Keramaian itu datang. Keluarga yang memiliki rencana untuk mengikat hubungan antar anaknya dengan Zara, sudah tiba. Mereka menyampaikan maksud dari kedatangannya. Dan mendengar percakapan itu, sudah sangat jelas terlihat bahwa mereka sudah akrab satu sama lain.
Zara masih berdiam diri di dalam kamarnya hingga seseorang mengetuk pintunya. "Zara.. Ayo keluar." Itu suara kakak iparnya.
Zara melangkahkan kaki, dan membuka pintu. Ia mengenakan gamis berwarna hitam dengan sedikit renda merah mengelilinginya, ia pun mengenakan hijab instan yang menutupi lekuk tubuh.
Zara melangkah mengikuti Nadia dari belakang dengan kepala yang tertunduk. Ia tak mau dan tak berani untuk menatap satu persatu orang pada kumpulan itu. "Ini loh pah, yang namanya Zara. Bungsunya Fara." ucap seorang wanita yang cukup akrab suaranya. Tapi Zara tak berani untuk mengangkat kepalanya, ia pun menyalami Ayah dan Ibu laki-laki itu tanpa menatap. Oh, betapa malunya dia.
"Oalah ini toh yang namanya Zara.. Cantik ya.." kata-kata itu meluncur dari seorang laki-laki paruh baya. "Sayang sekali, Anak saya malah ada urusan. Maaf ya nak, pengikatan ini jadinya hambar." Jelasnya.
'Sebentar, sebentar. Apa katanya? Laki-laki itu malah tidak datang? Lalu bagaimana bisa aku terus menyetujui ini semua. Dia dengan seenaknya berbuat demikian.' Gerutunya dalam hati.
"Ia nih, Fara. Maafkan ya, memalukan sekali sebenarnya hal ini bisa terjadi. Kasihan kan Zara, pasti khawatir tentang calonnya ini. Apalagi tidak pendekatan dalam proses ta'aruf terlebih dahulu." Papar sang Ibu laki-laki dengan nada yang penuh penyesalan.
"Tidak apa-apa. Toh sudah beli juga tiketnya, kalau tidak jadi berangkatkan mubazir uangnya. Tak apa, toh Zara juga bisa bertemu di pelaminan nanti. Hehe.." Ucap Bundanya sambil terkekeh.
'Apa? Bunda kok gitu sih...' Kesalnya. Bagaimana pun akulah anaknya, bukan laki-laki itu..
Terus saja pikiran Zara tidak tenang, dan ia terus berperang melawan hatinya untuk tidak mengucapkan kata tersebut pada situasi ini. Kalau itu terjadi, sungguh malu yang tak dapat lagi ditampung oleh Ayah Bundanya. Bukankah ia akan menjadi anak yang durhaka kalau seperti itu kejadiannya?
"Ayah, Bunda.. Tamunya boleh berpindah? Mari makan terlebih dahulu." Ucap Nadia dengan sopan.
"Oh iya, iya.. mari mari." Ajak Bunda Zara pada tamu terhormat itu. Mereka semua makan dengan tenang dan khidmat menikmati jamuan yang telah dipersiapkan sebaik mungkin.
Setelah selesai, barulah seseorang menghangatkan kembali topik pembicaraaan tadi. "Mohon maaf nih, saya mungkin terlalu terburu-buru datang ke sini. Saya dan Istri saya, mau memastikan kapan akan menghalalkan mereka?" Tanyanya ketika melihat semua orang telah menyelesaikan makanannya.
"Tidak apa-apa, tapi mari kita berpindah dulu ke tempat yang tadi. Tak baik membicarakan hal seintim ini di sini." Ajak Ayah Zara. Mau tidak mau, mereka mengganti posisi nyamannya menuju ruang tamu. Zara mencoba untuk membersihkan meja itu, namun dilarang oleh Nadia. Katanya, tak baik.
"Kami sudah mendiskusikan dengan Anak kami, yang tidak bisa berhalangan hadir saat ini. Kami menyarankan pernikahan bisa dilangsungkan 2 minggu lagi, bagaimana?"
Pertanyaan itu membuat Zara tercengang, apa itu? Bagaimana bisa secepat itu? Aku saja masih belum mengatakan bersedia menjadi istrinya. Pikirnya.
Oh, Istri. Memikirkannya saja aku tak tau harus bertindak bagaimana.
"Bagaimana Zara, apa tidak apa-apa?" Tanya seorang wanita paruh baya itu. "2 minggu lagi atau Satu bulan lagi atau berapa lamapun itu, sama saja. Kalau ada yang cepat kenapa tidak?"
Zara terdiam, semua orang terdiam menunggu keputusannya, "Saya mengikuti keputusan Zara saja." Akhirnya Bunda membuka suaranya.
"Apa tidak terlalu cepat Bunda?" Tanya Zara lirih, kemudian menatap mata Bundanya dengan tatapan sendu. 'Aku tak mau berada jauh darimu. Aku tak siap menjalani hidup tanpamu, Bunda.' Jerit batinnya. Ia menahan sekuat tenaga untuk tidak mengeluarkan air mata itu saat ini.
Bukannya Zara cengeng, tapi bagaimana rasanya jika seseorang yang begitu ia sayangi akan jauh dari hidupnya setelah pernikahan itu terjadi.
"Bunda, aku belum siap." Lirihnya lagi, yang disambut dengan gelak tawa semua orang.
"Tak apa sayang, semuanya proses. Nanti kamu bisa menyesuaikan diri. Apakah kau setuju, pernikahanmu terjadi dua minggu lagi?" tanya Fara dengan sayang.
"Bagaimana menurut Bunda dan Ayah?" Ia akhirnya menyerah, bagaimanapun keinginan Bunda dan Ayahnya yang utama.
Ayah dan Bunda Zara saling berpandang satu sama lain, seolah-olah sedang berdiskusi lewat matanya. "Ayah, setuju. Untuk masalah persiapan pernikahan itu hal yang mudah." Jelasnya.
"Baiklah.."
"Alhamdulillah.. Makasih sayang." Ucap seorang wanita paruh baya yang akan menjadi Ibu mertuanya itu. Pada akhirnya ia memberanikan diri untuk menatap wanita itu, Ia merasakan pelukan hangat dari sosok tersebut.
Tante Mei?