang dinamai sesuai dengan nama keluarga pemiliknya, mansion Dhananjaya, seluruh orang sedang sibuk dengan urusan masing-masing untuk acara makan malam mereka dengan calon menantu baru keluarga mereka.

2 orang pekerja di dapur sedang memulai untuk membuat makanan penutup, sedangkan 2 pekerja yang bertugas membersihkan rumah, mondar-mandir mengambil masakan yang dibuat para pekerja dapur untuk tamu spesial keluarga majikan mereka.

Makanan-makanan yang telah siap santap itu pun disajikan di atas meja makan panjang yang terletak disebelah kolam renang besar yang terdapat dibagian belakang mansion tersebut.

Sementara itu seorang ibu yang mulai lanjut usia yang tampaknya adalah Nyonya besar di mansion itu terlihat kebingungan. Ia tidak sengaja berpapasan dengan putra bungsunya yang memiliki acara ini.

"Isa, dimana Bunga dan Arvin?" tanyanya.

"Kak Arvin sedang pergi sebentar, katanya dia akan kembali sebelum acaranya dimulai, bu. Kalau kak Bunga mungkin masih di kamarnya bersama kak Raya," jawab pria brewokan tersebut, yang bernama Isa.

"Panggil mereka semua, kenapa semua orang sangat santai ketika acaranya tidak lama lagi akan dimulai?"

"Baiklah ibu, akan kuberitahu kepada mereka semua untuk bergegas ke halaman belakang."

"Ya, segera."

Isa kemudian pergi meninggalkan ibunya yang menghampiri meja makan yang sudah mulai terisi beberapa makanan.

"Ayang?" panggil ibu Isa kepada salah satu pekerjanya yang bertugas untuk membersihkan isi dalam mansionnya, kali ini wanita bernama Ayang tersebut mendapatkan tugas untuk mengambil makanan yang sudah selesai dimasak oleh para pekerja di dapur.

"Iya, Nyonya?" sahut Ayang.

"Kenapa baru segini makanan yang disajikan? Dimana makanan yang lain?"

"Saya dan Tantri masih mengambilnya, Nyonya."

"Kenapa kalian bergerak lambat sekali? Tamu kita sebentar lagi sampai, ayo bergerak cepat!"

"Baik, Nyonya."

"Uh, tunggu."

"Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?"

"Apa Indira dan Kania sudah selesai memasak di dapur?"

"Sudah, Nyonya, hanya tinggal membuat makanan penutup, mereka sedang membuatnya."

"Bagus, lanjutkan pekerjaanmu."

"Baik, Nyonya, saya permisi."

Di lantai 3, lantai teratas mansion tersebut, hanya terdapat ruangan mencuci baju yang memiliki 3 mesin cuci. Disana hanya ada 1 kamar yang luas, milik Bunga dan suaminya. Terlihat Bunga dan Raya memang ada di dalam kamar itu.

"Lihat ini," ucap Bunga, sambil berkaca dan menunjukkan perhiasan berlian asli yang dipakainya di leher, telinga, tangan kanan dan kiri, juga jari manisnya kepada Raya, kakak iparnya yang di anggapnya sebagai temannya sendiri, begitu juga sebaliknya.

"Aku baru melihat cincin ini, dimana kau membelinya?" tanya Raya sambil menunjuk cincin berlian yang berkilau yang dipakai oleh Bunga.

"Oh, ini, Kevlar membelikannya untukku ketika kami berlibur ke Dubai seminggu yang lalu. Ya tidak terlalu baru juga, hanya saja aku tidak mempamerkannya karena aku tidak mau membuat air liur para pekerja dirumah ini menetes, terlebih lagi mereka tidak akan sanggup membelinya."

Raya tertawa kecil. "Leluconmu memang yang terbaik dirumah ini. Kalau aku boleh tahu, berapa harganya?"

"Ah, tidak mahal, hanya sedikit lebih mahal dari rumah dua lantai."

"Kalau begitu, bisa lah ya aku menabung untuk membeli cincin seperti itu juga?"

"Tidak perlu menabung, aku akan membelikan cincin seperti ini untukmu."

"Benarkah?!" Raya tampak antusias.

"Tentu saja. Wanita di keluarga ini harus terlihat cantik karena berlian-berlian seperti ini, bukan karena berlian imitasi."

Mereka berdua lalu tertawa. Tidak lama kemudian, Isa datang, kebetulan pintu kamar itu terbuka, jadi pria itu hanya mengetuknya dan langsung masuk. "Ibu menyuruh kalian untuk turun sekarang."

"Katakan Isa," ujar Bunga.

"Hm? Apa?" tanya Isa.

"Apa Dina itu menyukai berlian? Aku akan membelikannya banyak berlian jika dia sudah menjadi istrimu nanti."

"Berlian? Dina bukan tipe perempuan yang suka dengan perhiasan."

"Ouh, sayang sekali, tapi wanita di keluarga ini harus terlihat cantik karena berlian."

"Kakak ini ada-ada saja, ayo turun." Isa kemudian pergi meninggalkan Bunga dan Raya.

"Dina harus belajar menyukai perhiasan seperti berlian-berlian ini, jika tidak dia akan terlihat seperti perempuan miskin nantinya," kata Bunga.

"Benar sekali." Raya tersenyum.

"Ayo," ajak Bunga yang berjalan keluar.

'Humph, dasar kampungan,' batin Raya yang menatap Bunga dari belakang dengan tatapan jijik.

Ketika Isa sampai di lantai 1, ia melihat kedua keponakannya sedang menonton TV di ruangan tamu bersama kakak iparnya, Kevlar. Dirinya pun segera menghampiri mereka.

"Apa yang kalian lakukan disini? Acaranya akan dimulai sebentar lagi, kenapa kalian sangat santai?" tanyanya

"Paman, lihat sini. Sini! Ada anak bayi lucu di TV!" sambut seorang batita perempuan, yang langsung bangkit dari sofa tempatnya duduk untuk menarik tangan Isa.

"Yah, dia lucu, sama sepertimu, Shirina," ucap Isa seraya mencubit kedua pipi salah satu keponakannya itu.

"Nanti ketika paman menikah dengan kak Dina, paman akan memiliki bayi lucu seperti ini kan?"

"Kurang lebih begitu."

"Dan dia akan menjadi adikku dan Arka, kan?"

"Tentu saja, sayangku."

"Lalu, biarkan aku yang memberikan nama padanya."

"Silakan saja." Isa mencubit hidung Shirina dan menggoyangkannya ke kanan dan ke kiri. Bunga lalu masuk ke ruang tamu.

"Sayang, memberikan nama pada anak adalah tugas orangtua, sebab nantinya nama itu akan menjadi doa. Jika orang lain yang memberikan nama pada anak itu, orangtua tidak akan memiliki harapan apa pun pada anaknya nanti," timpal Bunga.

"Tidak bisa! Anak bayi paman Isa harus dapat nama dariku!" teriak Shirina.

"Kakak, biarkan saja dia berkata seperti itu." Isa berusaha menenangkan Shirina.

"Tapi dia harus diberi pengertian, dia harus mengerti kalau seorang anak mendapatkan nama dari orangtuanya karena nama itu adalah harapan dari orangtuanya. Jika anakmu nanti mendapatkan nama darinya, dia hanya akan memberikan nama tokoh kartun." Bunga membela diri.

"Sudahlah, mari kita ke belakang saja, kalian tidak akan seperti ini kan di depan Dina?" sambar Kevlar.

"Tapi anaknya paman Isa akan kuberi nama Cinderella, ayah," ujar Shirina.

"Shirina putri ayah, apa itu adalah hal yang penting, nak? Lihat Arka, dia bersikap tenang dan dewasa, contohlah dia."

"Tapi, Arka itu lebih tua dariku, ayah."

"Nak, tidak perlu usia yang tua untuk bersikap dewasa, bersikap bijak dan dewasa sejak kecil itu mengesankan."

"Kalau begitu, aku hanya perlu bersikap dewasa dan bijak?"

"Lebih dewasa dan lebih bijak."

"Baik, ayah, sekarang aku akan bersikap lebih dewasa dan lebih bijak."

"Haha, begitulah anak ayah." Kevlar kemudian menggendong putri sematawayangnya dan membawanya ke halaman belakang.

"Bibi, paman," panggil Arka.

"Ya, jagoan kecil?" sahut Isa yang menyesuaikan tingginya dengan keponakan pertamanya itu dengan cara berjongkok.

"Apa ayahku adalah orang yang mengagumkan seperti paman Kevlar?" tanya Arka. Isa kemudian melirik Bunga, Bunga kemudian tersenyum, seakan tahu kalau adik bungsunya itu tak tahu harus menjawab apa.

"Arka, kakek dan nenekmu bilang, hati yang paling bersih di keluarga ini adalah hati ayahmu, jadi kau tidak perlu bertanya apakah ayahmu sama mengagumkannya dengan paman Kevlar, sebab jawabannya sudah pasti ayahmu lebih mengagumkan. Tapi ketahuilah, ketika ayahmu wafat, hati yang paling bersih di keluarga ini adalah hati paman Kevlar," jawab Bunga sambil duduk di sofa.

"Apa itu artinya ketika aku melihat paman Kevlar, hampir sama dengan aku melihat ayahku?"

"Kupikir seperti itu."

Arka kemudian memeluk Bunga dan Isa secara bersamaan karena merasa senang dan puas dengan jawaban yang di dapatnya. Bunga dan Isa kemudian tersenyum, dan membalas pelukan keponakan mereka dengan hangat.

Di dapur, para pekerja berkumpul, mulai dari 2 pekerja dapur, 2 pekerja pembersih mansion, 1 pekerja pembersih halaman dan bagian luar mansion, sampai 1 pekerja pengurus hewan peliharaan. Semuanya sedang duduk santai kecuali pekerja dapur yang masih membuat makanan penutup.

"Huft, hari ini melelahkan sekali," kata Indira, salah satu pekerja dapur yang sedang memasukkan 1 loyang kue kedalam oven.

"Yah, tugas kalian berakhir ketika kalian selesai memasak, sedangkan aku dan Tantri masih harus membereskan meja makan. Hal itu pasti akan sangat melelahkan, terlebih lagi Nyonya Zemira sangat cerewet akhir-akhir ini," ujar Ayang.

"Kata siapa? Setelah acaranya berakhir, aku dan bibi Kania harus mencuci piring dulu, dan cuciannya pasti akan sangat banyak."

"Sudahlah, ini adalah resiko pekerjaan kalian, kenapa kalian mengeluh?" timpal Kania.

"Kakak Kania, kakak sudah bekerja dengan keluarga ini sejak kakak lahir, pertama orangtua kakak bekerja di keluarga ini, dan kemudian kakak juga memutuskan untuk bekerja untuk keluarga ini, jadi pasti mereka membedakan kami semua dengan kakak, dan secara otomatis, lelah yang kita rasakan juga berbeda." Ayang membela diri.

"Ayang, kau berkata seperti itu karena kau belum tahu rasanya menjadi tua. Lelah yang di rasakan akan berganda jika seseorang masih bekerja hingga hari tua. Tapi untuk apa mengeluh? Kalau pada akhirnya tidak ingin menerima rasa lelah, lebih baik tidak usah bekerja."

"Nah, betul itu! Tapi ketahuilah, pekerjaan kita ini sebenarnya menguntungkan kesehatan kita, kita bekerja lalu berkeringat, itu sama saja dengan berolahraga," tambah Jaya, petugas pembersih halaman dan bagian luar mansion.

"Kalian belum tahu rasanya bekerja untuk mengurus Kuda, Anjing, Kelinci, Kucing, Ayam dan juga Ikan-Ikan. Aku harus memandikan mereka, memberi mereka makan, memberishkan kandang dan kolam Ikan, juga membersihkan kotoran mereka. Tapi aku setuju dengan kak Kania, untuk apa mengeluh, setiap pekerjaan pasti memiliki resiko, contohnya aku sangat jijik dengan kotoran, aku rasa semua orang jijik dengan kotoran, tapi aku tidak bisa mengeluh karena itulah jalan yang aku ambil untuk mendapatkan uang dengan cara yang benar," timpal Ismail, petugas pengurus hewan peliharaan.

"Disini ada makanan, tidak baik berbicara tentang kotoran," ujar Kania.

"Ups." Ismail memegang mulutnya.

"Tapi, aku tidak merasa bibi Kania lebih disayang oleh mereka, kulihat kita diperlakukan dengan sama." Tantri angkat bicara.

"Ya, kita semua diperlakukan sama oleh Nyonya Bunga, kita diperlakukan tidak manusiawi," dengus Ayang.

"Kau pekerja baru disini, Tantri, jadi kau belum merasakan perbedaannya," kata Indira sambil mencuci piring.

"Satu bulan bekerja disini bukanlah waktu yang sebentar bagiku."

"Haaah, terserahmu saja." Ayang tampak kesal sebelum pergi, hal itu terlihat dari perkataannya sebelum meninggalkan dapur.

"Sebenarnya, dia itu kenapa?" Jaya tampak bingung.

"Sepertinya dia sedang datang bulan," ceplos Kania.

"Hahahahaha." Semuanya tertawa kecuali Kania.

"Kenapa kalian tertawa?" tanya Kania.

"Lelucon kakak memang yang terbaik di dapur ini," ucap Ismail.

Kania kemudian menggelengkan kepalanya. "Entah apa yang terjadi dengan pikiran anak zaman sekarang sehingga menganggap perkataanku tadi sangat lucu."

"Eh? Aku hanya lebih muda tiga tahun darimu, kak Kania. Aku sudah empat puluh tujuh tahun, kalau begitu, terima kasih atas pujianmu. Katakan, kak, apa wajahku tampak dua puluh tahun lebih muda?" ujar Jaya. Mereka semua kemudian tertawa.

"Kalian ini, memang junior-juniorku yang terbaik," puji Kania seraya tersenyum.

"Jawab dulu pertanyaanku." Jaya menagih jawaban dari Kania.

"Ya, kau memang tampak dua puluh tahun lebih muda," jawab Kania. Jaya tersenyum kesenangan.

"Tapi jika dilihat dari lubang sedotan," lanjut Kania.

"Hahahahaha." Semua orang yang ada di dapur tertawa lepas mendengar lelucon Kania yang sudah berusia setengah abad, namun masih bisa membuat orang lain tertawa.

Nyonya Zemira berjalan menuju satu-satunya kamar yang ada di lantai 1, yakni kamar miliknya dan suaminya. Ia membuka pintu kamarnya, kemudian masuk. Dirinya melihat sang belahan jiwa yang duduk menghadap teras kamar mereka, sambil memegangi sebuah foto berukuran setelapak tangan.

"Cintaku, kenapa kau masih saja memandangi fotonya? Apa yang membuatmu sangat ingin dia kembali?" tanya Ny. Zemira pada suaminya yang sangat sulit untuk berbicara karena terserang stroke.

"Aku tahu kau sangat menyayanginya, Farzin, tapi pahamilah perasaanku juga. Farzin, kau tahu bagaimana perasaanku ke dia. Jika kau seperti ini terus, kau akan membuatku sedih."

Ny. Zemira kemudian berlutut kepada Tn. Farzin dan menatapnya.

"Sekarang, lihat dan dengar aku, anak bungsu kita tidak lama lagi akan menikah, kita akan mempunyai menantu lagi dan keluarga ini akan semakin ramai. Kenapa kau tidak bisa bahagia dengan itu semua? Kenapa kebahagiaanmu hanya bisa dirasakan apa bila dia datang kembali kepada kita?"

Ny. Zemira mulai berkaca-kaca.

"Tiga puluh lima tahun kita menikah, namun aku masih tidak mengerti beberapa hal tentang dirimu. Apa butuh lima belas tahun lagi untuk membuatku mengerti segala hal tentang dirimu?"

Dan sekarang ia menangis.

"Bulan depan adalah ulang tahun mendiang putra sulung kita, apa kau akan tetap begini saat perayaannya? Farzin, satu hal yang aku inginkan sekarang adalah senyuman bahagia di wajahmu."

Ny. Zemira kemudian berdiri seraya menopang tubuhnya dengan kursi roda Tn. Farzin yang lumpuh. Ia kemudian menghapus air matanya.

Isa juga berniat untuk melihat ayahnya, namun saat ia melihat pintu kamar orangtuanya terbuka, ia pun menjadi panik dan segera mengecek keadaan ayahnya. Dirinya merasa lega karena ayahnya masih berada di dalam kamar itu bersama sang ibu.

"Isa?" panggil Ny. Zemira yang melihat putra bungsunya berbalik badan untuk pergi meninggalkan kamarnya.

"Ya, ibu?" sahut Isa yang kembali menghadap ke orangtuanya.

"Ada apa? Kenapa kau kesini?"

"Semua makanan sudah tersaji di meja makan, ibu, kecuali makanan penutup, tadinya aku mau mengajak ayah ke halaman depan untuk menyambut Dina, katanya dia sudah dekat, tapi ..."

"Bawa saja ayahmu ke halaman depan, biarkan dia melihat keindahan langit malam ini," sela Ny. Zemira.

"Baik, ibu." Isa kemudian memegang kedua gagang kursi roda ayahnya dan mendorong ayahnya keluar.

"Farzin," lirih Ny. Zemira setelah anak dan suaminya keluar.

Sementara itu, di dalam taksi, Dina sedang berbalas pesan dengan ayahnya sambil tersenyum.

"Dina, apa rumah keluarga tunanganmu masih jauh?" tanya Jhana.

"Hmm, tidak juga, masih sekitar dua kilometer lagi," jawab Dina.

"Tapi, kenapa yang ada di disekitar sini hanya pepohonan?"

"Kakak, mereka tinggal di mansion, mereka ingin tinggal jauh dari permukiman, makanya jalan yang kita lalui seperti ini."

"Mansion? Apa mereka akan menerima kami?"

"Menurutku mereka orang yang baik, tenang saja."

Jhana hanya diam.

"Itu siapa, kak?" tanya Fina sambil melihat handphone Dina.

"Ini kakaknya Isa, manusia dengan mulut yang selalu terkunci, aku bahkan tidak tahu seberapa bau mulutnya atau seberapa kotor mulutnya. Dia bahkan tidak mau bergabung dengan keluarganya, aku heran kenapa dia seperti itu," jawab Dina.

"Tapi dia tampan."

"Yah, dia memang tampan."

Dina dan Fina terus menatapi foto Arvin.

"Ok, apa dia setampan itu? Kalau begitu aku akan menikahinya suatu saat nanti," ujar Mona yang duduk di depan.

"Sayangnya hatinya terkunci, dia tidak akan pernah jatuh cinta, hewmhewm," kata Dina. Mona, Fina dan Zhani yang dipangku oleh Jhana tertawa mendengar tawa Dina.

"Kenapa? Apa ada yang lucu?" Dina tampak bingung.

"Isa? Siapa itu Isa?" tanya Jhana tiba-tiba.

"Astaga aku lupa! Tungananku bernama Isa, dia adalah pria yang tinggi," jawab Dina.

"Isa?"

"Ya, Isa. Apa kakak mengenal seseorang bernama Isa di kehidupan kakak?"

"Ya, ada satu."

"Aku pikir ibu hanya mengenal anak-anak ibu dan teman-teman kerja ibu. Hewmhewmhewm. Ups," timpal Mona

"Ibu mengenal banyak orang dulu, Isa yang ibu kenal adalah anak yang baik."

"Oh ya? Berapa usianya?" tanya Dina.

"Sekarang dia pasti sudah dewasa, seusiamu atau lebih," jawab Jhana.

"Ah, kakak mau melihat foto kakaknya Isa? dia tampan."

"Aku memang menyukai pria tampan, tapi aku sedang ingin melihat pria berwajah lucu."

"Hewmhewmhewm, beberapa teman pria kuliahku berwajah lucu, kakak mau melihatnya?"

"Aku tidak mau melihatnya! Aku lebih tertarik mendengar tawa kak Dina," sela Zhani.

"Eh? Hewmhewmhewm." Dina terkekeh.

"Hahahaha." Bocah-bocah itu kemudian tertawa terbahak-bahak.

Tn. Farzin dan Isa akhirnya sampai di halaman depan mansion mereka. Tn. Farzin memang menyukai langit malam, terlebih lagi jika tidak ada awan, ia akan merasa senang jika melihatnya.

"Ayah senang?" tanya Isa. Tn. Farzin mengangguk. Isa tersenyum.

Namun tiba-tiba Isa merasa terkejut.