Di dalam kota Erteri, para prajurit Kekaisaran Vandal yang baru saja menguasai Ibukota Kerajaan Armenia sekarang disibukkan oleh masalah baru. Mereka mencari ke pelosok-pelosok kota dengan bangunan yang sebagian besar telah hangus dan hancur karena pertempuran besar dua hari lalu, yang dicari para prajurit kekaisaran cari adalah seorang pria yang menghancurkan gerbang utama kota yang tidak lain adalah William Robert.
"Cari monster itu! Kalau dia mengamuk lagi kita semua bisa tamat!" teriak lantang salah seorang prajurit sambil berlarian bersama rekan lainnya.
"Cari dia! Cari dia!" teriak salah seorang prajurit lain.
Mereka mencari dalam beberapa kelompok kecil, dan mulai menyusuri jalan dan gang yang telah setengah hancur, terdapat bekas kobaran api dan hampir ambruk. Puluhan, bahkan sampai ratusan orang mencari pria yang beberapa puluh menit yang lalu menghancurkan gerbang utama kota dan merobohkan beberapa bangunan.
Pada salah satu gang yang terletak di antara dua bangunan pinggir jalan kecil, Robert meringkuk di samping tong kayu dengan ekspresi wajah sangat datar mendengar tarikan orang-orang yang mencarinya. Gang itu cukup teduh karena atap kedua bangunan, tetapi memiliki bau busuk yang menyengat. Dinding-dinding gang terlihat hitam seperti bekas kebakaran dan abu dari kayu yang menjadi arang masih beterbangan di sekitar tempat itu.
Sebenarnya Robert ingin mencari tempat sembunyi yang lebih layak, tetapi mengingat apa yang telah dilakukannya di gerbang masuk, dirinya sama sekali tidak bisa bergerak dengan bebas di kota Erteri karena telah menjadi seorang buronan para prajurit kekaisaran dan berakhir di gang kumuh berbau busuk tersebut. Entah itu bisa disebut kesialan atau bakat tersendiri untuk mengundang masalah, pada hari pertama hidup barunya, Ia langsung terjerat masalah sekala regional yang cukup serius.
"Gawat ..., gawat banget! Padahal belum sehari direinkarnasikan ke dunia ini, tapi masa sih langsung jadi buronan?!"
Robert terus melihat sekeliling dengan jantung berdebar, keringat dingin bercucuran dan napas sesak karena bau busuk mulai membuatnya sengsara. Sambil tetap meringkuk dan melihat langit memaui cela kedua atap bangunan pada gang, Pria itu berusaha memikirkan berbagai cara untuk keluar dari situasinya sekarang.
"Hah ..., apa sebaiknya loncat lagi kayak tadi dan kabur dari kota saja ya? Tapi .., dari perkataan para prajurit di gerbang, sepertinya negeri ini sedang ada perang sih, gak ada jaminan kalau di luar kota lebih aman," gumam Robert dengan keluh kesah.
Ia menunduk, kemudian mengalihkan pikirannya pada hal yang lain. Robert mengingat-ingat aura hitam yang sebelumnya keluar saat dirinya mengumpulkan tenaga untuk menghajar permukaan jalan dam meruntuhkannya sampai saluran irigasi bawah tanah. Robert mengulurkan kedua tangannya ke depan dan mengamatinya, sekarang sekujur tubuhnya memang tidak mengeluarkan aura hitam tetapi anehnya kulitnya berubah sedikit lebih pucat.
"Pucat? Apa ini efeknya? Huh, sebenarnya ... aura hitam yang keluar dari tubuhku tadi itu apa ...? Semacam tenaga dalam seperti komik film bela diri?"
Robert berdiri dan menutup hidungnya. Dengan ekspresi datar dan tidak tahan dengan bau busuk yang ada, Ia melangkah dan hendak keluar dari gang untuk mencari tempat persembunyian yang lebih layak.
"Siapa di sana?! Keluar!!" teriak salah satu prajurit dengan tiba-tiba. Mendengar itu, pria tersebut langsung bersembunyi lagi di balik tong kayu dan meringkuk. Keringat bercucuran dan napas benar-benar sampai pada batasnya.
"Gawat ..., ketahuan?"
Mendengar langkah kaki yang mulai mendekat, Robert tetap terdiam dengan ekspresi wajah pasrah dengan keadaan. Saat prajurit melongok ke dalam salah satu tong kayu yang ada di samping Robert, prajurit itu hanya melihat mayat seorang wanita yang sudah terbakar hangus di dalam sana tanpa menyadari keberadaan Robert.
Prajurit itu menendang tong kayu tersebut. "Tch! Mayat ya!" Setelah mengeluh sendiri, Ia berbalik dan berjalan meninggalkan gang.
Sadar kalau prajurit tidak menyadari keberadaannya, Robert lekas bangun dan mengendap-endap ke belakang prajurit yang mengenakan ziarah besi yang terlihat megah itu. Saat tepat berada di belakangnya, Robert mendaratkan pukulan keras pada keningnya, tetapi tentu saja dengan menahan tenaga.
Bug!
Helm pelindung prajurit tersebut sedikit bengkok dan Ia terpelanting ke samping menghantam dinding gang. Setelah melihat keluar gang untuk memastikan tidak ada orang yang melihat, Robert menyeret tubuh prajurit tersebut ke dalam gang untuk menyembunyikannya. Ia menyadarkan tubuh prajurit itu pada tong kayu, kemudian mengamatinya. Sebuah zirah mewah dengan ukiran rumit di bagian dada dan helm pelindung, warna merah yang lebih mencolok jika dibandingkan dengan prajurit lain, melihat semua itu Robert sadar kalau orang yang pingsan di depannya itu bukanlah prajurit biasa.
"Oh, mungkin cara ini berhasil ...."
Robert melepaskan seluruh zirah logam dan helm pelindung yang dikenakan oleh prajurit tersebut sampai hanya menyisakan celana pendek dan kaos dalam. Setelah itu, Robert sendiri memakainya dan menyamar menggunakan itu. Butuh waktu cukup lama untuk memakai zirah yang terlihat cukup mewah itu karena bagian helm yang sudah sedikit penyok, tetapi pada akhirnya dengan paksa Robert merapikannya dan memakainya secara paksa. Sekarang pria itu mengenakkan baju zirah berwarna merah gelap yang dipenuhi ukiran unik bunga sepatu ala Kekaisaran, dan pada bagian kepala wajahnya tertutup oleh helm besi yang memiliki sela-sela untuk melihat.
"Hem, aku ragu ini akan berhasil. Ya, semoga saja gak ada masalah."
Dengan sedikit ragu, Robert melangkah keluar dari gang. Saat dirinya berada di jalan yang terbuat dari susunan batu bata yang telah hangus, Robert mengamati sekeliling tempat itu dengan sedikit cemas. Di sekitarnya terlihat beberapa bangunan yang sebagian besar telah hangus terbakar dan ada juga yang roboh. Mayat bergelatakan di jalan dan puing-puing bangunan, ada yang mati karena tertusuk senjata tajam dan ada juga yang karena terbakar. Pada salah satu jendela bangunan yang terbuka, terlihat mayat yang melintang di atasnya dengan kondisi wajah remuk karena ledakan.
Melihat semua itu, Robert memasang wajah apatis. Ia sedikit menghela napas ringan dan berkata, "Memang ini benar-benar bekas pertarungan besar. Huh, jadi teringat hal itu. Apa di dunia mana pun pertempuran seperti itu memang wajar?" Bagi pria itu, yang mati sudahlah mati, tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Tidak ada gunanya merasa kesal apalagi jijik karena hal itu sudah tidak berguna lagi.
Ia kembali mengamati bekas peperangan tersebut. Hal itu sedikit mengingatkannya dengan dunianya yang sebelumnya, sangat kejam dan buruk sampai-sampai debu dan abu yang terhidup masuk bisa mengontaminasi pikiran dan membuat gila. Saat dirinya terenung untuk sesaat, tiba-tiba ada suara yang mengajaknya bicara.
"Kamu ...! Apa yang kamu lakukan di sini?"
Robert berbalik, melihat ke arah orang yang memanggilnya. Untuk sesaat dirinya terdiam melihat sosok gadis berambut perak yang berdiri di hadapannya itu. Dia terlihat begitu cantik dan berwibawa, gaun pendek megah berlapis zirah perak yang dikenakannya menandakannya bahwa gadis itu bukanlah sekedar prajurit biasa meskipun yang dikenakannya saat itu masih tergolong pakaian kasual. Tetapi, beberapa saat kemudian Robert sadar kalau sekarang bukan saatnya terkagum. Gadis itu adalah salah satu Komandan Empat Arah, Alice Schneewittchen.
"S-Saya ... mencari orang yang menurut informasi membuat keributan tadi .... Apa kau juga mencarinya?"
Di balik helm pelindung yang dikenakan ekspresi panik Robert mulai tampak. Rasa cemas penyamarannya terbongkar semakin kuat dan membuat pria itu membuat satu langkah ke belakang.
"Kamu ..., walaupun kamu seorang anak dari bangsawan yang telah berkontribusi besar pada kekaisaran, aku sebagai komandan tidak akan memberikan keringanan bagimu kalau melanggar perintah. Ingat itu baik-baik. Sebagai salah satu orang penting kekaisaran, kamu jangan bertindak seenaknya."
Gadis komandan itu menatap tajam Robert, mata berwarna abu-abu pudar gadis itu seakan membawa rasa mistis padanya. Untuk sesaat pria itu sedikit merasa lega karena hanya dengan mengenakan baju zirah yang dicurinya dari salah satu prajurit, dirinya langsung memiliki kesempatan berbaur dengan mereka dengan cepat.
"Ma-Maaf ...." Robert menundukkan kepalanya.
Melihat apa yang dilakukannya, gadis itu sedikit bingung karena orang di balik baju zirah itu seharusnya adalah seorang bangsawan penting yang sombong dan merepotkan di lingkup Kekaisaran.
"Tidak ..., saya juga minta maaf. Saya juga yang terlalu kasar padamu. Aku seharusnya tidak mengatakan sesuatu seperti itu kepada bangsawan seperti Anda."
Gadis komandan itu mengubah gaya bahasanya saat bicara setelah mempertimbangkan beberapa hal. Entah karena alasan apa, sorot mata tajam yang ada pada gadis berambut perak itu mulai sedikit terasa lembut.
"Bangsawan? Hem ..., begitu ya .... jadi orang yang mengenakan zirah ini tadi itu ternyata sepenting itu," pikir Robert.
Robert sedikit tersenyum dari balik helm besi. Pria itu menyadari kalau posisinya saat ini bisa dimanfaatkan untuk keluar dari situasinya yang tidak menguntungkan dan mencari informasi yang dibutuhkannya tentang dunia tempat tinggalnya yang baru. Gadis berambut perak itu tiba-tiba berlutut di hadapan Robert dengan kaki kanan menyetu jalan seperti halnya menghadap pada atasan. Rasa hormat dan loyalitas mulai terasa sangat jelas darinya.
"Saya, Alice Schneewittchen, telah terlalu besar kepala atas ini. Walaupun Anda adalah orang bangsawan di bawah kekuasaan kaisar, tetapi Saya meragukan Anda. Maaf atas ketidaksopanan saya."
"Eh ...?! Kenapa ini? Pemilik zirah ini memang pangkatnya sangat tinggi, ya?" pikir Robert dengan sedikit panik.
"U-Uhm, tidak apa."
"Terima kasih banyak, saya terima kebaikan Anda dengan kebanggaan atas Kejayaan Yang Mulia Kaisar .... Kalau begitu, sebaiknya kita segera pergi ke balai kota, mungkin mereka sudah memulainya," ucap Alice dengan ekspresi wajah sangat tenang. Ia kembali bangun dan berdiri tegak dengan anggun dan bermartabat tinggi, bahkan sangat melebihi orang yang ditelanjangi Robert dan dicuri zirahnya.
"Ke balai kota? Untuk apa memangnya?" tanya Robert.
"Hem ..., tentu saja untuk menghukum pendosa sebelum membawanya untuk dieksekusi di kekaisaran. Bukannya Anda datang untuk membawa Putri penuh dosa itu?" tanya Alice.
"Y-Ya ..., benar juga. Ayo kita ke balai kota." Robert berbalik dan berjalan, dirinya sama sekali tidak tahu apa yang dimaksud Alice tadi.
"Arahnya bukan ke sana," ucap Alice.
Mendengar hal itu, Robert merasa terkejut dan panik. Dirinya berbalik kembali dan mengambil arah satunya. Melihat kelakuan aneh tersebut, Alice mulai sedikit curiga pada Robert. Gadis berambut perak itu mulai melihat ke arah pria yang berjalan di depannya dengan tatapan gelap. Merasakan tatapan tidak bersahabat tersebut, Robert menengok ke belakang.
"Oh, iya ... omong-omong, apa kau bisa menceritakan kronologi penyerangan kota ini? Dari laporan sepertinya engkau juga berperan banyak dalam keberhasilan kali ini," tanya Robert atas dasar informasi terbatas dan kemampuan imajinasinya membayangkan situasi.
"Kronologi? Bukan strategi yang digunakan?" tanya balik Alice.
"Hem ... kalau strategi, meskipun kamu memberitahukan suatu taktik padaku, aku pasti takkan paham. Oleh karena itu, aku bertanya kronologi saja untuk di sampaikan pada kaisar. Data laporan."
"Baiklah ..., sekalian kita pergi ke balai kota ... saya rasa tidak masalah."
Mendapat jawaban itu, dari balik helm besinya Robert tersenyum gelap. Sudah sangat lama sekali dirinya tidak menipu orang seperti itu, mungkin sejak terakhir kali membodohi partner kontraktor suatu proyek pembangunan jalan.
"Khah, akting yang sempurna...."
««»»
Balai Kota Erteri, tempat tersebut terlihat hancur porak-poranda, hanya beberapa bangunan saja yang masih berdiri di sekitar tempat itu. Pada beberapa sudut, terlihat bekas kemegahan yang ada seperti air mancur dan kolam besar yang sekarang telah hancur. Bau mayat dan darah masih terasa baru, sangat menyengat dan meracuni otak. Sesampainya di tempat tersebut, Robert melihat para prajurit yang ramai di depan sebuah panggung kayu yang dibuat seadanya dan terlihat bobrok. Mereka semua adalah orang Kekaisaran Vandal, sebagian ada yang mengenakan zirah dan sebagian lagi tidak.
Para prajurit yang berkumpul membentuk kerumunan itu berteriak-teriak ramai, mereka meminta untuk segera melaksanakan hukuman bagi pendosa yang dibicarakan, dengan serentak dan suara keras seakan menggema ke penjuru balai kota. Bahkan saking terlihat asyiknya mereka dalam keramaian gila itu, mungkin mereka melupakan laporan ancaman tentang orang yang telah menghancurkan gerbang utama beberapa saat lalu.
"Mulai hukumannya!!"
"Hukum Putri jalang itu!!"
Teriak mereka dalam kegilaan dan mabuk akan kemenangan yang didapat. Di belakang barisan prajurit yang berteriak-teriak, Robert dan Alice berdiri dengan wajah yang sangat terganggu.
"Dasar orang-orang tidak beradab," ucap Alice.
Gadis berambut perak itu memasang wajah kesal melihat ke arah kerumunan. Berbeda dengan para prajurit, gadis komandan itu tidak suka hal-hal seperti ini. Tetapi karena hal ini penting untuk memompa semangat para prajurit, hal-hal seperti ini memang tidak bisa dihilangkan atau dicegah walaupun olehnya yang seorang komandan. Mendengar perkataan gadis berambut perak tersebut, Robert tidak bereaksi karena apa yang dikatakan oleh Alice juga dirasakan olehnya.
"Menurut cerita yang dikatakan gadis ini tadi ... dan beberapa informasi yang ada, mungkin situasi saat ini cukup gawat, ya .... Kalau perkiraannya benar, Kota ini adalah Ibukota suatu negeri. dan para prajurit ini adalah prajurit ini adalah orang-orang yang datang untuk menaklukkan ... tidak, lebih tepatnya mereka sudah menaklukkan negeri ini ya. Secara garis besar peperangan, kalau ibu kota sudah diambil alih itu berarti kekalahan sih. Kecuali dalam beberapa kasus lain berbeda. Terlebih lagi, Putri? Apa yang akan dihukum adalah Tuan Putri negeri ini? Terus kenapa harus dihukum kalau mau dibawa dan dieksekusi di kekaisaran?" Robert sedikit menengok ke arah Alice yang berdiri di sebelah kirinya.
"Hem ..., ada apa ...?" tanya Alice.
"Tidak, aku sedikit heran saja. Kenapa harus ada hukuman padahal kita akan mengeksekusinya?" tanya Robert.
Seketika wajah Alice terlihat sangat kelam mendengar pertanyaannya. Ia menatap Robert dengan sorot mata penuh kegelapan dan warna kornea matanya berubah merah darah.
"Kenapa ...? Kenapa katamu ...? Tentu saja ini untuk menegakkan keadilan," ucap Alice dengan raut wajah dan suara yang sangat gelap. Melihat ekspresinya, Robert memutuskan untuk tidak bertanya lebih lanjut. Gadis itu memalingkan wajah dan kornea matanya berubah kembali menjadi hitam sedikit pudar.
Beberapa menit kemudian, tiga orang menaiki panggung kayu. Pada saat bersamaan, para prajurit yang telah menunggu lama langsung bersorak-sorak ramai. Tiga orang yang naik ke atas panggung adalah dua prajurit yang tidak mengenakan baju zirah, dan satunya lagi adalah seorang gadis kecil yang hanya mengenakan kain putih untuk menutupi seluruh tubuhnya. Gadis kecil itu tidak lain adalah Tuan Putri Fiola, seorang gadis yang secara fisik mungkin umurnya masih sekitar 16 tahun.
Salah satu prajurit menendang ke depan tubuh kecil Putri Fiola sampai tersungkur di atas lantai panggung kayu. Dengan tubuh kecil yang duduk lemas di atas panggung, Fiola menoleh ke arah orang yang menendangnya dan terlihat seakan ingin menangis. Tanpa memedulikan tatapan memelas sang Putri, salah prajurit menarik paksa kain putih yang menutupi tubuhnya. Tubuh mungil Putri Fiola langsung terekspos jelas di depan umum.
"Hiiii! Tidak ... jangan lihat ...!"
Gadis itu menjerit sambil berusaha menutupi bagian di antara selangkangannya dan bagian dada. Saat diamati kembali, ada sesuatu yang aneh pada tubuhnya. Sebagian besar tubuh Tuan Putri Fiola adalah sebuah tubuh organ mekanik yang bagian luarnya terbuat dari keramik dan kayu. Kedua tangannya terlihat seperti sebuah tangan mekanik sambungan dan kedua kaki sampai paha bukanlah bagian tubuh manusia, melainkan sebuah bagian tubuh sintetis hampir sama dengan tangannya.
Putri Fiola berjongkok. Wajahnya memerah dan menangis karena dipermalukan di depan umum. Tidak memedulikan semua itu, salah satu prajurit menjambak rambut gadis bertubuh kecil itu dan menjauhkan ke atas lantai panggung. Kedua tangan gadis itu ditahan ke atas, dan satu orang lagi dengan paksa melebarkan kedua kakinya. Melihat hal itu, para prajurit bersorak-sorak dan bersiul. Mereka tak terlihat pantas disebut manusia, bahkan lebih rendah dan setara dengan binatang biadab.
"Tegakkan keadilan!! Tegakkan keadilan!! Tegakkan keadilan!! Tegakkan keadilan!!"
Sorak-sorak ramai para prajurit. Mereka mulai bertambah semangat dan semakin tidak terkendali. Berbeda dengan mereka, Alice malah memasang wajah kesal akan tingkah para prajurit yang dipimpinnya itu. Dalam hatinya Ia malu kalau semua orang itu adalah bawahannya.
Melihat semua yang terjadi di atas panggung, perasan aneh merasuki Robert. Ia tidak pernah merasakan hal tersebut sebelumnya, sebuah dorongan yang membuat tubuhnya bergerak sebelum pikiran menentukan tindakan. Tanpa memedulikan sekeliling, Ia memusatkan tenaga pada kaki dan meloncat setinggi lima meter ke atas panggung melewati para prajurit yang bersorak gila.
Brak!
Panggung kayu berguncang saat Ia mendarat. Alice terkejut karena ada orang yang bisa meloncat setinggi itu. Selain rasa terkejut yang ada, dalam hatinya Ia bertanya-tanya untuk apa bangsawan itu meloncat ke atas panggung dan terdiam membisu.
Dua orang prajurit yang memegangi Putri Fiola kebingungan melihat orang yang menegangkan baju zirah bangsawan penting itu tiba-tiba naik ke atas panggung. Salah satu dari dua orang itu mendekati Robert dan hendak bertanya.
"Apa yang ka ⸻"
Buak!
Sebelum salah satu prajurit menyelesaikan perkataannya, Robert memukul wajahnya sampai tubuhnya terpental beberapa meter ke luar panggung dan menghantam bangunan. Darah prajurit tadi menetes dari tangan Robert.
"Si-Sialan!" Salah satu prajurit lainnya melepaskan Putri Fiola dan berusaha memukul Robert, tetapi itu dengan mudahnya dihentikan dengan satu tangan oleh pria tersebut.
Buk!
Robert memukul wajah prajurit itu dengan punggung tangan kiri sampai tubuhnya melayang berputar keluar dari panggung, kemudian mendarat di tengah kerumunan prajurit dan kepalanya membentur jalan sampai pecah.
Setelah menyingkirkan kedua orang itu, Robert mengambil kain putih yang tergeletak dan memberikannya kepada Putri Fiola. Saat tubuhnya ditutupi dengan kain putih yang diberikan oleh Robert, Putri Fiola menatap bingung sosok yang mengenakan zirah utusan kaisar itu.
Melihat wajah gadis kecil itu, Robert paham mengapa tubuhnya bergerak sendiri saat melihatnya dipermalukan oleh para orang biadab tadi. Dia mirip dengan anaknya yang bernama Fiala di kehidupan sebelumnya. Selain warna rambut, mata, dan anggota tubuh mekanik, dia benar-benar sangat mirip.
Walaupun sebagian besar tubuhnya merupakan mekanisme mesin dan bukan bagian tubuh manusia, Robert merasa kalau memang Tuan Putri itu benar-benar hanyalah seorang gadis kecil yang tidak berdaya. Wajah yang kacau, rambut putih keperakan yang kusut dan berantakkan, dan tubuh penuh goresan luka, semua hal itu membuat Robert sedikit kesal dengan para prajurit yang telah melakukan hal kejam tersebut pada gadis bertubuh kecil itu.
"Kenapa ... Anda menolongku ...?" tanya Putri Fiola sambil menatap bingung ke arah Robert.
Robert berdiri tegak dan berbalik dari Fiola. Saat pria itu sedikit menoleh ke arah gadis kecil di belakangnya, Robert menjawab, "Jika ada orang yang butuh bantuan, sudah sewajarnya kita tolong bukan?"
Jawaban tersebut menyelamatkan Fiola secara mental dan semangat hidup. Ia terkagum melihat Robert sebagai sosok penyelamat dalam segala arti hidupnya. Setelah lega melihat wajahnya, Robert kembali menatap ke arah para prajurit yang berada di bawah panggung dengan tatapan amarah.
"Hah! Apanya yang pendosa? Dia hanya gadis kecil tak berdaya. Keadilan Kaisar apanya ...? Semua orang di tempat ini hanya sampah! Mereka sama sekali tidak pantas disebut prajurit, mereka hanya binatang!"
Robert berjalan ke ujung panggung kayu dan berdiri tegak di sana. Seraya mengangkat tangan kanan tinggi-tinggi, Ia mengepalkannya dengan kencang.
Bezz!
Seketika hembusan angin kencang berhembus dari kepalan tangan itu. Suasana di tempat itu menjadi senyap. Aura hitam berkumpul pada kelapan pria itu.
Para prajurit yang berada di tempat itu tersebut kebingungan. Mereka bertanya-tanya kenapa bangsawan itu memukul dua orang prajurit sampai terlempar keluar panggung, dan malah melindungi Tuan Putri Fiola. Suasana menjadi hening, tetapi keheningan itu langsung hilang setelah seseorang berteriak.
"Apa yang kau lakukan!! Turun! Jangan mengganggu penegakan keadilan!!"
"Iya, itu benar! Turun!!"
Mendengar teriakan-teriakan tersebut, Robert menurunkan tangan kanannya yang dikepalkan.
"Keadilan? Keadilan?! Keadilan kata kalian...?" Aura hitam keluar dari sela-sela baju zirah yang Robert kenakan.
Semua orang yang melihat aura mengerikan itu merinding. Itu adalah sebuah aura yang membawa hawa dingin dan mengerikan yang serasa merasuk ke dalam setiap tubuh orang yang melihatnya.
"Kalau di dunia ini perlakuan biadab seperti ini adalah keadilan ... akan aku hancurkan semua keadilan itu sampai tak tersisa!!"
Aura hitam yang terlihat seperti kabut hitam itu dengan sangat deras keluar dari sela-sela baju zirah. Seketika semua orang ketakutan dan kebingungan, dalam teror mereka bertanya-tanya mengapa orang dengan zirah bangsawan itu mengeluarkan aura mengerikan dan membantah keadilan kekaisaran Vandal sendiri.
"Dia bukan bangsawan kekaisaran!! Dia mencuri zirah milikku!!" teriak seseorang di ujung barisan, orang itu hanya mengenakan kaos dalam dan celana pendek. Orang itu adalah pria yang zirahnya dicuri Robert.
Mendengar itu, Alice langsung panik dan menatap orang dengan baju zirah bangsawan yang berdiri di atas panggung kayu.
"Kalau begitu ... yang di atas sana siapa?"
Robert lekas melepas helm besinya, Ia tahu kalau menyembunyikan identitasnya sudah tidak ada gunanya. Beberapa prajurit yang mengetahui wajahnya berteriak.
"Di-Dia monster yang mengacau di gerbang tadi!!"
"Berisik kalian!!" teriak Robert.
Teriakan itu sentak membuat para prajurit menggigil ketakutan. Tetapi Alice berbeda, bukannya merasakan ketakutan, gadis berambut perak itu malah membuat lingkaran sihir dimensi dan mengambil sebuah pedang besar dari dalam sana. Tanpa ragu sedikit pun, gadis komandan tersebut meloncat ke arah atas kerumunan prajurit dan menggunakannya sebagai pijakan untuk sampai ke tempat Robert berdiri.
"Sialan!! Beraninya kamu melecehkan keadilan kaisar!!"
Saat masih di udara, Alice mengayunkan pedang besar ke arah Robert, tetapi hanya dengan pergelangan luar tangan kirinya, pria itu menahan serangan tersebut. Gelombang kejut tersebar ke penjuru arah.
"Apa!? Dengan tangan kosong?!"
Sebelum kaki Alice menapak ke atas panggung, Ia kembali memunculkan lima buah lingkaran sihir di udara, tepat di sekitar Robert berdiri.
"Sada! Retsial! K'tiol!!" teriak Alice, dan dari dalam lingkaran sihirnya keluar rantai dengan ujung pasak yang lurus mengarah ke Robert. Tetapi tanpa melakukan apapun, dengan sendirinya semua rantai itu tertepis oleh aura hitam yang kali ini secara sadar dikeluarkan Robert.
Trang!
Rantai-rantai melayang ke udara, tidak beraturan dan mengganggu jarak pandang mereka berdua. Alice dengan segera menggunakan rantai sebagai pijakan di udara, kemudian melesat ke arah Robert. Tetapi sebelum sempat menyerang, Robert langsung melempar wajah gadis tersebut dengan helm besi.
Bug!
Tubuh Alice terpental keluar panggung dan jatuh ke tengah kerumunan prajurit. Sesaat setelah terjatuh, Alice langsung berdiri kembali dan melotot ke arah Robert. Kornea matanya berubah merah dan aura mistis berwarna keperakan bercahaya menyelimuti tubuhnya.
"Ku bunuh kau!!"