•-----•
Dalam pandangan islam, kata istiqomah memiliki arti Tegak, lurus, atau dalam bahasa lainnya yaitu konsisten.
Adapun para Ulama yang memberikan definisi dari kata Istiqomah;
- Abu Bakar Ash-Shiddiq R.A:
Istiqomah itu tidak menyekutukan Allah dengan apapun juga.
- Umar bin Khattab R.A:
Istiqomah itu hendaknya untuk bertahan dalam satu perintah atau larangan dan tidak berpaling dari yang lain layaknya seekor musang.
- Utsman bin Affan R.A:
Istiqomah artinya ikhlas.
- Ali bin Abi Thalib R.A:
Istiqomah adalah melaksanakan suatu kewajiban.
Sumber;
https://santrigaul.net/arti-istiqomah/
•-----•
•-----•
Derap langkah kaki --berlarian, mengisi suasana sepi di sebuah rumah yang terbilang cukup luas itu. Ternyata, putra dan putri penghuni kediaman tersebut tengah saling menjahili satu sama lain.
Mereka adalah; Siti Khumayroh Bilqis dan Muhammad Fathan Ibrani.
"Khuma! Jangan dibawa hp kakak. Kembalikan! Atau..." ancam Fathan sambil menghentikan langkah lebarnya untuk mengejar Khumayroh --sang adik.
Khuma pun ikut berhenti berlari dan menoleh ke belakang sambil menyerngitkan dahi. "Atau apa kak? Kalau bicara itu jangan setengah - setengah. Nggak enak tau!" protesnya.
"Makanya, kembalikan dulu hp kakak. Kalau nggak, kakak nggak akan bantu kamu buat bujuk ayah dan bunda." Fathan kembali mengancam Khuma.
Apa? Kalau sudah menyangkut soal perizinan itu, Khuma menyerah. Dengan ekspresi memelas, perempuan berhijab itu mengembalikkan ponsel pada pemiliknya --Fathan. "Kakak mainnya ancaman."
"Habisnya kamu iseng banget. Hp kakak jangan dijadikan mainan. Kalau ada orang kantor telepon gimana?" sahut Fathan sambil memasukkan ponselnya ke dalam saku kemeja.
Khuma mengerucutkan bibirnya dan menghentak - hentakkan kakinya karena kesal. "Curang ah. Ya udah, nanti bantuin Khuma ngomong sama ayah dan bunda."
Fathan mengangguk pelan sambil tersenyum melihat tingkah sang adik yang begitu menggemaskan di matanya. Padahal usia Khuma sudah bukan anak - anak lagi. Tepat sebulan lalu, Khuma berulang tahun ke dua puluh tiga.
Bahkan, akhir tahun kemarin Khuma sudah menyelesaikan sekolahnya dengan menyandang gelar S.Psi. di nama belakangnya. Alhamdulillah kalau kata Fathan. Kenapa? Ya, karena Khuma kurang menekuni jurusannya. Dan mengharuskan dukungan serta semangat dari Fathan.
"Iya nanti kakak bantuin ngomong. Tapi, kamu udah yakin mau ikut kakak ke Jerman? Nggak mau lanjut kerja?" tanya Fathan sambil mengorek alasan kenapa adiknya itu ingin sekali mengikuti jejaknya.
Khuma duduk di sofa yang ada di ruang tv. Diikuti Fathan yang duduk di sisinya. "Khuma cuma penasaran tentang dunia fotografi. Kakak tau 'kan Khuma tertarik dari kecil. Apalagi kota Edinburgh itu kota seni yang bagus banget. Kebetulan kak Fathan punya apartemen di sana 'kan? Jadi... Khuma mau ikut kakak. Boleh ya?...
... lagipula, Khuma udah merencanakan untuk karir Khuma ke depannya. Kakak tenang aja..." sahut Khuma mencoba meyakinkan sang kakak.
Fathan mengangguk pelan, memahami maksud ucapan sang adik. Dia tahu bahwa Khumayroh sangat keras kepala. Percuma jika Fathan menolak untuk membantunya membicarakan perihal masalah ini pada ayah dan bunda, otomatis Khuma akan menganggunya setiap hari bahkan detik.
"Ya udah, nanti kakak bicarakan sama bunda. Kalau urusan ayah, kakak serahin ke kamu. Kamu 'kan lebih mudah buat bujuk ayah," sahut Fathan pada akhirnya.
Khuma mengangguk mantap. Dia sangat bersemangat karena mendapatkan lampu hijau dari sang kakak. Sesulit apa pun izin dari ayah dan bunda, jika Fathan sudah ikut andil... semua akan terasa mudah.
"Syukron kak Fathan. Urusan ayah biar Khuma yang urus. Khuma sayang kakak." Khuma memeluk lengan kekar sang kakak --bergelendot manja layaknya adik kecil.
Sedangkan Fathan hanya tersenyum maklum sambil mengusap pucuk hijab Khuma dengan lembut. Mendefinisikan bagaimana sayangnya Fathan terhadap sang adik.
"Adik kakak sudah besar, tapi masih aja manjanya nggak hilang," protes Fathan diakhir senyumnya.
•-----•
Di kediaman keluarga Arnan.
Laki - laki dengan mata kelamnya, tengah menangkup kedua tangan sambil berlutut di depan wanita paruh baya --sang ibu. Laki - laki itu; Putra Arnan Ramadhan.
"Mah, izinkan Arnan pergi. Janji Arnan sama mamah, nggak akan mengecewakan mamah dan papah," rengek laki - laki yang usianya masih sangat muda --22 tahun.
Sang ibu bersidekap dada. "Mau sampai kapan kamu buat mamah dan papah senewen terus Nan? Kamu tuh udah dewasa, kuliahmu gimana kalau kamu pergi ke sana?"
"Justru itu mah, Arnan nggak akan buat mamah dan papah pusing lagi karna ulah Arnan. Kuliah Arnan? Kan bisa cuti dulu sebelum pengajuan sidang. Ayolah mah, boleh ya?" Arnan kembali merengek. Kali ini dia menggunakan kelemahan sang ibu dengan menunjukkan wajah memelasnya.
Bagaimana pun, sebagai seorang ibu tak akan tega melihat putra satu - satunya itu memohon - mohon apalagi Arnan sudah setengah jam lebih berlutut di hadapannya.
Menghela napas pelan. Sang ibu berkata, "dapatkan izin dari papahmu. Mamah akan mengizinkannya juga. Sudah sana, makan dulu!"
Saat itu juga, Arnan langsung beranjak dari tempatnya dan berjingkrak ria. Tak lupa anak laki - laki nan tampan itu memeluk sang ibu dan menghadiahi kecupan bertubi - tubi di wajahnya.
"Arnan sayang mamah! Makasih banyak mah." Arnan tampak sangat bahagia atas izin dari sang ibu. Tapi, dia masih punya tugas lain yaitu membujuk sang ayah.
Sang ibu menepuk pelan pundak Arnan. "Jangan seneng dulu. Papahmu belum memberikan izin. Tunggu papahmu pulang kerja, ambil hatinya. Sudah sana makan dulu... nanti keburu dingin. Mamah nggak mau manasinnya lagi ya," ucapnya, lalu melangkahkan kaki menuju ruang makan.
Arnan tak menghiraukan sindirian sang ibu. Dia cukup bahagia hanya dengan izin dari ibunya itu. Dengan senyum sumringah yang terpatri di wajah tampannya, Arnan menyusul ke ruang makan.
Sedang di kediaman Khuma. Perempuan dengan hijab warna pastel itu tengah menyeduhkan teh hangat untuk sang ayah --Adnan. Mungkin, Khuma mulai menjalankan rencananya untuk mengambil hati ayah Adnan.
"Ayah, ini tehnya. Nggak terlalu manis dan panas, seperti biasa," ucap Khuma sambil tersenyum manis.
Ayah Adnan yang terlihat lelah karena baru saja tiba di rumah setelah bekerja seharian itu langsung tersenyum sumringah mendapati anak gadisnya menyambutnya dengan secangkir teh hangat.
Namun, dibalik itu semua ayah Adnan tahu bahwa ada yang diinginkan oleh putrinya itu. "Haruskah ayah mengucapkan terima kasih?" sahutnya sambil tersenyum menggoda.
"Apa maksud ayah? Ini 'kan teh seperti biasa yang Khuma buat untuk ayah." Khuma seperti sedang terciduk oleh sang ayah. Niat ingin mengambil hati ayahnya itu mungkin akan lebih sulit sekarang atau malah dipermudahkan?
Ayah Adnan tersenyum kembali. "Sini 'nak, duduk di samping ayah. Sebelumnya makasih ya untuk tehnya," jawabnya dengan lembut.
Melaksanakan perintah ayah Adnan, Khuma duduk tepat di sebelahnya. "Ayah..." rengek perempuan dengan lesung di pipinya itu.
"Ada apa Khuma? Ada yang ingin kamu bicarakan sama ayah? Katakan," sahut ayah Adnan pada intinya. Ia sudah tahu tujuan Khuma karena sebelum kembali ke rumah, ia di telepon oleh Fathan.
Benar 'kan? Jika Fathan sudah ikut andil, untuk urusan izin dari ayah bunda pasti berjalan lancar. Entah apa yang Fathan bicarakan, yang pasti laki - laki berusia 25 tahun itu mampu meyakinkan ayah dan bunda.
Kembali pada Khuma. Perempuan manis itu menggigit bibir bawahnya dan menundukkan kepala. "Begini yah... hmmm, Khuma mau minta izin sama ayah. Tapi, janji dulu kalau ayah nggak akan ngelarang Khuma," sahutnya.
"Mau melarang gimana? Ayah 'kan belum tahu maksud dari minta izin itu apa. Memangnya ada apa?" Ayah Adnan menatap sang putri yang sedaritadi terlihat gelisah.
Ingin menertawakan tingkah Khuma, tapi ayah Adnan urungkan karena akan terlihat kalau ia sudah mengetahui tujuan Khuma mengajaknya bicara. Jadi, ayah Adnan hanya diam sambil menatap Khuma yang tak berani memandang wajahnya.
"Ayah janji dulu jangan marah."
Ayah Adnan mengangguk sambil menyembunyikan kekehannya.
"Khuma ingin ikut kak Fathan ke Jerman!" ujar Khuma tanpa jeda, dengan sekali embusan.
MasyaAllah, anak ayah seperti sedang ngerapp. Batin ayah Adnan.
Mengubah ekspresi wajah serius, ayah Adnan berdehem sekali dan mengubah posisi duduknya. Membuat Khuma harap - harap cemas karena takut kalau saja penolakan yang dia dapat.
Kembali berdehem, lalu ayah Adnan berkata, "bagaimana kalau ayah tidak mengizinkan? Apa kamu akan menangis?"
Mendapat jawaban seperti itu, membuat kedua bahu Khuma merosot dan helaan napas pasrah terdengar dengan jelas. Jika sang ayah tak mengizinkan, bagaimana dengan bunda Fatmah? Pasti akan lebih sulit.
"Khuma nggak akan nangis. Khuma juga nggak akan mogok makan, karena Khuma paling nggak bisa nahan lapar. Jadi... Khuma hanya akan mengadu sama Allah, supaya Allah membukakan hati ayah dan bunda untuk memberikan izin pada Khuma," sahut Khuma panjang lebar sambil menunjukkan ekspresi wajah pasrahnya.
Ayah Adnan sudah tak bisa lagi menyembunyikan tawanya. Bahkan ia tersenyum bangga. "SubhanAllah, anak ayah udah dewasa ya.. semoga Khuma tetap istiqomah ya sayang, terlepas jauh dari ayah dan bunda nanti," sahutnya.
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Khuma memekik kegirangan saat menyadari maksud ucapan ayah Adnan barusan. "Alhamdulillah ya Allah. Ayah ngizinin Khuma? Serius 'kan yah?"
"Iya, kakakmu sudah menjelaskan semuanya pada ayah. Bunda juga setuju, asalkan Khuma tetap menjaga diri dan terus beristiqomah," jawab ayah Adnan dengan senyum lebar yang mengembang.
Sambil melompat kegirangan, Khuma tak henti - hentinya bersyukur. "Ya Allah, makasih udah mengabulkan doa Khuma...
... dan ayaaaah, Khuma sayaaang ayah juga bunda," ucapnya.
Khuma berjanji dalam hati, dia akan mentraktir kakaknya --Fathan semangkuk mie yamin kesukaannya. Dia benar - benar berterima kasih pada sang kakak yang menetapi janjinya untuk membantu mendapatkan izin dari ayah dan bunda.
Keesokan hari, Arnan berpamitan pada papah dan mamahnya. Dia sangat bahagia akhirnya diizinkan untuk pergi ke Jerman. Sebenarnya, Arnan ke negara tersebut untuk menyusul mantan kekasihnya yang bekerja di sana.
Hanya demi seorang wanita yang sudah memutuskan hubungannya lebih dulu, Arnan berani membohongi sang papah. Dia mengatakan akan belajar mandiri dengan jauh dari orang tua, padahal tujuan sebenarnya bukan itu.
Ya walaupun Arnan akan benar - benar belajar mandiri di negara tersebut karena sang papah tidak akan mengirimkan uang atau materi apa pun pada putra satu - satunya itu sebagai kesepakatan pertukaran dengan izin darinya.
Putra Arnan Ramadhan dengan pakaian santainya; kaos hitam dipadukan dengan jaket boomber hijau pekat dan rambut hitam yang dibiarkan jatuh, berjalan di lobi bandara sambil menunduk karena sedang mengecek tiket yang ada di tangannya.
Sedangkan dari sisi berlawanan, entah tak sadar atau memang terburu - buru, Khuma berlarian sambil menyeret koper hitamnya yang cukup besar dan melewati Arnan bahkan kaki laki - laki itu terinjak oleh roda koper milik Khuma.
"Oh, shit! Punya mata nggak 'sih?" pekik Arnan dan membuat Khuma berhenti sambil menoleh ke belakang.
Tepat saat itu, Arnan mendongakkan kepalanya dan irisnya bertemu dengan iris kecokelatan milik Khuma.
Entah waktu yang berputar begitu lambat, atau penglihatan Arnan yang butuh fokus. Bahkan dia mengatupkan bibirnya saat menyadari siapa di hadapannya itu.
"Khumayroh?"
"Arnan?"
Mereka bersamaan menyerukan nama keduanya.
Pertemuan tak disengaja, yang mungkin akan mengukir kisah yang tak terlupakan. Di sana lah --lobi bandara, Arnan dan Khuma saling bersitatap kembali satu sama lain setelah pertemuan terakhir mereka.
Dan di sana lah, cerita kisah Arnan dan Khuma dimulai kembali. Dengan bergabungnya orang lain diantara mereka. Sekaligus yang membuat Arnan harus berusaha lebih lagi, dan lagi.
•-----•