Namun di belantara Gunung Sago, anak muda yang mereka sangka telah mampus dan mayatnya dikunyah anjing atau biawak atau harimau itu, yang mereka sangka tak mungkin mau berbuat baik meski sebesar zarahpun, saat itu tengah duduk bersila. Dia duduk bersila di atas sebuah batu layah di pinggang gunung yang tak pernah dijejak kaki manusia. Dari sana dia dapat melihat ke bawah, ke kampungnya. Dia melihat kerlip lampu seperti seribu kunang-kunang yang sedang bermain. Rindunya membakar hati. Namun kalau dia pulang, siapa yang akan dia temui di sana? Tak seorangpun.
Ketiga keluarganya telah mati. Memang ada seseorang yang sangat ingin dia temui. Namun dia yakin orang itu takkan bersedia dia temui. Renobulan. Masih hidupkah dia? Dia yakin anak Datuk Maruhun itu masih hidup. Sebab dia gadis yang cantik. Dan perempuan-perempuan cantik biasanya punya umur panjang. Kecuali kakak perempuannya yang diperkosa dan melawan, dan dibunuh oleh Saburo Matsuyama.
Saburo! Tiba-tiba dia tertegun. Dendamnya menyala. Dia kembali menatap ke kerlip lampu di bawah sana. Ada beberapa kampung yang nampaknya berdekatan dari kaki gunung ini.
Padahal jika ditempuh jaraknya cukup berjauhan. Dia hafal kampung-kampung di lembah sana. Sebab dahulu dia telah mendatangi semua kampung itu. Di kampung-kampung itu telah mengadu nasib. Berjudi. Dan semua penduduk kampung-kampung itu mengenalnya sebagai hantu judi. Tak ada yang tak mengenalnya. Karena dia lebih sering menang dalam perjudian daripada kalah. Dan bila dia menang, dia selalu memberi anak-anak uang belanja. Anak-anak menyukainya.
Hanya orang tua mereka yang tak menyukai dia. Dia tersenyum bila mengingat kemenangannya dalam berjudi. Tiba-tiba dia rasakan angin bertiup agak kencang. Dan dia memang tengah menanti angin yang bertiup itu. Tiap senja dia nantikan angin itu di atas batu layah ini. Sudah berbilang bulan dia begini. Dan berbilang bulan dia melatih diri. Dia memejamkan mata. Tangannya melemas. Lemas selemas lemasnya.
Tes. , tes . . tes . . !
Dia dengar detisan halus di atas. Dia hitung. Ada sebelas. Suara itu adalah suara daun kayu yang telah tua, yang habis getah ditam¬puknya. Bila angin bertiup sore hari, daun-daun tua itu lepas dari ranting, melayang dan jatuh. Berarti ada sebelas daun kering yang jatuh di sekitar dirinya.
Tiba-tiba tangannya yang lemas tadi bergerak ke balik kain sarung yang tersandang di bahunya. Dan saat berikutnya terlihat sebuah kilatan yang terlalu cepat untuk diikuti oleh pandangan mata. Tak sampai empat hitungan. Benda berkilat itu, yang tak lain dari samurai yang telah menyudahi nyawa ketiga keluarganya itu, dia sarungkan kembali. Dan dengan perasaannya yang sudah amat terlatih, dia mengetahui bahwa dari sebelas daun kayu yang jatuh di sekitarnya, ada tiga lembar yang luput dari sabetan samurainya. Yang delapan lembar lagi belah dua persis tentang tulang di tengah daun-daun itu!.
Dia menarik nafas panjang. Kemudian duduk lagi bersemedi. Duduk mengatur pernafasan. Dia tak punya guru. Gurunya adalah Alam Takambang. Dia tak mengerti ilmu silat. Sampai detik inipun dia tak mengetahui selangkahpun tentang persilatan. Namun hatinya telah jadi baja untuk membalas dendam kematian ayah, ibu dan kakaknya. Dia juga akan menuntut balas atas kematian orang kampungnya. Atas perbuatan Jepang membakar kampungnya. Memperkosa kakaknya dan perempuan-perempuan lain. Dan atas perlakuan Jepang yang telah membunuh kanak-kanak di kampungnya dulu. Dia akan menuntut balas pada Jepang dengan mempergunakan senjata mereka sendiri, Samurai!
Sudah berbilang bulan dia berada di gunung ini. Dan selama itu pula dia melatih diri. Yang terbayang olehnya adalah gerakan ayahnya ketika mengayun, dan menikamkan samurai ke belakang. Yang menyebabkan matinya dua orang serdadu Jepang sekaligus dalam perkelahian di halaman rumahnya dulu. Gerakan itu dia ulangi terus. Terus dan terus. Sementara gerakan bagaimana mencabut samurai dia pelajari dari perkelahian antara teman-teman Datuk Maruhun di sasaran rahasia itu dengan tentara Jepang tersebut. Dia mengingat gerakan Jepang itu mencabut kemudian mengayun samurai. Kemudian memasukkannya kembali samurai telanjang dan berlumur darah itu ke sarungnya. Gerakan yang amat cepat untuk bisa ditiru. Namun dia mengeraskan hati untuk belajar. Mula-mula gerakan itu hanya dia lakukan beberapa kali sehari. Kemudian beberapa belas kali. Kemudian beberapa puluh kali. Kemudian beberapa ratus kali. Tiap hari kerjanya hanya mencabut samurai. Kemudian memasukkannnya kembali. Lalu ketika gerakan itu dia rasa sudah mahir, dia menirukan gerakan menghayunkan samurai membabat lawan yang ada di depan dengan gerakan amat cepat. Kemudian meniru gerakan ayahnya. Setelah membabat lawan di depan, tanpa menukar pegangan kedua tangan di gagang samurai, senjata itu dihentakkan meninggi ke belakang. Gerakan ini semula terasa sulit dan kaku. Namun dia harus belajar. Harus! Yang menyulitkannya adalah karena dia tak mengetahui gerak dasar samurai itu. Tak pula mengetahui kuda-kuda yang harus dipakai. Itulah sebabnya dia lambat sekali menjadi mahir.
Dan kinipun, setelah dia mahir dalam gerakan itu, kuda-kudanya tetap tak betul menurut methode ilmu samurai. Kuda-kuda dan langkah kakinya dia buat menurut kehendak seleranya saja. Bagaimana yang dia rasa paling baik untuk menyerang dan menangkis, serta merubuhkan lawan segera. Dia tetap berlatih hari demi hari. Siang hari dia berburu kijang di gunung itu. Caranya mudah sekali. Selama hidup hampir setahun di rimba raya itu, dia sudah hafal di mana kijang-kijang itu minum siang hari. Dia juga tahu dari mana harus mendekati binatang itu. Dia harus tegak di bawah angin. Agar bau tubuhnya tak tercium oleh hewan itu.
Pagi-pagi dia sudah duluan ke dekat kolam kecil itu. Tiarap di dalam semak rendah. Diam di sana seperti pohon mati. Tapi suatu hari dia mendapat cobaan. Yang datang minum ke sana bukannya kijang tetapi macan tutul. Hewan ini datang justru dari atas pohon di mana si Bungsu sedang tiarap di bawahnya. Macan itu segera mengetahui kehadirannya. Dia menerkam si Bungsu. Namun bagi si Bungsu kecepatan macan ini tak ada artinya dibanding kecepatan yang telah dia miliki dalam mencabut dan mempergunakan samurai.
Dia malah tetap berbaring diam ketika macan itu meloncatinya. Ketika tinggal sedepa lagi, saat itulah tangannya bergerak. Dua kali dia menghayun tangan, saat berikutnya samurainya masuk kembali ke sarangnya bersamaan dengan rubuh dan terpotong duanya tubuh macan tutul itu. Padahal dia masih setengah berbaring. Lagipula, itulah pertama kali dia mempergunakan samurai rampasannya terhadap mahluk bernyawa.
Siang itu dia tak makan daging kijang. Melainkan makan daging macan tutul. Daging macan itu dia bakar. Api dia bikin dengan mengadu dua buah batu kuat-kuat. Namun kecepatan menghantam macan yang datang menerkam belumlah dapat dijadikan ukuran. Terkaman macan yang bertubuh besar itu tetap saja lambat bila dibandingkan misalnya dengan terbangnya lalat.
Inilah yang dia pelajari setelah itu. Sisa bangkai macan mengundang banyak lalat ke dekat-nya. Dia memejamkan mata. Memusatkan konsentrasi. Ada perbedaan mencolok antara ayahnya belajar silat dengan dirinya belajar kini. Ayahnya dulu belajar silat sekedar untuk penjaga diri. Kemudian keadaan membuat dia menjadi Guru Silat. Kadar kesungguhan kurang tinggi. Berlain dengan dirinya kini. Dia belajar karena dia bertekad untuk membalas dendam.
Dan keinginannya untuk cepat pandai amat menyala. ltulah sebabnya dalam kerajinan berlatih, ayahnya dulu pasti kalah tekun dari yang dia lakukan kini. Dia memejamkan mata.
Lalat mulai berkerubung pada sisa bangkai macan tutul itu. Dia mendengar dengung langau hijau. Kemudian dia mulai menghitung. Terlalu banyak. Dia mendengar getar sayapnya ketika terbang. Tangannya mulai dia lemaskan. Lemas seperti sutera. Seperti tak ada tulang di dalam lengannya itu. Kemudian dia memusatkan pendengaran.
Kini!
Tiba-tiba tangannya bergerak cepat. Empat kali dia membabat, lalu tiba-tiba samurai itu lenyap kembali ke dalam sarangnya di balik kain sarung yang tersandang dipundaknya.
Tanpa membuka mata dia dapat mengetahui, bahwa dalam empat kali membabat tadi, hanya ada dua ekor langau hijau yang mati. Ada yang perutnya putus. Ada yang kepalanya sompeng sedikit. Padahal seorang samurai harus tahu dengan pasti bahagian mana yang dia kehendaki untuk dilukai. Dan bahagian yang dia kehendaki itu haruslah mampu dia lakukan. Dia menghapus peluh. Kemudian duduk lagi. Mengulangi lagi latihan dari awal. Mencabut dan membabat langau-langau itu. Begitu terus hari demi hari. Begitu terus hari berganti pekan. Pekan berganti bulan. Bulan berganti tahun!
Senja ini dia kembali duduk di atas batu pipih itu. Menatap ke lembah sana, ke kaki gunung di mana sawah menghampar. Di mana kerlip lampu dari kampung-kampung mulai kelihatan. Dia duduk menatap ke arah kampungnya.Rindu kembali bertalu-talu gemuruh di dadanya untuk turun ke sana. Sudah berbilang purnama dia berada di pinggang Gunung Sago ini. Tidur di pondok beratap lalang yang dia buat secara darurat. Yang membuatnya untuk sembuh dari luka yang nyaris membelah punggungnya dan tetap hidup adalah keinginannya yang keras untuk membalas dendam.
Kini dia merasa ingin segera kembali ke kampungnya. Dia menarik nafas panjang. Namun telinganya yang sudah sangat terlatih di rimba raya itu juga menangkap dengus nafas lain.
Dia tertegun. Apakah dengus sebentar ini adalah dengus nafasnya sendiri yang terdengar sampai dua kali? Dia tak berani menoleh. Namun nalurinya mengatakan bahwa ada bahaya mengancam dirinya dari belakang. Tapi bahaya apakah itu. Kenapa dia tak mengetahuinya?Sudah belasan purnama dia duduk di sini. Setiap ada yang bergerak mendekati tempatnya ini, bahkan kupu-kupu yang terbang ringanpun, akan segera dia ketahui. Semua itu berkat latihan konsentrasinya selama ini. Secara instink tubuhnya juga bersiap untuk menerima setiap kemungkinan yang tak diingini. Aneh, tak ada suara apa-apa. Padahal biasanya senja begini, setiap dia habis sembahyang Magrib dia selalu dihibur oleh dendang jangkrik dan suara nyanyian binatang malam lainnya. Termasuk suara siamang yang bersahutan.
Tapi kini kenapa suara-suara itu lenyap? Sejak bila lenyapnya? Kesunyian ini adalah kesunyian yang belum pernah dia alami selama ini. Dan tiba-tiba kembali dengusan nafas aneh itu dia dengar. Dia yakin dengusan halus dan amat perlahan itu bukanlah dengusan dari mulutnya. Tidak. Dengusan itu jelas dari belakangnya. Menurut perkiraannya, jarak antara dirinya yang duduk membelakang dengan mahluk yang mendengus itu paling-paling hanya tiga depa !
Tiga depa! Ya Tuhan, bulu tengkuknya merinding habis. Kalau benar dugaannya, bahwa yang mendengus itu berada sekitar tiga depa di belakangnya, itu berarti "tamunya" itu telah berada di atas batu pipih besar di mana dia duduk, yang lebarnya sekitar empat depa persegi. Dia duduk di bahagian ujung paling depan. Yang membuat dia kaget adalah kehadiran mahluk yang belum dia kenal itu di atas batu ini. Kenapa sampai tak terdengar olehnya sedikitpun?
Krosak…!