Fina, adalah gadis kecil berusia 8 tahun yang tinggal bersama ibu, seorang adik laki-laki berusia 5 tahun dan seorang kakak berusia 9 tahun. Sejak kelahiran Zhani adiknya, mereka berempat tinggal disebuah rumah tanpa kamar. Baik Mona (kakaknya), dirinya apa lagi adiknya, tidak mengetahui siapa ayah mereka, Jhana, ibu mereka mengatakan kalau ayah mereka telah meninggal sejak ia mengandung Zhani.
Di lingkungan yang mereka tinggali, bukanlah kampung halaman Jhana atau ayah dari anak-anaknya. Jhana tidak menutup diri dari tetangga-tetangganya, ia hanya tidak memiliki waktu untuk bergaul, dan sering dianggap sombong oleh lingkungan tempatnya tinggal. Tidak satu pun orang di tempatnya tinggal mengetahui tentang masa lalunya.
Dengan pekerjaannya sebagai seorang pelayan di sebuah rumah makan, Jhana sanggup menyekolahi Fina, tahun ini, anak bungsunya seharusnya akan mulai sekolah, namun ia belum memiliki uang yang cukup untuk mendaftarkan Zhani ke sekolah.
Jhana pergi bekerja pada pagi hari dan pulang malam hari, ia memberikan tanggung jawab yang besar pada Mona untuk menjaga Fina dan Zhani.
Hari ini seperti biasa, Jhana dan 3 teman sesama pelayannya bekerja mengantarkan makanan-makanan yang dipesan oleh pelanggan mereka ke meja yang ditempati oleh pelanggan. Tapi, hari ini pembeli tidak seramai biasanya, jadi para pekerja di rumah makan tersebut pun saling bercengkrama. Jhana bersahabat dekat dengan Dina, yang menjadi kasir di rumah makan itu, jadi ia selalu mengobrol dengan Dina saat mereka berdua sedang tidak ada pekerjaan.
Dina adalah pekerja baru, belum genap 2 minggu, namun gadis itu mendapat kepercayaan untuk menjadi kasir, sebab ia memiliki catatan kerja yang baik.
"Kak Jhana," panggil Dina. "Hm?" sahut Jhana.
"Hari Rabu kan jadwal kita berdua libur, nah keluarga tunangan aku ngajak aku untuk makan malam bersama mereka. Mereka bilang kalau aku ajak teman aku tidak apa-apa, tapi jangan banyak-banyak, ya hitung-hitung cuma untuk menggantikan keluarga aku yang ada di Pontianak."
"Jadi?" tanya Jhana.
"Aku ingin mengajak kakak, Mona, Fina sama Zhani."
"Eh? Enggak! Enggak!" tolak Jhana.
"Kenapa? Mau dong, ya!"
"Tidak mau, ajak yang lain saja, teman kuliahmu kan banyak, ajak saja salah satu dari mereka, atau ajak salah satu pekerja disini."
"Iya teman kuliah aku memang banyak, apa lagi semuanya kenal sama tunangan aku dan mereka semua berteman baik sama tunangan aku, tapi semua teman aku itu jam kuliahnya banyak yang malam, cuma aku saja yang jam kuliahnya siang, jadi mereka tidak bisa," jelas Dina.
"Tapi kan, aku tidak mengenal keluarga tunanganmu, dan, dan lagi pula mereka menyuruhmu untuk datang bersama teman-temanmu, bukan dengan aku dan anak-anakku."
"Kakak, kakak itu teman aku, salah satu teman terbaik aku, walau kita baru kenal dua minggu yang lalu, tapi, aku merasa kalau kak Jhana itu seperti kakak aku sendiri, seperti saudaraku yang melindungiku di Jogja ini, tidak masalah dengan anak-anak kakak, mereka juga temanku," ucap Dina.
"Tapi Dina..."
"Apa lagi?"
"Kami tidak memiliki pakaian yang bagus untuk acara seperti itu."
"Pakaian ya? Nanti biar aku yang belikan, lagian aku kan sudah pernah bertemu sama anak-anak kakak, jadi aku bisa lah memperkirakan ukuran pakaian anak-anak kakak."
"Dina, kalau akhirnya kau membelikan pakaian untuk kami, kau hanya akan kerepotan mengurus kami, lebih baik tidak usah."
"Kak Jhana, aku tidak pernah merasa kerepotan jika mengurus soal berbelanja."
Mendengar jawaban Dina, Jhana hanya bisa tersenyum dengan perasaan sedikit terkejut karena telah di 'skakmat' oleh gadis yang berusia 12 tahun lebih muda darinya itu. Ia menyerah dan menerima ajakan Dina. "Baiklah," jawabnya.
Sementara itu seperti hari-hari biasanya, ketika puncak siang tiba, Mona menjemput Fina dari sekolah setelah ia selesai membereskan rumah sambil menjaga Zhani. Seperti hari-hasi biasanya (lagi) ia menjemput adiknya seolah ia adalah seorang ibu, meniru dandanan ibu-ibu dengan memakai lipstick, celak, maskara dan bedak. Kali ini ia menata rambutnya dengan meniru gaya rambut Harry Styles, yakni memasukkan rambut bagian kanannya kebelakang telinga dan sedikit mengeluarkan rambut bagian kiri ke depan bahunya. Mona memakai pakaian yang bagus yang dinilai bagus untuk 2 tahun lalu.
Mona selalu menjadi bahan tertawaan 1 sekolah karena dandanannya ketika menjemput Fina. Pihak sekolah sendiri sudah puluhan kali melayangkan teguran kepada Jhana, namun Mona adalah anak yang bengal, ketika Jhana memperingatinya, ia memilih cuek, sehingga terkadang hal itu membuat Jhana menangis tanpa sanggup membentak Mona dengan keras.
Fina adalah satu-satunya anak Jhana yang bersekolah. Jhana selalu memujinya sebagai anak yang pintar, namun Mona menilai lain, Mona mengatakan kepintaran Fina di dapatkannya karena bersekolah.
Fina biasanya diantar oleh Jhana ketika Jhana akan bekerja, dan dijemput oleh Mona yang ditemani oleh Zhani. Fina terkadang merasa malu dengan kakaknya yang berdandan seperti orangtua ketika menjemputnya, sebab ia juga menerima imbasnya, Fina terkadang menjadi korban bully oleh teman-temannya, mereka mengejeknya sebagai 'anak nenek sihir'.
"Fina!! Ayo kita pulang, sayang!" seru Mona yang memegangi tangan Zhani.
Mendengar seruan khas itu, seluruh siswa-siswi yang tersisa pun heboh. Mereka tahu dari mana seruan itu berasal dan oleh siapa, seketika Mona pun menjadi pusat perhatian seperti biasanya.
Fina tidak menjawab, gadis kecil itu hanya berlari kearah kakak dan adiknya. Ia langsung meraih tangan Mona, mereka bertiga pulang dengan bergandengan tangan, dan hal itu sudah mereka lakukan sejak 2-3 tahun belakangan ini.
"Fina, Mona, Zhani, tunggu sebentar!" panggil seorang pria paruh baya berkacamata.
"Bapak kepala sekolah?" Fina tahu pertanda apa ketika kepala sekolahnya mendatanginya.
"Ayo ikut bapak ke ruangan bapak," ajak sang kepala sekolah.
"Ehm, bapak, maaf ya, bukannya kami tidak mau, tapi bapak sudah terlalu sering memanggil kami ke ruangan bapak dengan akhir yang sama," ujar Mona dengan gaya khasnya yang ceplas-ceplos, asal bicara tanpa berpikir dulu, namun jujur.
Disaat pesanan pelanggan sedang ramai, Jhana mendapat telepon dari sekolah Fina, selama Dina bekerja di rumah makan Populer, ini sudah ketiga kalinya Jhana mendapatkan telepon dari pihak sekolah.
"Sekolahnya Fina, kak? Masalah Mona lagi?" tanya Dina sambil menebak-nebak.
"Iya, mungkin masih masalah itu, tapi aku heran kenapa ini menjadi semakin sering lagi, padahal empat bulan belakangan ini dia sudah tidak pernah lagi memakai alat make-upku," jawab Jhana yang kemudian mengangkat telepon itu. "Halo?"
"Nyonya Jhana, ini kepala sekolah, saya mengharapkan kehadiran anda saat ini di sekolah. Anak anda masih dalam masalah yang sama, Nyonya."
"Baik, pak, saya segera kesana."
"Baiklah, terima kasih." Kepala sekolah lalu mematikan sambungannya.
"Dina, aku sangat menyesal untuk mengatakannya, tapi, aku izin sebentar," kata Jhana.
"Iya tidak apa-apa, kak, tidak perlu khawatir, mereka bisa mengatasi tugasmu sesaat."
"Aku pergi ya," pamit Jhana seraya membuka celemeknya.
"Lihat dia, seenaknya saja pergi, padahal ini bukan jamnya untuk istirahat, berlagak seolah ini adalah rumah makan miliknya," cibir Wanda, salah satu pelayan.
"Sudahlah tidak usah dipikirkan, Jhana itu adil, pada jamnya dia istirahat dia akan mengurangi durasinya," ucap Yahya, yang juga salah satu pelayan.
"Tapi seharusnya dia meminta izin ke kita, bukan ke Dina, karena yang mengerjakan tugasnya kan kita," timpal Andra, kekasih Wanda yang juga bekerja sebagai pelayan.
Dina seketika melirik Andra, dan Wanda pun menghampirinya. "Kuperjelas lagi, ya. Disini kita semua sudah ada jam istirahat masing-masing. Kita kerja disini selama empat belas jam, dari jam tujuh pagi sampai jam sembilan malam, dengan waktu istirahat selama dua jam yang sudah diatur kapan. Waktu istirahatmu adalah jam setengah dua sampai jam setengah empat sore, disitu kau mengambil kesempatan untuk kuliah, begitu juga kami, memanfaatkan waktu sebaik mungkin selama jam istirahat masing-masing. Jhana itu sudah empat tahun kerja disini, dan dia yang paling senior disini, tapi bukan berarti dia bisa bertindak semaunya dan meminta izin cuma denganmu. Lain kali sadar diri, bukan kau yang mengerjakan tugasnya waktu dia pergi, pikirlah kepada siapa dia seharusnya meminta izin, suruh dia minta izin ke sesama pelayan, jangan kau pikir karena kau adalah orang kaya, makanya kau berhak untuk mengizinkan dia, dasar orang kaya. Mengerti tidak?"
"Iya aku mengerti," jawab Dina yang hanya menunduk saat Wanda terus menatapnya dengan tajam.
Sesampainya di sekolah anaknya, Jhana langsung mendatangi ruangan kepala sekolah. Terlihat ketiga anaknya yang sedang duduk berhadapaan dengan kepala sekolah Fina. Jhana lantas mengetuk pintu sebelum masuk, lalu menduduki salah satu kursi.
"Nyonya Jhana, saya sudah tidak tahu lagi harus berkata apa agar Nyonya bisa melarang anak Nyonya untuk tidak berdandan seperti ini. Sudah dua puluh kali lebih saya memperingati Nyonya. Saya memahami kalau Nyonya Jhana adalah orangtua tunggal, tapi seharusnya hal seperti ini bisa anda atasi." Sang kepala sekolah langsung to the point.
"Saya sungguh minta maaf, pak. Tapi, saya kira selama empat bulan belakangan Mona sudah berhenti berdandan seperti ini, tapi saya tidak tahu kenapa dia kembali berulah."
"Jika hal ini terus berlanjut, yang terkena dampaknya juga Fina, dia akan menjadi korban bully meskipun saya sudah memanggil orangtua dari murid-murid yang melakukan bullying kepada Fina."
"Baik pak, mungkin mulai besok seharusnya saya saja yang mengantar-jemput Fina."
"Saya rasa itulah yang harus Nyonya lakukan demi melindungi anak-anak Nyonya, terlebih lagi, make-up seperti ini tidak cocok untuk kulit anak kecil."
"Baik pak, saya dan anak-anak permisi dulu." Segera Jhana membawa anak-anaknya pulang, dan ketika dirumah, ia kembali mengoceh.
"Kau itu, punya telinga apa tidak?!" bentaknya pada Mona. "Kenapa kau tidak bisa dibilangin?! Kenapa kau selalu saja buat ibu marah?! Kenapa kau terus menerus pakai make-up ibu?! Jawab!"
Mona hanya diam.
"Ayo jawab!" suara Jhana mulai naik 1 oktaf, hak ini sontak membuat semua anaknya terkejut sebab Jhana tidak pernah semarah ini.
"Ibu itu kerja banting tulang buat kasih kalian makan, berusaha melakukan yang terbaik untuk kalian, ibu mendidik kalian dengan baik, ibu tidak pernah mengajarkan anak-anak perempuan ibu berdandan seperti orang dewasa sebelum waktunya," lanjutnya, kali ini Jhana sudah mulai bisa mengendalikan emosinya.
Mona menangis.
"Jadi tolong kasih tahu ibu, siapa yang mengajarkanmu bermake-up seperti ini?"
Mona memilih untuk tidak menjawab, sama seperti biasanya, ia langsung menutup dirinya dengan selimut.
"Mona, ibu tidak suka ya jika kau selalu begini kalau ibu sedang memarahimu. Tidak sopan jika kau mengabaikan ibu seperti ini."
"Mona!"
"Mona!!!" Jhana menarik selimut yang dipakai Mona, Jhana menatap putri sulungnya itu. "Jawab ibu!"
Mona menangis, ia sudah tidak tahan untuk mengatakan segalanya. "Aku tidak butuh belas kasihan orang lain, bu, aku tidak mau orang-orang menatapku hanya karena rasa kasihan, aku tidak mau orang berpikir 'kasihan anak itu, masih kecil sudah harus mengerjakan seluruh tugas rumah, menjaga dan menjemput adiknya'. aku tidak mau kesulitan ekonomi kita membuat orang lain semakin merendahkan kita. Jadi aku berdandan seperti perempuan dewasa, agar tidak ada lagi orang yang berpikir bahwa aku adalah anak kecil yang menanggung beban yang besar, agar tidak ada lagi yang merasa kasihan padaku. Ibu, aku lebih memilih orang tertawa dengan dandananku, dari pada orang merasa kasihan dengan anak kumal yang menanggung beban besar dipundaknya. Jadi aku bersifat keras kepada Fina dan Zhani, aku berlagak seolah aku juga ibu mereka, agar orang tidak memandangku dengan rasa kasihan, aku berusaha bersifat seperti orang dewasa untuk semua itu, dan tidak ada satu pun orang yang memahaminya, termasuk ibu. Andai aku masih punya ayah, mungkin semua hal seperti sekarang tidak akan pernah terjadi. Ibu, aku tidak pernah iri dengan pendidikan yang di dapatkan oleh Fina, aku tidak pernah merasa ibu membeda-bedakan kami, aku tidak pernah merasa kalau ibu lebih menyayangi Fina dari pada aku dan Zhani. Hanya itu, alasanku."
"Jangan pernah bicara tentang ayahmu lagi," lirih Jhana.
"Aku ingin bertemu dengan ayah, karena mungkin cuma ayah yang bisa memahami perasaanku! Aku tahu, ayah selalu memikirkan kami, disuatu tempat yang aku tidak tahu, di dunia atau akhirat." Mona langsung pergi ke kamar mandi sambil bercucuran air mata.
"Ibu." Fina memeluk Jhana, di ikuti oleh Zhani, Jhana membalas pelukan hangat itu, ia sangat tidak menyangka bahwa putri sulungnya tidak yakin bahwa ayahnya telah wafat.
'Kurasa dia ingat saat-saat dimana Rasyid datang pada kami dan membawakannya coklat. Mona maafkan ibu, sayang, sampai saat ini, ibu belum bisa membahagiakanmu,' batin Jhana. Ia segera berpamitan kepada Fina dan Zhani untuk kembali bekerja, karena kalau ia pergi terlalu lama, Wanda pasti akan menceramahinya.