Dua minggu terhitung dari persetujuan pernikahan itu, dua keluarga sibuk. Semua, sibuk mempersiapakan hari yang mendebarkan. Namun, tidak bagi Zia.
Hari itu mulai dekat, tapi ia melarikan diri. Ya, ia tak kuasa untuk menikahi seseorang yang tidak ia sukai, dan tentu saja ia tak mau tau siapa orang itu. Namun, sama seperti Zara. Ia tak mampu untuk mengelak putusan dari kedua orang yang begitu berharga dalam kehidupannya. Alih-alih ia berdiam diri di rumah mempersiapkan pernikahan itu, ia melarikan diri ke Jepang untuk mengurusi bisnisnya di sana.
Akhirnya ia di sini, berdiri di depan jendela menatap matahari yang tengah terbit di hadapannya. Ya, kamarnya menghadap laut yang begitu indah, sungguh Maha Kuasa Allah dalam menciptakan segala sesuatu. 'Ya Allah.. jika Engkau memang meRidhainya, untuk menjadi pendamping hidupku. Ikhlaskan aku untuk memimpinnya menuju JannahMu. Bimbinglah hambaMu ini yang penuh dengan dosa untuk mencari RidhaMu dan selalu mensyukuri nikmatMu itu. Rahmatilah kami, dengan RahmatMu yang tiada tandingannya itu.' ucap batinnya.
'Ya Allah, jika ini menjadi salah satu jalan untuk membahagiakan orang tua ku. Maka bimbinglah aku untuk menjadi Imam yang terbaik menurutMu, karena Engkau lebih mengetahui apa yang ada dalam hati ini.'
'Ampuni aku, ampuni aku yang tak tau malu terus saja meminta padamu.. Sesuai dengan janjimu, siapkanlah sosok itu sebagai cerminan diriku. Jadikanlah aku untuk terus menambah Iman kepadamu, dalam penikahan yang akan terjadi itu.' Harapnya.
Triinngggg... Triiiiiiinggg
Suara ponsel itu memecah keheningan yang tercipta beberapa jam yang lalu. Ya, laki-laki itu tidak beranjak sama sekali selepas subuh tadi dari jendela. Sekarang jam menunjukan pukul 7, dan seseorang tengah memanggilnya dari seberang sana.
"Halo, Assalamualaikum.." Ucapnya setelah menekan salah satu tombol untuk mendengarkan seseorang menyampaikan pesannya.
"Waalaikumussalam, Zia.. kamu kapan pulang? Lusakan hari pernikahanmu.. Harusnya dari seminggu lalu kau sudah balik ke sini. Bagaimana sih kamu ini." Omel Mamanya dari telepon. "Kamu udah janji kan mau pulang secepatnya.. Ah kenapa kamu balik lagi kayak waktu kecil? Merajuk seperti ini."
"Zia.. ingat ucapan Mama. Mama tidak akan memilih seseorang secara asal-asalan, terlebih untuk masa depan kamu dan generas kamu selanjutnya. Percaya pada Mama, insya Allah dengan RidhaNya wanita ini yang terbaik untukmu.. Ohiya Mama belum cerita, waktu penetapan tanggal itu Papamu juga suka sama calonmu. Itu membuktikan bahwa ia pantas untukmu.. Insya Allah, Allah maha baik." ungkapnya dengan sayang. Zia hanya mendengarkan dengan seksama ucapan Mamanya tanpa menyela.
"Pulang hari ini ya.. Mama tunggu." Perintahnya.
"Tapi ma..."
"Gak ada tapi-tapian.. secepatnya." Selanya, tanpa ampun. "Wassalamualaikum"
Sambungan itu mati begitu saja, tanpa memberikan kesempatan pada Laki-laki itu untuk kembali bersua. "Ah Mama.. Sehat-sehat terus." lirihnya.
Ia mengirim pesan pada bawahannya, sebelum ia mengambil jas dan beranjak untuk kembali bekerja. Ia masih belum memutuskan kapan akan kembali ke sisi ibunya tercinta.
Sedangkan di kediaman Zara sendiri, tentu saja keluarganya sibuk mempersiapkan itu semua. Zara terus saja menyendiri di dalam kamarnya, ia terus bermunajat kepada Allah, setelah dua minggu kemarin melalui penetapan itu ia melakukan konsultasi dengan salah satu ustadz kenalan Nifa.
"Ya Allah bantu aku untuk ikhlas dan kuatkan aku untuk mencapai RidhaMu. Aamiin" Ucapnya dengan penuh harap.