Chereads / Ta'aruf | Jung Jaehyun / Chapter 4 - Pertemuan Tak Terduga

Chapter 4 - Pertemuan Tak Terduga

•-----•

Ada orang yang dihadirkan oleh Allah SWT untuk mengenalkanmu pada rasa sakit.

Ada pula orang yang dihadirkan oleh-Nya untuk mengenalkanmu pada jalan-Nya.

•-----•

"Mana ada yang seperti itu. Buatku, hanya Aisyah yang mampu memberikan rasa sakit sekaligus dengan obatnya...

... aku akan menunjukkan keseriusanku dengan menyusulnya ke sana --Jerman." Arnan Ramadhan menutup buku yang tengah ia baca sambil menunggu keberangkatannya.

Arnan sudah berada di bandara setengah jam lalu, sungguh akan sangat terasa bosan bila dia tak membawa beberapa buku bacaan untuk mengisi waktu. Ya, Arnan sangat suka membaca. Karena dia juga seorang penulis.

Penulis?

Putra Arnan Ramadhan; laki - laki penyuka berlama - lama di depan laptop, yang menuangkan setiap diksinya melalui tulisan. Kegiatannya itu dia lakukan semata - mata hanya untuk menyalurkan hobinya terlepas dari bakat yang dia miliki.

Sudah lebih dari satu karya - karyanya diterbitkan dalam bentuk cetak. Berhubung sang ayah memiliki sebuah perusahaan yang memang dibidang penerbitan.

Bukan hanya karena ayahnya adalah pemilik salah satu penerbit terkemuka di kotanya. Karya - karya Arnan memang patut dan layak untuk diterbitkan di penerbit mana pun. Ditambah lagi wajahnya yang tampan, menjadi nilai tambah bagi pemburu buku atau novel.

Arnan langsung beranjak dari duduknya saat mendengar pemberitahuan. Dengan santai dia meraih tas ransel juga koper warna hitam. "Sudah waktunya 'nih?" monolognya.

"Baiklah, i'm coming Edinburgh! Ah, Aisyah maksudku..." lanjutnya sambil menyunggingkan senyum.

Arnan berjalan sambil menunduk karena sedang mengecek tiket yang ada di tangannya.

Sedangkan dari sisi berlawanan, entah tak sadar atau memang terburu - buru, ada seorang perempuan berlarian sambil menyeret koper hitamnya yang cukup besar dan melewati Arnan bahkan kaki laki - laki itu terinjak oleh roda koper miliknya.

"Oh, shit! Punya mata nggak 'sih?" pekik Arnan dan membuat perempuan itu berhenti sambil menoleh ke belakang.

Tepat saat itu, Arnan mendongakkan kepalanya dan irisnya bertemu dengan iris kecokelatan milik perempuan berhijab itu.

Entah waktu yang berputar begitu lambat, atau penglihatan Arnan yang butuh fokus. Bahkan dia mengatupkan bibirnya saat menyadari siapa di hadapannya itu.

"Khumayroh?"

"Arnan?"

Ternyata Arnan mengenal perempuan berhijab di depannya. Ingin rasanya Arnan memekik kegirangan saat itu juga, bagaimana bisa dia bertemu dengan seseorang dari masa lalunya? Bahkan dia masih mengingat namanya; Siti Khumayroh Bilqis.

Terlihat Khuma ingin menghindar dari Arnan, tapi kalah cepat karena laki - laki itu sudah menyerukan nama lengkapnya. "Siti Khumayroh 'kan?...

... benar! Kamu Khuma!" pekik Arnan.

"Maaf, kamu siapa?" sahut Khuma yang terlihat sangat gelisah. Jelas, karena pesawat yang akan dia tumpangi akan segera lepas landas.

Arnan diam mematung. Bagaimana bisa perempuan di depannya itu melupakannya? Padahal jelas - jelas tadi Khuma menyerukan namanya bukan? Apa Arnan salah dengar?

Tiba - tiba saja Khuma tertawa renyah, membuat Arnan menyerngitkan dahinya bingung. "Apa ada yang lucu?" tanyanya.

"Wajahmu," Khuma kembali tertawa, "lihat saja ekspresi terkejutmu itu...

... aku masih mengingatmu, Putra Arnan Ramadhan... Assalamu'alaikum," sahutnya.

Butuh tiga detik untuk Arnan mencerna maksud ucapan Khuma. Ternyata perempuan itu masih mengingat dirinya. Membuat sebuah senyuman lebar di wajah tampan Arnan saat itu juga.

"Kamu mengerjaiku ya? Ya Allah, Khuma! Sudah lama sekali kita tidak bertemu. Ah, iya wa'alaikumsalam..." jawab Arnan sambil tersenyum lebar.

Terkekeh, Khuma mengangguk. "Maaf aku tidak bisa lama - lama, jadwal penerbanganku beberapa menit lagi. Aku duluan ya, sampai jumpa lagi...

...assalamu'alaikum, Arnan!" serunya sambil menyeret kembali koper warna hitamnya.

Tanpa menoleh kembali ke arah Arnan, Khuma berlarian mengejar waktu agar tak ketinggalan pesawat. Sedangkan Arnan, laki - laki yang masih memasang senyum di wajahnya itu hanya memandangi punggung perempuan dengan hijab itu menghilang dari pandangannya.

"Wa'alaikumsalam, Khuma. Semoga bisa bertemu denganmu lagi..." sahutnya yang seperti berbisik.

Tersadar dari lamunan, Arnan mengecek jam di pergelangan tangannya. "Astaga! Aku akan ketinggalan pesawat!" pekiknya.

Dengan langkah lebar, Arnan menyeret koper hitam yang ada di sisinya dan sejenak melupakan pertemuannya dengan perempuan dari masa lalunya itu --Siti Khumayroh Bilqis.

Edinbugrh, Jerman.

Arnan telah tiba di apartemen pribadinya, pemberian sang papah. Dia cukup lelah setelah berjam - jam duduk di pesawat. Setelah meletakkan koper hitamnya di sisi ranjang kamarnya, Arnan menghempaskan tubuhnya ke atas kasur.

Menghela napas. "Aku sangat lelah."

Tanpa diminta, Arnan tiba - tiba mengingat kembali pertemuannya dengan perempuan berhijab di bandara tadi. "Khumayroh..." gumamnya.

"Sudah berapa tahun ya aku nggak ketemu sama dia? Banyak perubahan, yang jelas dia makin cantik..." lanjutnya bergumam.

Menit selanjutnya, Arnan teringat akan mantan kekasihnya --Aisyah. "Astaga! Aku harus cepat - cepat ke apartemen Aisyah!"

Dengan gerakan cepat, Arnan beranjak dari tidurnya dan menghampiri koper hitan miliknya. Tapi tunggu... kenapa koper Arnan susah dibuka? Apa kode kuncinya salah?

"Ini kenapa nggak bisa dibuka? Tunggu...

... ini bukan koperku! Astaga, ini tertukar!" seru Arnan tak percaya bahwa kopernya telah tertukar dengan milik orang lain.

•-----•

"SubhanAllah, Jeff! Kamu serius dengan ucapanmu itu? Bahkan, kamu belum pernah bertemu langsung dengan adik saya!" seru Fathan pada sahabatnya itu.

Mereka berdua --Jeffry dan Fathan sedang berada di kantor Fathan yang ada di Jerman. Ah, tidak. Lebih tepatnya di ruangan khusus untuk bersantai yang telah tersedia.

Jeffry mengangguk pasti. Beberapa menit lalu, laki - laki itu baru saja mengutarakan maksud baiknya pada Fathan.

Ya, Jeffry mengatakan bahwa dia akan mengkhitbah adik dari Fathan yaitu Khumayroh. Bagaimana bisa? Jawabannya adalah karena Jeffry telah menetapkan hatinya untuk perempuan berhijab nan manis itu.

** Secara etimologi, khitbah, meminang atau melamar artinya meminta wanita untuk dijadikan istri. [1] Dalam KHI pasal 1 (a), khitbah ialah kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita. Atau, seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya, dengan cara-cara yang umum berlaku ditengah-tengah masyarakat.

"Walaupun saya belum pernah bertemu langsung dengannya, tapi saya sudah bisa menilainya langsung dari cerita - cerita kamu selama ini. Bukankah khitbah itu juga bisa melalui perantara?" sahut Jeffry dengan tenang. Kemudian, dia menyeruput teh manis buatan Fathan.

Fathan mengangguk paham. Memang, mengkhitbah itu bisa melalui perantara. Hubungan antara laki - laki yang meminang dengan perempuan yang dipinangnya selama masa antara khitbah dan perkawinan itu adalah sebagaimana hubungan laki - laki dan perempuan asing. Oleh karena itu belum berlaku hak dan kewajiban diantara keduanya.

"Kalau memang itu keputusanmu, bicaralah pada wali sah Khuma. Saya hanyalah kakaknya, masih ada ayah yang menjadi wali sah Khuma." Fathan percaya bahwa Jeffry adalah laki - laki baik. Jadi, tak ada penolakan yang berarti terlepas dari persetujuan Khuma sendiri nantinya.

Jeffry mengangguk dan berkata, "saya akan berkunjung ke rumahmu saat pulang ke Indonesia nanti."

"Sebagai laki - laki yang telah berani meminta adikmu secara terang - terangan ini, saya Jeffry Ibnu Bukhari...

... akan menjaga adikmu dengan cara yang halal," lanjut Jeffry secara resmi meminta restu pada Fathan sebagai kakak Khuma.

Fathan tersenyum bangga dengan keberanian Jeffry. Sekaligus, dia juga merasa lega karena adik satu - satunya itu sudah ada yang akan menjaganya sesuai dalam syari'at agamanya.

"Ah iya Jeff, hari ini adikku datang. Aku lupa harus menjemputnya di bandara! Astaghfirullah!" seru Fathan dan langsung beranjak dari duduknya.

Jeffry ikut berdiri. "MasyaAllah, Fathan! Kamu ini bagaimana? Ayo cepat ke bandara. Aku akan mengurus semua pekerjaan di sini. Sudah sana cepat, kasihan calon isteriku," sahutnya, lalu tersenyum malu.

"Astaghfirullah Jeff! Belum tentu ayah menerimamu, bahkan Khuma!" Fathan tersenyum mengejek. Dia paham kalau Jaeffry hanya sedang bercanda.

Jeffry dan Fathan tertawa renyah. Seperti ada sesuatu yang menggelitik bagi Jeffry saat mengatakan calon isteri. Bahkan senyum yang mengembang di wajah tampannya tak luntur sedaritadi.

"Ya sudah, saya jemput Khuma dulu. Nanti akan saya ajak ke sini, supaya kamu bisa bertemu dengannya," ucap Fathan.

Jeffry menggelengkan kepalanya pelan. "Jangan sekarang, biarkan waktu yang mempertemukan kami secara alami. Tapi, saya akan tetap melihatnya dari kejauhan."

"Hmm, oke kalau itu keputusanmu. Aku pergi kalau begitu, assalamu'alaikum," sahut Fathan.

Setelah membalas salam Fathan, Jeffry mengantarkan sahabatnya itu sampai lobi dan kembali bekerja. Namun, sebelum itu Jeffry tersenyum senang karena akan bertemu langsung dengan perempuan yang sudah mencuri hatinya tanpa perlu usaha.

•-----•