Sedari tadi subuh, rumah sudah sibuk dengan pekerjaan rumah tangga. Tidak seperti biasanya, semua orang mempersiapkan diri layaknya hari perayaan. Tak ada sesuatu yang spesial hari ini, hanya sebuah keluarga yang berkunjung untuk mengikat suatu hubungan.
"Zara..." teriak seseorang dari arah dapur. Seseorang yang memiliki nama tersebut melangkahkan kaki dengan pasti menuju ruangan itu. "Kau harus segera siap-siap. Sekitar dua jam lagi mereka akan datang.." ucap Bundanya.
Zara mendudukan diri di salah satu kursi meja makan. Ia mencuri sedikit demi sedikit dari makanan yang sudah siap untuk dihidangkan. "Heyy.. kau ini. Ini untuk tamu, cepat mandi. Kau kusut sekali.." Teriak Bundanya lagi ketika memergoki Zara yang tengah makan itu.
"Aiisshhh bunda. Orang masih lama juga." Ucapnya tidak perduli.
"Haishhh.. tak habis pikir. Kau ini perempuan atau laki-laki sih?" gerutunya. Zara tidak perduli dengan omongan itu, ia terus saja mengunyah tanpa henti. Hingga ia merasa bosan, akhirnya memutuskan untuk ke kamarnya dan merebahkan diri di atas kasur hingga tak sadarkan diri.
***
"Astagfirullah Zara.." jerit seseorang di ambang pintu. Zara langsung membuka matanya. Setelah ia tahu siapa pemilik suara itu ia kembali menutup matanya dan bergerak hanya untuk mencari tempat nyamannya. "Zara bangun.. aduh punya anak gadis tapi kok berasa punya anak cowok." gerutunya sambil menggerak-gerakkan tubuh anaknya itu.
"Mmmm.." geramnya. "Apa sih bun.. ngantuk tau." gumamnya yang hampir tak terdengar oleh siapapun.
"Zara cepat mandi sayang.. 20 menit lagi calon suamimu datang." Ungkapnya, sembari menarik tangan gadis yang tengah menutup mata itu berusaha keras untuk didudukan. "Aduh.. Manja gini anak bunda."
Zara terdiam, ia membiarkan tangannya dipegang oleh orang terkasihnya itu. Ia merasa seseorang itu mengalirkan ribuan kasih sayang pada dirinya, tak kuasa ia menahan air mata mengingat semua kasih sayang dan ribuan perjuangan yang ia peroleh dari sang Bunda.
Air mata itu mengalir begitu saja. Zara menundukan kepalanya, berusaha untuk menutupi air mata itu dari hadapan Bundanya. "Sayang.. gak papa. Menikah itu bukan sesuatu yang harus ditakuti, kan kamu tahu sendiri dengan menikah kamu dapat menyempurnakan ibadahmu. Banyak pahala yang bisa Zara dapatkan untuk menuju RidhaNya. Nanti, setelah menikah Ridha Suami lebih utama daripada Ridha orang tua." ucapnya.
"Jangan khawatirkan Ayah dan Bunda. Kamu yang bahagia ya.." tambahnya lagi.
"Aish.. apaan sih Bun. Aku mau kemana memangnya? Orang gak bakalan kemana-mana." ketusnya. Ia langsung bangkit menuju kamar mandi yang ada dalam kamarnya.
Zara mengunci pintu, dan ia langsung luruh begitu saja. Kakinya tak kuat lagi menopang berat tubuh itu, dan tentunya ia tak berani menujukan sosok yang seperti ini pada Bunda terkasihnya.
'Bunda.. bukannya aku tak mau meninggalkanmu. Bukannya aku tak mau menggapai kebahagiaanku sendiri. Tapi tanpa Bunda, apalah arti hidupku. Kau terlalu bersinar untuk kehidupanku. Aku tak menyalahkan, namun aku terlalu sayang untuk jauh darimu. Aku tak rela ketika ku mulai melangkahkan kaki menjauh dari rumahmu ini, air mata itu luruh begitu saja tak ada yang menghapusnya. Aku sangat yakin, aku tak kuat tanpa dirimu.'
Ia menelungkupkan wajahnya, 'Bunda.. jika aku harus memilih untuk terus berada disampingmu atau mengejar kebahagianku atas perintahmu. Aku akan memilih yang pertama. Bisakah aku egois untuk kali ini saja? Bisakah?'
'Namun, ku lebih tak mampu lagi ketika aku harus menatap mata yang penuh dengan kecewa itu. Maafkan aku Bunda, aku tak rela menjauh darimu. Semoga atas apa yang telah kau kerahkan untuk seluruh hidupku, JannahNya lah menjadi satu satunya tempat persinggahanmu diakhir nanti.'