Chereads / Dark Fantasia / Chapter 8 - [Skyrius 05] Hunting and Gathering

Chapter 8 - [Skyrius 05] Hunting and Gathering

Robert berjalan cepat di dalam hutan. Hanya dengan cahaya rembulan sebagai penerangan yang masuk melalui sela-sela dedaunan, Ia dengan putus asa berlari mencari tanaman herbal untuk menurunkan demam yang diderita Fiola. Pria itu mencari ke beberapa bagian bawah pohon, di antara rerumputan, dan di balik batu, dengan tergesa-gesa dan dalam pikiran kacau. Ia mencari dari satu tempat ke tempat lain, di bawah penerangan yang terbatas dan jarak pandang pendek. Tetapi, walaupun Ia mencari sekeras apapun, di tempat itu sama sekali tidak ada tanaman obat yang bisa Ia gunakan. Hanya rumput liar dan akar pohon yang ada.

"Sialan! Kenapa kebanyakan yang ada cuma tanaman tak berguna! Masa tidak ada sih, ... tanaman yang bisa digunakan untuk obat."

Robert bersandar pada salah satu pohon sambil menutup matanya dengan lengan kanan, dikuasai amarah akan rasa ketidakberdayaan yang mengingatkannya akan masa lalu yang kelam. Saking kesalnya, Ia sampai memukul tanah berulang kali sampai berlubang dan pohon di dekatnya sampai tumbang.

Saat pria itu bangun dan hendak mencari tanaman herbal kembali, sebuah anak panah dengan ujung kayu runcing tiba-tiba melesat ke arahnya dan ujung besi berkarat tepat mengenai kepalanya. Suaranya terdengar jelas tepat sasaran, tetapi anehnya anak panah itu malah hancur tanpa menggores kulit Robert sedikit pun. Dalam amarah, pria itu menyeringai dalam kegelapan. Aura hitam mulai menyelimuti tubuhnya dan membuat layu rerumputan tempatnya berdiri.

"Sialan, siapa tadi ...? Jangan macam-macam ....! Kau ingin aku tenggelamkan dalam kegelapan ya?!"

Dengan raut wajah murka, Ia mencari sosok yang tadi menembakkan anak panah dari kegelapan. Dalam pencahayaan terbatas matanya memang dapat melihat dengan cukup baik, tetapi sayangnya Ia tidak bisa menemukan sosok yang tadi melesatkan anak panah kayu ke arahnya.

"Cih! Padahal lagi buru-buru, kenapa malah ada masalah segala! Kalau seperti ini, sesuai klise pasti aku diserang sama monster."

Pria itu menutup wajahnya dengan telapak tangan kanan dan kembali tersenyum dalam rasa kegilaan, memikirkan sesuatu yang mudah ditebak seperti sekarang benar-benar terjadi pada dirinya.

"Khaha!! KONYOL!"

Setelah mengangkat tangan dari wajah, pria itu menghela napas dan menenangkan diri. Ia berpikir setenang genangan air tanpa riak di permukaannya.

"Ya, ini lebih baik daripada diserang bandit."

Tanpa aba-aba, Robert langsung berputar lalu menendang pohon di belakangnya sampai tercabut dari akarnya dan terlempar ke udara. Pohon itu melayang dan jatuh membentur salah satu pohon lain sampai tumbang. Suara gaduh saat itu terjadi terdengar cukup keras dan membuat burung dan hewan yang tertidur terbangun.

"Kalau mau petak umpet, akan kuladeni kalian....! Jangan khawatir, akan menemani kalian bergadang dengan senang hati!"

Robert berlari ke depan, lalu kembali menendang pohon lain sampai tumbang, setelah itu dilanjutkan dengan tendangan berputar ke arah pohon lainnya dan menendangnya lagi sampai tumbang. Pria dengan telanjang dada itu terus menendang dan terus menumbangkan pepohonan seraya berjalan. Tanpa memikirkan alam, tanpa memikirkan penghuni hutan tersebut, dan dengan atas dasar amarah.

"Khaha! HA! Keluar kalian!"

Ia berhenti menumbangkan pohon. Sambil berdiri tegak dan memandang rembulan dari tengah hutan yang telah digundulinya, pria itu tersenyum lebar dan puas seperti seseorang yang baru saja melepaskan stres dengan menghajar samsak tinju.

"Hah! Untung sekarang malam. Ya, mal⸻"

Tang!

Tiba-tiba sesuatu yang terasa seperti besi menghantam kepalanya. Robert sempat terdorong ke depan. Saat Ia berbalik dan melihat sosok yang memukulnya, Ia dipukul dengan sebuah kapak perang yang terbuat dari besi tepat di kepalanya.

Tang!

Sensasinya sama seperti pertama Ia dipukul. Tetapi, kali ini kapak perang itu patah dan berputar di udara sebelum jatuh menancap pada batang pohon yang telah tumbang. Robert mengangkat wajahnya dan melihat jelas sosok di hadapannya itu. Tepat di depannya, seekor monster setinggi hampir tiga meter berdiri tegak, kulitnya hijau, memiliki taring yang mencuat dari mulut dan memiliki perawakan sangat kekar. Dia mengenakan pakaian kulit babi hutan dan sabuk dari serat tanaman merambat. Monster itu adalah Ogre.

"Kurasa bukan monster ini yang memanah tadi. Dia ..., otaknya mungkin tak cukup besar untuk melakukan hal seperti itu."

Mungkin sekarang bagi Robert untuk merasa ketakutan adalah hal yang sangat wajar. Tetapi, anehnya perasaan tenang dan pikiran yang jernih membutanya tetap berdiri tegak tanpa gentar.

Ogre itu membuang gagang kapak perangnya yang patah, lalu bersiap untuk menghajar Robert. Menyadari sikap tubuh monster itu yang bersiap memukul dengan tangan kanannya, Robert bersiap menghindar dengan gerakan minimal. Tetapi, insting dan kecepatan monster itu diluar perkiraan. Gerakan itu hanya gerak tipu semata, dan sebuah pukulan tangan kiri di lancarkan pada titik buta dan tepat mengenai perut Robert.

BUUG!

"Ugh!" Tubuh Robert berputar ke udara dan terpelanting di tanah dengan keras. Saat akan diinjak monster tersebut, Robert berguling menghindar dan langsung bangun kemudian meloncat menjauh.

"Walau rasa sakit diminimalisir berkat Berkah yang ada, tapi tetap saja rasa sakitnya tidak hilang sepenuhnya ya," pikir Robert. Ia sedikit meregangkan jemari tangan kanannya dan menatap tajam ke arah monster di hadapannya.

"Ya, aku tidak minta lebih sih," ucapnya dengan nada santai. Robert memasang kuda-kuda bela diri Systema yang pernah dipelajarinya saat masih muda. Bela diri tersebut adalah gaya bebas yang hanya memusatkan pada pengendalian enam ruas tubuh dari leher, siku, lutut, pinggang, sendi dan bahu, serta dalam pertarungan menitik beratkan pada titik tekanan gravitasi dan berat tubuh, pukulan, dan kombinasi senjata militer seperti pisau.

[Catatan: Systema: merupakan bela diri asal Rusia. Merupakan teknik bela diri yang sering digunakan dalam lingkup militer negara tersebut]

"Ayo, maju! Dasar sialan!"

Robert memprovokasi monster itu. Saat monster itu akan memukulnya dengan tangan kanannya, di mata Robert pukulan monster itu kali ini terlihat lambat. Ia menghindarinya, lalu melancarkan pukulan balasan pada bagian siku dan mematahkan sendi lengan kanan Ogre itu.

Monster tersebut terlihat panik saat tangannya patah. Tanpa memedulikan itu, Robert menginjak kaki monster tersebut dan membutanya kehilangan keseimbangan, lalu mendorongnya sampai jatuh. Tanpa ragu-ragu, pria dengan tatapan mati itu langsung loncat ke atas monster tersebut dan menginjak kepalanya sampai pecah.

Craks!

Darah dan daging mengotori kedua sepatu kulitnya. Ia segera pergi dari atas kepala pecah itu, lalu melepaskan kedua sepatu kotor tersebut dan membuangnya jauh-jauh.

"Uwah ..., menjijikkan."

Setelah mengalahkan Ogre tersebut, kawanan yang bersembunyi di bagian hutan yang pohonnya tidak tumbang mulai keluar dari persembunyian. Monster-monster itu terdiri dari beberapa Ogre, dan puluhan Goblin, sejenis monster berkulit hijau tetapi memiliki tubuh yang pendek.

Beberapa diantara mereka langsung berlari ke arah Robert dan menyerangnya, tatapi sekali lagi serangan mereka tidak berarti. Senjata mereka yang terdiri dari senjata rampasan seperti pedang berkarat, bola besi berduri yang sudah hampir rusak, dan beberapa senjata bekas lainnya, semua itu hancur dengan sekali ayunan tangan pria tersebut. Menyadari serangan tidak mempan, para monster itu mulai melangkah mundur dengan ketakutan.

Robert tersenyum gelap melihat mereka semua, menikmati sensasi menatap makhluk yang lebih rendah dari dirinya. Tak ingin membiarkan mereka pergi karena berpotensi membawa masalah lain, Robert dengan sangat cepat berlari menerjang. Dari monster paling dekat, Ia mencengkeram kepala Goblin dan membanting wajahnya ke batang pohon yang tumbang sampai pecah.

Tanpa membiarkan mereka melawan balik ataupun kabur, Robert segera mengangkat batang kayu besar dan mengayunkannya ke arah para monster. Suara tulang remuk dan darah yang muncrat dari mulut terdengar bagaikan melodi kematian, sebuah orkes tak beradab dan penuh darah. Beberapa monster yang masih hidup gemetar ketakutan. Mereka berhenti sesaat, kemudian berlari ke dalam hutan dan kabur dari pria berambut hitam tersebut.

"Teruslah berlari! Sampai di sarang kalian. Saat itulah, aku akan menghabisi kalian. Jangan pikir aku akan memberikan kalian lolos dengan mudah setelah membutaku kesal, dasar makhluk dekil!"

Sambil tersenyum gelap, Robert berjalan mengikuti pada kawanan monster yang berlari ke dalam hutan. Lalu, tepat seperti apa yang dikatakannya, pria itu mengubah sarang para monster tersebut menjadi kuburan bagi mereka sendiri. Sebuah pembantaian satu arah yang sangat sepihak terjadi pada malam itu.

««»»

Pagi harinya. Sinar matahari mula menyinari rerumputan dan pepohonan. Embun pagi perlahan menetes dari dedaunan pepohonan yang tumbang. Karena beberapa alasan, pohon-pohon di hutan yang tadinya berjejer rapi, sekarang beberapa pohon dari hutan yang berbatasan langsung dengan padang rumput porak-poranda di atas tanah. Kalau dihitung, jumlahnya sekitar 35 sampai 40 pohon.

Saat matahari mulai menyinari Fiola yang tertidur di samping api unggun yang menjadi arang, Ia terbangun dan mulai melihat sekeliling dengan setengah tertidur. Di sekitar tempatnya, terlihat beberapa buah kelapa yang telah terbuka, dan hanya airnya saja yang hilang sedangkan daging buahnya utuh.

"Hem ... kenapa saya berada di luar? Bukannya saya⸻"

Saat melihat kondisi hutan yang kacau balau, seketika Fiola tercengang dan sadar seketika. Pikirannya mulai berpikir dengan cepat dan mencari tahu jawaban akan rasa bingungnya.

"Ah, ini pasti mimpi. Tidur lagi ah~"

Fiola membaringkan dirinya kembali ke atas rerumputan dan berusaha tertidur kembali, tetapi rasa penasaran gadis itu lebih mendominasi dan membuatnya tidak bisa tenang. Ia pun bangun kembali. Ia berdiri sambil menutupi tubuhnya dengan selebar kain putih, tetapi saat Ia melihat kemeja putih yang terjatuh saat dirinya berdiri, Ia teringat kejadian saat malam.

"Be-Benar! Tuan Robert! Di mana dia?" Fiola panik. Matanya mencari pria itu ke sana kemari, tetapi tetap tidak ada tanda-tanda orang berwajah sedikit suram tersebut di sekitar tempat itu. Menyadari orang itu tidak ada di sekitar sana, Fiola dengan panik berlari masuk ke dalam hutan yang bagian depannya sudah porak-poranda.

"Tuan Robert ..., saya mohon jangan tinggalkan saya...."

Gadis itu terus berlari dengan telanjang kaki masuk ke dalam hutan. Ia tidak memedulikan ranting-ranting pohon yang terjatuh di atas tanah dan menggores kakinya. Saat dirinya berjalan melewati bagian hutan yang benar-benar porak-poranda, di sekitar tempat itu terlihat beberapa mayat Goblin dan Ogre yang bentuknya sudah tidak karuan.

"A-Apa ini? Kenapa ada banyak mayat monster di tempat ini ....?

Fiola ketakutan dan berpikir untuk menunggu saja di luar hutan. Tetapi, saat Ia berpikir kembali bahwa tidak ada jaminan kalau pria itu tak akan meninggalkannya, pada akhirnya gadis bertubuh kecil itu melanjutkan langkah kaki masuk ke dalam hutan. Ia melewati jalan yang kasar, dedaunan kering yang berjatuhan, ranting-ranting muda yang terjatuh di tanah, dan batu-batu kerikil yang cukup tajam. Fiola terus mencarinya di dalam hutan, di antara barisan pepohonan, dan melihat ke atas cabang-cabang pohon yang tertutup dedaunan, berharap sosok burung yang sedang hinggap adalah pria itu yang sedang bergurau dan bersembunyi darinya. Tanpa ia sadari, dirinya telah masuk terlalu dalam sampai lupa jalan yang telah dilewati.

"Eh, di mana saya....?"

Raut wajahnya berubah takut. Di sekeliling gadis itu hanya ada pepohonan besar dengan tinggi sekitar 7 sampai 12 meter dan berdaun lebat yang sampai menghalangi sinar matahari sampai ke permukaan.

Sekilas, Fiola mendengar sesuatu yang bergerak di antara dedaunan pohon, dan itu membuatnya panik. Ia langsung mempersiapkan sihirnya dan menunggu suara tersebut terdengar kembali. Gadis itu langsung memulai rapalan sihirnya dengan cepat.

"Wahai Roh Api, aku memohon padamu dan dengarkan perintahku, atas nama satu dari lima elemen dasar, memburu untuk hidup, maka pinjamankanlah kekuatan untuk memanah hewan buas ...."

Terdengar suara dedaunan yang bergerak di dalam dedaunan. Ia langsung berbalik dan langsung mengulurkan tangan kanannya ke arah dedaunan pohon tersebut.

"Burning Arrow!!"

Lingkaran sihir tercipta dan anak panah api merah membara langsung melesat dari dalamnya. Panah api itu langsung membakar dedaunan pohon tersebut, tetapi saat itu terjadi sesuatu yang aneh. Beberapa detik setelah dedaunan itu terbakar, hembusan angin kencang tiba-tiba tercipta dari tempat itu dan memadamkan apinya.

"Ooi, oi, kejam sekali. Main lempar api kayak gitu."

Suara tersebut terdengar tidak asing bagi Fiola. Saat sosok yang berdiri di atas cabang pohon itu meloncat turun, ternyata orang itu tidak lain adalah Robert. Pria itu telanjang dada dengan penampilan kotor dan berbau sedikit amis.

Seketika raut wajah Fiola terlihat seperti akan menangis. Dalam hatinya Ia merasa sangat lega bisa bertemu dengan orang itu lagi.

"Bodoh ...!" ucap Fiola. Ia langsung berlari ke arah Robert dan memeluknya. Ia langsung menangis sampai ingusnya keluar. "Dari mana saja sih?! Saya khawatir tahu!" ucapnya sambil terus memeluk Robert.

"Hem, kalau kamu sudah sesemangat itu, aku rasa kamu sudah lumayan pulih. Tapi, kejam sekali memanggilku bodoh."

Mendengar perkataan Robert, Fiola sedikit kebingungan. Ia melepaskan pelukannya dan mundur dua langkah, kemudian mengusap ingusnya dan air matanya. Fiola menatap Robert dengan sedikit memiringkan kepalanya dan memasang ekspresi bingung.

"Sembuh ...?"

"Hem ..., apa kamu tidak ingat? Kamu demam parah loh tadi malam. Jujur aku kira kamu tidak akan selamat."

"Tidak ..., kalau soal demam, saya ingat. Tapi ..., apa Anda yang menyembuhkan saya?" tanya Fiola.

"Hem, ya begitulah. Jujur mencari tanaman obat di hutan sangat sulit, ditambah lagi banyak monster." Robert sedikit memalingkan wajahnya dan memasang wajah sedikit kecewa akan sesuatu.

"Heh, aku tidak mengira kalau Goblin dan Ogre itu sangat pengecut. Padahal lumayan untuk latihan kontrol Aura Hitam, tapi kalau hanya seperti mereka itu tidak memuaskan," pikir Robert.

"A-Apa Anda yang membunuh mereka?" tanya Fiola dengan sedikit gemetar mengingat mayat-mayat monster yang sebelumnya dilihatnya.

"Tidak semua ..., hanya beberapa saja. Mereka sebagian kabur."

"Anda benar-benar membunuh mereka ...." Fiola sedikit menatap takut Robert. Diamati kembali, kedua tangan pria itu memiliki beberapa bercak darah yang terlihat segar dan pada celananya juga.

"Mau bagaimana lagi. Saat aku mencari tanaman obat di hutan, tiba-tiba mereka menyerangku. Bukan salahku kalau mereka aku bunuh." Robert menyembunyikan kedua tangannya yang terdapat bercak darah ke belakang punggung, lalu memalingkan pandangnya.

"Oh, iya... dari pada membahas itu, apa kamu benar-benar sudah baikkan?" tanya Robert sambil melihat ke arah Fiola dengan tatapan datar.

"Hemp! Saya sudah baikan! Bahkan lebih baik dari semalam!" ucap gadis itu dengan ceria. "Memangnya apa yang telah anda lakukan? Apa anda memberiku obat tradisional atau semacamnya?" tanya gadis itu kembali.

"Hem, bukan. Aku hanya meminumkan air kelapa muda kepadamu. Itu hanya sedikit trik tradisional dari dokumen yang pernah aku baca."

"Air kelapa muda ...? Memangnya air dari kepala bisa menyembuhkan demam? tanya Fiola dengan raut wajah bingung.

"Bukan menyembuhkan, hanya menurunkan saja. Aku tidak bisa menjelaskannya secara kedokteran sih, tapi air kelapa bisa berkhasiat untuk menurunkan demam, mengobati keracunan, dan lain-lain."

Robert sedikit memalingkan wajahnya dan memasang ekspresi wajah sedikit bersalah.

"Saat mencari tanaman obat di hutan, aku tidak bisa menemukannya sih. Untunglah saat masuk lagi ke daerah sarang monster aku menemukan pohon kelapa. Yah, meskipun harus ada pesta darah di sana sih."

"Maafkan Saya, Tuan Robert ...."

"Heh, kamu malah minta maaf?"

"Rasanya ... saya terus merepotkan ...."

"Tidak apa, kok. Fiola tidak selalu merepotkan, kamu juga membantu banyak hal. Ingat, kamu kan membuat api unggun."

"Tapi, Anda sama sekali tidak menggunakannya, bukan? Anda tahan dingin ya 'kan? Bahkan Anda semalaman tanpa baju juga tidak apa-apa." Fiola menatap Robert sambil memasang wajah bersalah. Mendapat tatapan seperti itu, Robert memalingkan wajahnya dan sedikit menghela napas.

"Kenapa gadis ini terobsesi pada bisa berguna atau tidak sih? Apa itu akal sehat dunia ini?"

Robert kembali menatap gadis itu, lalu mengelus kepalanya. "Sungguh tidak apa, kok. Kamu bisa bergantung padaku. Lagi pula, merawatmu tadi malam bukan hal yang sulit, kok ... kecuali satu hal," ucapnya dengan suara ringan.

"Heh?" Fiola terkejut. Ia menatap Robert dengan penasaran akan hal yang membuat pria itu kesulitan saat merawat dirinya. "Apa itu?! Apa yang membuat Anda kesulitan?!" tanya Fiola dengan penuh rasa penasaran.

"Yah, bukan sulit, sih ... lebih tepatnya repot." Robert sedikit memalingkan pandangnya dan terlihat enggan untuk melanjutkan topik pembicaraan.

"Apa itu?! Beritahu saya?! Saya akan mengoreksi diri setelah mendengarnya!" ucap gadis dengan memaksa.

"Itu ... saat mengelap tubuhmu yang penuh keringat dingin."

Mendengar itu, Fiola sedikit terkejut dan memikirkan arti perkataan pria di depannya itu. Saat dirinya paham, Fiola langsung menundukkan kepalanya dengan wajah merah merona karena malu.

Mengelap tubuh, dengan kata lain membersihkan tubuh yang basah karena keringat. Kalau akan melakukan itu, sangat diperlukan bagi yang melakukannya untuk melihat hampir seluruh tubuh orang yang dibersihkan tubuhnya. Dengan kata lain, pada saat itu Robert melihat seluruh tubuh Fiola saat gadis itu tidak sadarkan diri.

"Yah, jujur itu sangat sulit. Kamu berkeringat sangat banyak ... mungkin sampai dua liter? Ha ha, bercanda deh!" ucap Robert dengan nada santai. Ia samar-samar tahu kalau ucapannya itu membuat Fiola sedikit kesal.

"Apa anda melihatnya ...?" tanya Fiola dengan nada sedikit gelap.

"Eh ...?"

"Apa anda melihat tubuh saya saat mengelapnya?" tanya Fiola kembali dengan nada yang semakin gelap.

Robert langsung mengangguk dan langsung mengakuinya tanpa menyanggah sedikit pun. "Ya, aku melihatnya," ucapnya dengan frontal.

"Bukan hanya melihat, 'kan? Anda juga ... menyentuhnya, 'kan? Jawab Tolong dengan jujur. " Fiola mengangkat wajahnya dan mantap tajam Robert.

"Serem! Serem amat nih anak!" Keringat pria itu mulai mengalir. Saat itu Robert teringat kembali akan betapa menemukannya seorang perempuan, itu atas dasar pengalaman dengan istrinya di kehidupan sebelumnya. Belajar dari pengalaman, Ia memilih untuk jujur dalam situasi seperti sekarang.

"Ya, aku ... menyentuhnya. Itu sangat lembut ... dan halus .... Tapi, bukan berarti aku berpikiran kotor atau ... semacamnya ... Itu hanya semata-mata untuk ... membersihkan keringat dari tubuhmu .... Serius."

Fiola melangkah mundur dan tersenyum. Tatapan tajam hilang darinya dan berganti sorot mata ringan yang seakan memancarkan cahaya. "Kalau begitu, mau bagaimana lagi ya," ucapnya sambil sedikit memiringkan wajah.

Melihat senyuman yang sangat manis itu, untuk sesaat Robert terpana. Ia teringat akan anaknya kembali. "Apa kamu tidak marah?" tanya Robert.

"Marah? Untuk apa saya marah? Anda sudah berkata jujur, itu sudah cukup bagiku ... lagi pula anda ...." Fiola memalingkan wajahnya yang terlihat sedikit mulai memerah.

"Hem, ada apa?" tanya Robert.

"Tidak ada apa-apa!"

"Eh ...?"

Melihat ekspresinya, Robert menatap gadis itu dengan rasa aneh. "Dari pada ngobrol di sini, ayo kita lanjutkan perjalanannya. Kita harus sampai di kota terdekat sebelum malam," ucap pria tersebut.

Fiola berbalik, lalu berjalan lurus ke depan dengan ceria, kemudian menjawab, "Yaaa~" dengan bercanda.

"Fiola ...."

"Hem, ada apa?" Gadis itu menengok dengan senangnya.

"Itu bukan arah selatan loh .... Itu barat. Selatan sebelah sini," ucap Robert sambil menunjuk ke arah selatan. Mendengar perkataan Robert, wajah gadis itu langsung memerah malu.

"Bi-Bilang dari tadi dong!" Fiola berbalik arah, lalu pergi ke arah yang ditunjuk Robert.

Melihat gadis yang berjalan dengan wajah memerah itu, Robert sedikit memasang ekspresi gelap sambil memalingkan wajahnya ke arah yang tadi akan gadis itu ambil.

"Ya, lewat arah sana saja. Kalau kamu lewat arah sini, kamu mungkin akan melihat sesuatu yang membuatmu menyesal ...." Robert berbalik, lalu berjalan mengikuti Fiola sambil tersenyum kecil.

"Yah, bukan berarti aku menjauhkan gadis itu dari hal-hal seperti itu sih. Kalau dia ingin terus hidup, mungkin dia akan menemui hal-hal semacam itu ...."

Arah yang tadinya ingin Fiola ambil, dengan kata lain arah barat tidak lain adalah arah di mana Robert mendapat beberapa buah kelapa untuk menurunkan demamnya gadis tersebut. Di arah tersebut jugalah, Robert membantai beberapa kelompok Goblin dan Ogre yang menyerangnya tadi malam.

Pada tempat itu, mayat-mayat berserakan dan darah menggenang di dalam kubangan. Daging-daging berceceran bercampur patahan tulang para monster.