"Beraninya kau membunuh pasukanku ...!!" ucapnya dengan penuh nafsu membunuh. Tatapan tajam Alice terarah pada pria yang berdiri di atas panggung kayu. Amarah menjadi dalih dirinya mengangkat senjata di tangannya. Ia mengusap luka pada pipi, kemudian meludahkan liur yang bercampur darah. Aura mistis keperakan pada tubuh Alice semakin membesar, menyelimutinya dan pedang perak di genggaman. Mendapat tatapan permusuhan darinya, Robert sedikit memasang ekspresi datar dan merasa sedikit bersalah karena menimpuk wajah seorang gadis. Sebenarnya Ia tidak bermaksud melempar helm pelindung padanya, tetapi karena refleks itu tak terelakkan.
"Itu sakit pastinya ya? Yah, maaf ... Aku tidak sengaja, tadi kelepasan. Tapi, untung kepalamu masih utuh," ucap Robert. Dengan postur tubuh ditegakkan, Ia melihat gadis berambut perak yang ada di bawah.
"Berisik!! Dasar sesat! Jangan sombong kau sialan!" bentak Alice. Gadis itu dipenuhi amarah yang semakin meluap. Dalam benaknya, Ia merasa hina saat mengingat kembali dirinya pernah memberi hormat kepada Robert saat iIa salah mengira kalau pria itu adalah bangsawan dari kekaisaran.
"Gawat! Dia benar-benar marah! Kalau gagal kabur bisa-bisa auto disiksa kayaknya ...."
Robert berbalik dan segera berlari ke arah Putri Fiola. Tetapi saat ia baru mengambil beberapa langkah, beberapa prajurit langsung meloncat ke atas panggung kayu dan menebas punggungnya dari belakang sampai dirinya tersungkur ke atas panggung kayu.
Bruak!
"Akh! Apa-apaan?!" Sesegera pria itu bangun, melihat ke arah dua prajurit yang menebasnya.
Anehnya, tidak seperti sebelumnya, Robert tidak merasa sakit setelah terkena tebasan tersebut. Ia pikir itu berkat baju zirah yang ia kenakan. Tetapi saat Ia melihat zirah yang dikenakan, ternyata zirah tersebut telah tertembus tebasan oleh tebasan tadi. Melihat hal tersebut seketika wajah Robert sedikit memucat.
"Te-Tembus?!! Serius, tembus!?"
Ia ingin menjerit karena kaget, sayang sekali dua orang di depannya tidak membiarkannya. Mereka kembali mengayunkan pedang ke arah Robert, tetapi kali ini berhasil dihindarinya dengan meloncat setengah meter ke belakang.
"Paling gak biarkan aku kaget dulu ...!"
Sekali lagi Ia melihat baju zirahnya pada bagian punggung yang rusak karena tebasan tadi, baik Robert atau prajurit di depannya, mereka terlihat terkejut karena tidak ada luka pada kulitnya. Robert memeriksanya dengan memegang punggung. Bekas tebasan yang merusak zirah pada bagian punggung memang sangat jelas ada, meskipun begitu kulit yang terlihat dari zirah yang rusak itu sama sekali tidak terluka dan hanya memotong pakaian yang dikenakan di balik zirah.
"Ah, berkah ini rasanya kok keterlaluan kuat ya. Eng, di dunia dengan ada orang yang bisa memunculkan senjata dari lingkaran yang fungsinya seperti kantong empat dimensi kurasa agak sedikit tidak terlalu aneh? Enggak, enggak! Aneh banget lah."
Pikiran Robert kacau untuk sesaat dan butuh waktu untuk menerima kenyataan yang ada. Tetapi setelah mengingat hal-hal fantasi dalam sebuah film-film tentang sihir, memang hal semacam itu wajar di dunia sihir. Dari apa yang dilihatnya tadi dan apa yang terjadi padanya, pria itu juga menyimpulkan kalau dunia tempatnya sekarang ini adalah dunia dimana Pedang dan Sihir eksis serta menjadi hal yang wajar.
Pria itu memasang wajah begitu tenang seraya meletakkan telapak tangan kanannya ke depan mulut. Sambil sekilas melirik para prajurit lain yang mulai menaiki panggung kayu, Ia tersenyum lebar sampai tangannya tidak bisa menutupi sepenuhnya.
"Apa yang kalian lakukan?! Cepat bunuh dia?!" ucap Alice dengan lantang.
Mengikuti perintah komandan mereka, para prajurit yang jumlahnya sampai ratusan orang lebih tersebut mulai naik satu persatu dan menyerbu Robert. Dari luar balai kota, ratusan prajurit lainnya mulai berdatangan dengan berbondong-bondong dengan senjata dan tongkat yang merupakan alat sihir.
Melihat semua itu, adrenalin membuatnya tersenyum penuh semangat di tengah situasi genting tersebut. Jantungnya berdebar kencang dan membuatnya teringat masa mudanya dulu. Dengan lincah Ia membuat gerak tipu seperti ingin berlari ke arah Fiola untuk memancing musuh, dan saat salah satu prajurit mengayunkan pedang ke arahnya, Robert menghindarinya dan memukul telak pada wajahnya. Helm prajurit tersebut hancur dan tubuhnya melayang menubruk barusan prajurit yang baru naik.
"Jangan jauh-jauh!" ucap Robert.
"Tu-Tuan....?!" Fiola gemetar melihat senyum Robert yang seakan menikmati situasi yang ada.
Saat ayunan tombak datang dari arah kiri pria tersebut, Ia menahannya dengan lengan kiri dan membuat pelindung lengan terpotong, tetapi tangannya masih utuh dan sama sekali tak terluka.
"Sudah aku duga, tubuhku sekuat baja! Tidak, mungkin lebih kuat ... mungkin!"
Robert meloncat pendek ke kanan, kemudian melepaskan pelindung tangan yang rusak dan melemparnya ke arah prajurit tadi. Itu tepat mengenai wajahnya dan merontokkan beberapa giginya. Sebelum ambruk, Robert berlari ke arahnya dan mencengkeram wajahnya, kemudian melemparkan ke barisan prajurit di atas panggung. Mereka roboh dan terjatuh ke bawah.
Seketika mental dan keberanian para prajurit menurut melihat kekuatan fisik pria tersebut. Tetapi rasa takut beberapa prajurit saja tidak mengetahui prajurit lainnya yang jumlahnya mencapai seribu lebih. Dibawa aba-aba pedang yang diangkat Alice, mereka menyerbu dengan penuh rasa percaya diri akan kebenaran. Itu wajar, saat bertindak atas nama negeri, kebanyakan orang akan bertindak tanpa benar-benar memikirkan landasan mereka.
Setiap kali pedang yang diayunkan ke arahnya, Robert dengan mudah menghindarinya. Dari kanan, kiri, atas, dan bahkan belakang, semua serangan dihindari dengan sempurna. Insting pria itu berubah sangat tajam dan gerakannya menjadi lincah, tidak ada satu pun ayunan pedang atau tusukan tombak yang berhasil mengenainya.
"Ini hebat ... saat fokus, gerakan mereka terlihat seperti Slow Motion...."
Sembari menghindari ayunan dan tusukan senjata, Robert melancarkan tinju dan membuat gelombang kejut yang mendorong kencang para prajurit. Sadar kalau hal tersebut tidak efektif, dirinya menghajar lantai panggung dan membuat sebagian ambruk sehingga para prajurit terjatuh. Meskipun begitu, jumlah mereka tidak berkurang dan malah semakin banyak.
"HUH, mereka semut atau apa memangnya ...."
Robert berlari ke arah Fiola. Tanpa memberitahunya terlebih dahulu, Robert membopong tubuh Tuan Putri berbadan kecil itu dengan kedua tangannya, kemudian berlari ke arah belakang panggung kayu. Sayangnya di belakang panggung juga dipenuhi oleh para prajurit kekaisaran Vandal dengan perlengkapan perang lengkap. Dari arah kanan, kiri, depan, dan belakang, semua arah dipenuhi para prajurit kekaisaran. Panggung yang dibuat seadanya mulai mengeluarkan suara aneh dan bergoyang seperti akan ambruk.
"Tu-Tuan ....?" Putri Fiola terlihat kebingungan karena tiba-tiba dibopong. Robert menghiraukannya, pria itu terlalu fokus memikirkan cara keluar dari kepungan para prajurit.
Sepuluh prajurit datang ke padanya dengan variasi senjata jarak dekat seperti pedang, kapak perang, palu perang, dan bola besi berduri yang dipasangi rantai. Saat Robert masih memikirkan cara untuk kabur, salah satu prajurit melemparkan bola besi berduri ke arahnya.
"Cih!" Robert berputar dengan kaki kiri sebagai tumpuan untuk menyelesaikan posisi dan mendapat momentum, kemudian menendang bola besi berduri tersebut ke arah kerumunan prajurit yang menghadang.
Saat itu kengerian terjadi. Bola besi berduri tersebut pun hancur dan serpihannya melesat kencang ke arah para prajurit dengan daya hancur lebih dari perkiraan Robert. Layaknya shotgun berkaliber tinggi, serpihan itu menembus zirah dan daging mereka. Tubuh dengan lubang-lubang menganga adalah hasil dari ketidaksengajaan Robert.
Semua orang yang melihat itu terkejut sekaligus takut. Di antara mereka, yang paling terkejut sekaligus takut adalah Robert sendiri. Ia tidak mengira kalau tendangannya bisa berdampak separah itu. Setelah sepuluh prajurit di depan Robert rubuh, ternyata dampak tersebut lebih parah lagi. Tepat di belakang mereka, puluhan prajurit lainnya juga terkena serpihan besi yang melesat dengan sangat kencang tadi. Lebih dari dua puluh prajurit mati saat itu juga.
Tepat di antara para prajurit yang gugur, Alice berdiri dengan pedang perak besar digunakan sebagai perisai. Melihat pemandangan mengerikan di atas panggung yang seharusnya digunakan untuk mempermalukan Fiola, komandan pasukan itu langsung murka.
"Sialan! Aaaakh! Beraninya kau!" Alice langsung mengulurkan kedua tangannya ke depan dan membuat lingkaran sihir, kemudian memasukkan pedang besar ke dalamnya. Tanpa memedulikan sekitarnya Alice langsung berlari ke arah Robert, lalu meloncat setinggi mungkin menggunakan lingkaran sihir sebagai pelontar.
"Tu-Tunggu! Itu tidak sengaja!" ucap Robert dengan panik melihat gadis itu meloncat setinggi sepuluh meter lebih.
"Berkah Ilahi, Seluruh Senjata Sihir!"
Sebuah lingkaran sihir raksasa muncul di atas gadis berambut perak yang sedang melayang di udara. Lingkaran tersebut terdiri dari gabungan beberapa lingkaran sihir dengan kombinasi rumit dan padat berwarna keperakan.
"Palu Hukum, Castigo!"
Alice memasukkan tangannya ke dalam lingkaran sihir raksasa, kemudian menarik gagang dari sebuah palu perak raksasa yang ukurannya melebihi panggung kayu. Palu itu memiliki ukiran yang unik, serta aura cahaya perak yang bersinar terang dari martilnya.
"Eh?!" Robert menganga melihat ukuran senjata tersebut, begitu juga Fiola yang ada di bopongan Robert.
"Gadis itu gila! Di sini masih ada anak buahnya! Apa dia tidak peduli?!"
Tanpa berpikir dua kali Robert segera menurunkan Putri Fiola ke atas panggung kayu, kemudian langsung memasang kuda-kuda untuk memukul palu raksasa tersebut. Alice yang masih di udara memanfaatkan gaya gravitasi untuk menjatuhkan palu itu tepat ke arah panggung kayu tempat Robert, Tuan Putri Fiola, dan beberapa orang lainnya berada.
Saat palu raksasa itu akan hampir meremukkan semua orang yang ada di atas panggung kayu, Robert mengepalkan tangan kanannya. Pada kepalan tangan tersebut keluar sebuah aura hitam yang amat mengerikan. Dengan cepat udara di sekitarnya menghangat dan tekanan udara terpancar dari tubuh pria itu. Rambutnya terangkat dan berkibar. Sekilas aura hitam juga ikut menyelimuti tubuhnya dan mengubah warna rambut pria tersebut dari pirang menjadi hitam pekat sepenuhnya. Kornea mata pria berambut hitam itu berumah merah darah dan dipenuhi hawa mengerikan.
"Mati!!" teriak Alice, ia menambah tenaga ayunan palu raksasanya.
"Khaa!"
Saat palu tersebut masuk dalam jangkauan, Robert memukulnya dengan tinju berselimut aura hitam. Tek! Saat pukulan itu menyentuh palu raksasa berwarna keperakan tersebut, seketika dan sesaat aura hitam menelan seluruh kepala palu. Waktu seakan berhenti saat itu di mata Robert. Saat dirinya menarik tinjunya menjauh, terdengar suara retakan yang sangat keras dan pada saat bersamaan palu raksasa tersebut hancur berkeping-keping menjadi debu dan tersebar ke penjuru arah, kemudian menghilang tertiup angin.
Alice menganga melihat apa yang terjadi. Gagang palu yang masih dipegang Ia lepaskan dan tubuhnya mulai melayang jatuh tepat ke arah Robert. Melihat pria itu menyiapkan tinjunya kembali, Alice menutup matanya dengan ketakutan dan pasrah.
"Apa aku akan mati di sini ...? Padahal aku belum hidup lama di dunia ini ...."
Alice salah paham, kepalan tangan Robert itu bukan untuk memukul dirinya melainkan untuk memukul beberapa senjata yang berjatuhan dari lingkaran sihir dimensi penyimpanan milik Alice yang masih terbuka lebar.
Pukulan Robert melewati Alice dan menyerempet pipinya, lalu membuat hempasan angin yang sangat kuat yang seketika menerbangkan puluhan senjata yang berjatuhan, dan gelombang kejutnya menghancurkan lingkaran sihir raksasa yang ada di udara.
Saat Alice membuka matanya, Ia sadar bahwa tinju pria itu tadi sama sekali tidak ada niat untuk melukainya dan malah bermaksud untuk melindunginya. Tubuh gadis berambut perak itu jatuh ke dalam pelukan pria berwajah murung tersebut.
Untuk sesaat wajahnya memerah. Alice merasakan sesuatu yang aneh pada dirinya, gadis berambut perak itu lekas meronta-ronta dan memukul-mukul Robert.
"Le-Lepaskan aku! Le⸻"
Robert memukul bagian belakang leher Alice dan membuatnya pingsan.
"Huh, semangat sekali nih gadis ...."
Setelah menghela napas, Robert menurunkan Alice ke atas lantai panggung kayu yang sudah benar-benar mau roboh. Melihat komandan mereka dikalahkan dengan mudah, mental ratusan prajurit yang mengelilingi mereka mulai runtuh dan mulai ragu untuk menyerang.
"Wah, tidak heran mereka ketakutan. Jujur, aku juga takut dengan diriku sendiri ... Serius ini? Masa aku bisa menghancurkan palu raksasa tadi hanya dengan pukulan? Memang aku manusia tokoh utama dalam film super hero apa? Hah! Beneran gak lucu ...."
Robert melepas seluruh zirah yang dikenakannya, lalu meregangkan tubuh dan hanya mengenakan kemeja putih compang-camping dengan bawahan celana hitam panjang. Ia berjalan ke arah Putri Fiola, lalu membopongnya seperti halnya pahlawan yang telah menyelamatkan seorang tuan putri.
"Sekali-kali berlaga seperti ini gak masalah. Hem, tapi ... kalau aku sekuat pahlawan super dalam film, apa aku juga bisa terbang? Hah, mau coba sekalian apa ya?"
Sekali lagi pria itu berpikir sesuatu seperti bukan dirinya karena tidak bisa menerima kenyataan diluar akal sehatnya. Robert sedikit membayangkan dirinya terbang di udara. Tetapi karena ia sedikit mengidap phobia ketinggian, Ia malah merasa merinding karena imajinasinya sendiri.
"Yah ... soal kekuatanku, nanti saja. Sekarang yang utama kabur."
Robert melihat sekeliling tempat itu, di mana dirinya dan Putri Fiola dikepung oleh para prajurit yang jumlahnya seribu lebih. Walaupun dengan kemampuan fisiknya yang kuat berkat Berkah dari Dewi Violence, dirinya sedikit ragu bisa mempertahankan kewarasannya saat melawan mereka semua. Terlebih lagi, sekarang dirinya mendapat beban untuk dilindungi.
"O-Oi ...! Bisakah kalian semua memberikan kami pergi!? Aku tidak mau melukai kalian," ucap Robert dengan suara sedikit kaku. Mendengar itu, para prajurit yang ketakutan menurunkan senjata mereka dan hendak menyingkir untuk membuat jalan untuk kedua orang itu.
"Apa yang kalian lakukan?! Kalian mencoreng nama baik kaisar!! Bunuh dia! Bunuh orang sesat itu!!" ucap bangsawan yang baju zirah dicuri Robert. Bangsawan tua itu terlihat murka dan menunjuk ke arah Robert dengan histeris. Mendapati perlakukan tidak mengenakan itu, alis kiri Robert terangkat karena sedikit kesal.
"Masih hidup toh, apa sekalian .... Tidak, sekarang yang penting kabur. Kalau ada pasukan tambahan atau semacamnya bisa gawat."
Tanpa Robert hendaki, aura hitam yang mengerikan mulai keluar dari tubuhnya dan mulai menyelimutinya. Seluruh tempat itu kembali diisi teror karena sosok pria itu.
"Ah ...? Keluar lagi .... Apa ini keluar kalau emosiku melonjak? Ya, sebenarnya emosiku apa selabil ini ya?" Robert terkejut, tetapi pada saat itu juga dirinya paham kalau aura hitam tersebut bisa dikendalikan dengan sangat mudah.
"Hem, begitu rupanya ...."
Robert berusaha menenangkan dirinya, dan aura hitam itu pun perlahan menghilang seperti kabut hitam yang perlahan pudar.
"Jujur aku belum tahu tujuan dewi itu mereinkarnasikanku di dunia ini .... Ditambah lagi, kenapa harus di daerah yang sedang konflik seperti ini? Yah, untung tidak dia tidak cukup kejam untuk tidak memberikan aku bekal kekuatan di dunia ini, sih ...."
Robert menutup matanya, lalu mulai berusaha mengontrol aura hitam yang sering keluar dari tubuhnya itu. Ia mengeluarkan aura hitam dengan jumlah sebanyak mungkin, lalu mengumpulkannya pada kedua kakinya. Aura tersebut memusat, tidak terlihat seperti kabut tetapi lebih mirip seperti api hitam pekat yang melekat pada kaki.
"Oooh, berhasil. Mudah sekali toh ...."
Robert melihat ke arah Putri Fiola yang berada di atas kedua tangannya, lalu tersenyum kecil. "Pegangan yang erat," ucap Robert.
Mendengar itu hal tersebut, Putri Fiola melingkarkan kedua tangannya ke bagian belakang leher Robert dan memeluknya dengan erat seakan dirinya sudah tahu apa yang akan dilakukan pria itu. Robert sedikit terkejut saat tangan sintetis Fiola menyentuh lehernya. Ia melihat Fiola dengan tatapan datar dan tidak berkata apapun.
"Ada ... apa?" tanya Putri Fiola.
"Tak ada." Robert sempat terkejut mendengar suara merdu Putri itu dari dekat, tetapi hal itu tidak terlihat dari ekspresi pria itu. "Kalau bisa, tutup matamu dan tunggu sampai aku boleh bilang buka," lanjut pria itu dengan suara kalem.
"Hem." Putri Fiola mengangguk, dan langsung menutup matanya rapat-rapat. Saat itu Tuan Putri mengira kalau Robert akan berlari menerjang para prajurit, tetapi Ia salah paham. Sekilas Robert merasa bersalah melihat ke arah Alice yang tergeletak tidak sadarkan diri dan para prajurit yang telah tiada, tetapi pada akhirnya Ia paham kalau itu tidak bisa dipungkiri. Di saat ingin menolong seseorang pasti ada yang harus ditinggalkan, setiap individu memiliki batasnya dalam menolong orang lain, itulah cara pandang yang ada pada Robert.
Setelah menghela napas ringan, pria itu melihat ke arah langit kemudian memasang kuda-kuda meloncat dengan menggunakan kaki berselimut aura hitam sebagai tumpuan utama. "Baiklah ... mari kita mulai loncatan supernya!" ucap pria itu. Pada timing yang tepat, sinkronisasi aura hitam dam loncatan membuatnya meloncat sangat cepat dan tinggi di udara.
Duaskh!!
Hempasan angin dari loncatan tersebut sampai membuat panggung kayu hancur dan beberapa puluh prajurit di sekitarnya terpental. Robert pergi membawa Putri Fiola melayang tinggi di udara dengan loncatan super setinggi ratusan meter tersebut. Saat berada di udara, Robert sedikit merasa aneh. Seharusnya dirinya itu sedikit phobia ketinggian dan Ia sudah bersiap untuk ketakutan saat melayang di udara, tetapi anehnya sekarang dirinya sama sekali tidak merasakan ketakutan.
"Begitu ya, ... jadi kebal terhadap segala jenis kelainan dan penyimpangan juga termasuk kebal dengan Phobia toh ...."
Fiola perlahan membuka matanya karena merasakan tekanan angin yang saat kaut. "Kyaaa!" jerit Fiola dengan kaget menjumpai dirinya terbang beberapa ratus meter di udara. Putri itu sangat ketakutan melihat permukaan tanah yang sangat jauh di bawah sana.
"A ... sudah aku bilang jangan buka matamu dulu ...."
"Ke-Kenapa kita ada di sini? Te-Terbang?" tanya Putri Fiola dengan gemetar.
"Tidak, aku loncat."
"Loncat?!" Putri panik. Ia tahu kata loncat tersebut akan berujung dengan jatuh dan bukan mendarat.
"Tenang saja ... kita akan baik-baik saja."
"E-Eh ...? Kita benar-benar jatuh, 'kan? Kita bisa saja mati ...!"
"Tenang saja, aku akan melindungimu ... dan juga, aku tidak akan mati kok, kalau jatuh dari ketinggian ... mungkin."
"Mungkin?!"
"Yah, tenang saja ... semuanya pasti baik-baik saja ... mungkin."
Mendengar kata itu kembali, raut wajah Putri Fiola menjadi ragu dan sedikit khawatir akan nasibnya nanti. Mereka melayang di langit kerajaan Armenia yang hancur bagaikan sepasang burung, tetapi karena tidak memiliki sayap tentu saja mereka akan jatuh.