Mereka bertiga berjalan ke arah ruang kerja tim Surat Kabar. Kehilangan nafsu makannya, Chintya dan Dillia lebih memilih mengurungkan niat mereka ke kafetaria kampus. Mereka lebih memilih menemani Bulan.
"Kakak senior, kakak terlalu baik terhadap wanita murahan itu. Kenapa tidak kau teriaki dia untuk segera pergi dari sini?" Chintya bertanya kesal.
"Yaaa..jika dia berani macam-macam, akan q jambak rambut nya hingga menyentuh sepatu q!"Dillia masih tampak emosi.
"Kalian kira aq siapa? Mengusir orang lain. Aq bukan pemilik kampus." Bulan menanggapi ringan omelan adik-adik juniornya.
"Kalian harus ingat, walau darah kalian sudah mendidih hingga ubun-ubun, tetapi jangan pernah berlaku bar-bar. Gunakan kata-katamu yang paling tajam. Tetapi jangan sampai perilakumu melampaui batas." Bulan menambahkan.
"Saat marah sekalipun, kita seharusnya tetap dapat menjaga apa yang keluar dari mulut kita. Dari situ akan terlihat, siapa yang menggungguli siapa." Bulan tersenyum.
"Aah..kakak..susah sekali mengikuti aturan mu saat bertengkar." Dillia menggaruk-garuk kepalanya.
"Tidak q sangka, ada pula peraturan seperti itu di dunia ini." Chintya terkikik melihat reaksi Dillia.
"Ada..semua ada aturannya. Mulutmu harimau mu. Cerminan hatimu. Hati-hati pula dalam mengawasi lincahnya jemarimu. Karena saat ini orang-orang juga biasa memperhatikan produksi kata-kata hasil tarian jemari mu di medsos. Berhati-hatilah." Bulan menambahkan.
"Aq berani mengeluarkan statemen bahwa mereka berselingkuh karena aq punya bukti. Aq baru-baru ini telah melihat status wanita itu. Saat itu aq dan Leo masih bersama. Dan dia memajang capture percakapan mesra mereka berdua. Walau nama Leo disamarkan, tetapi foto profile nya adalah foto Leo. Aq benar-benar harus menahan diri." Bulan tersenyum.
"Kak..ternyata kau kepo." Dillia menahan tawa.
"Hanya penasaran sedikit. Masa tidak boleh?"Bulan mencubit pinggang Dillia dan segera membuatnya meringis.
"Hahaha..sudah lah, ayo kita ajak teman-teman yang belum makan siang. Sepertinya kita akan adakan konferensi pers terbatas lagi kali ini." Chintya tampak bersemangat.
"Jangan macam-macam." Bulan memutar bola matanya menanggapi Chintya.
Di ruang kerja tim Surat Kabar, Yuda, Rey, Cheznut, dan Malven tengah berdiskusi seru. Wajah mereka terkadang di penuhi ekspresi penasaran dan antusias..tetapi seringkali mereka memenuhi ruangan dengan tawa mereka.
"Selamat siaaaang..diskusi apa ini, seru sekali?" Dillia menyapa mereka. "Heeyy..ayo kemarilah, kita sedang ada topik diskusi seru. Tetapi kemungkinan besar kalian tidak akan mengerti." Yuda bersikap seolah ada sesuatu hal berat yang tidak mungkin mereka tanggung.
"Yaaaa..kalian tidak akan mengertiii..bahkan kami pun tidak mengerti..hanya kak Yuda saja yang mengerti." Rey terkikik menahan tawanya.
"Baru kali ini topik seberat ini disampaikan oleh Yuda.. semoga segera disegerakan." Malven berkata membingungkan.
"Kalian ini bicara apa siy? Langsung saja pada pointnya." Chintya penasaran dan tidak sabar. "Bos kita jatuh cinta untuk kesekian kalinya padaaaaa..sang putri kampus!" Cheznut akhirnya memperjelas semuanya. "Coba bayangin, pak Bos..yang sudah setua ini..berani mengincar seorang putri kampus yang masih ingusan. Usianya terpaut 8 tahun! Gilaaa. Seandainya pak Bos sudah mapan, punya pekerjaan tetap atau usaha yang menjanjikan, bagus lah, ada yang bisa dibanggakan. Tetapi, selama ini dia hanya mengurusi surat kabar dan kuliahnya saja..bisnisnya pun tidak menarik. Mana mungkin si putri kampus akan meliriknya." Cheznut berkata kejam.
"Kauuu..berani benar kau mengomentari q? Cinta tidak mengenal harta." Yuda berkilah.
"Baiklah..baiklah..setidaknya kau harus mempunyai wajah tampan..seperti..seperti Darius!" Rey menanggapi..
Bulan terdiam..Nama itu lagi.. Dia teringat kembali terakhir mereka berdua. Berusaha keras untuk tidak memikirkannya. Dia ingin bebas dulu untuk sementara waktu. Tetapi nampaknya Darius tidak sependapat. Dia ingin memiliki Bulan secepatnya. Secepat yang ia bisa. Dia mengatakan hanya dapat bersabar sebentar lagi.
Sebentar lagi..