Ari sedikit khawatir, keningnya dikerutkan, Jesika yang melihat itu pun menjadi heran dan bertanya-tanya dalam hati, tapi dia dengan cuek tetap merangkul erat lengan Ari. Ari pun merasa tidak nyaman sebenarnya, tapi ia tidak sampai hati untuk menolak tangan Jesika, setelah apa yang telah wanita itu belanjakan untuknya hari ini. Jesika bisa tersinggung.
Perlahan Ari membuka pagar dan kosong. Tidak ada siapapun dan pintu rumahnya juga masih terkunci. Ari bernafas lega, ternyata yang dia khawatirkan tidak terjadi.
Beberapa saat sebelumnya, taksi yang ditumpangi Winda tiba-tiba menepi padahal baru saja jalan.
"Ada apa pak?" tanya Winda pada sopir taksi.
"Itu Non, mobil merah di depan lewat, tapi tidak cukup berbagi jalan, jadi saya menepi dari pada terserempet nanti panjang urusannya" jelas sopir taksi.
Winda melihat keluar, nampak sebuah mobil merah melintas dengan kecepatan di atas rata-rata saat mereka berpapasan di gang kedua.
"Betul pak, ribet kalau sampai berurusan dengan orang kaya yang sombong" Winda ikut kesal.
Winda teringat kejadian kemarin di kediaman Adijaya. Seorang wanita sombong yang mengendarai mobilnya dengan ugal-ugalan begitu mengkhawatirkan mobilnya, padahal ia nyaris menabark orang.
Winda melihat ke jam tangannya, "Sudah jam 14.30wib, Aku harus balik ke kediaman keluarga Adijaya atau pulang ya? mungkin tidak masalah buat Luis, toh cuma tiga puluh menit lebih awal Aku pulang, tapi ini tidak benar menurut etika kerja. Kalau Aku balik kerja pun nanti sudah jam tiga sampai sana mungkin malah lebih dan lagi tadi Aku pergi tanpa izinnya. Uughh ... gimana nih?" hati Winda galau.
Ponsel Winda berdering, panggilan dari Luis, Winda segera mengangkatnya dengan rasa bersalah.
"Ha-lo" jawab Winda takut kena marah.
"Kamu dimana? segera kembali, Aku tunggu" Luis segera menutup ponsel tanpa memberi kesempatan Winda untuk menjawab.
"Duh, habislah Aku. Aku tidak buat salah saja dia memperlakukanku begitu, apalagi kali ini? jelas Aku yang salah sudah melanggar perjanjian" batin Winda cemas.
Empat puluh menit kemudian Winda sampai di kediaman keluarga Adijaya. Winda berjalan terburu-buru menuju ruangan Luis, Niko berdiri di depan pintu terlihat khawatir menanti kedatangan Winda. Begitu Winda sampai, Niko memintanya untuk cepat masuk ke ruangan itu.
Winda pun menjadi bertanya-tanya apa yang terjadi? Mata Winda liar mencari keberadaan Luis di setiap penjuru. Luis duduk di sofa, kepalanya tertunduk menatap lantai tangannya menjulur ke bawah.
"Astaga, apa yang terjadi denganmu?" tanya Winda terkejut melihat keadaan Luis.
Darah mengalir dari telapak tangan kanannya dan ada serpihan gelas tercecer di lantai. Winda buru-buru bangkit, tapi tangan kiri Luis menahan pergelangan tangan Winda.
"Dari mana kamu?" tanya Luis dengan suara berat dan penuh penekanan pada kata-katanya.
"A-aku d-dari lu-luar, untuk memastikan sesuatu." ucap Winda gemetar, baru kali ini Winda melihat Luis marah.
Luis tersadar jika kata-katanya barusan membuat Winda ketakutan, kemudian dia melepas tangan Winda. Ada sedikit penyesalan atas sikapnya itu. Dia sadar tak seharusnya dia marah berlebihan seperti itu.
Winda segera mengambil kotak obat. "Biar Aku obati dulu lukamu" Winda meraih tangan Luis yang berlumuran darah, membersihkannya, menaburkan obat dan membalutnya dengan verban.
Winda juga membersihkan pecahan gelas yang berceceran di lantai. Setelah semuanya beres Winda mendekati Luis, duduk di sampingnya dengan banyak sekali tanda tanya tapi tidak berani mengutarakannya.
Luis akhirnya mengangkat kepala dan menatap Winda. "Kamu tahu rasa sakit yang tengah Ku rasakan?" ucap Luis dengan mata sayu.
Winda tidak paham dengan maksud pertanyaan Luis, sehingga Winda hanya memberikan ekspresi mengerutkan kening sambil menatap Luis, mengisyaratkan bahwa dia tidak paham.
"Bagaimana rasanya jika Kamu melihat orang yang Kamu sukai, sudah punya kekasih tapi kekasihnya malah menyakitinya dengan berselingkuh?" kata Luis.
Winda menangkap mentah-mentah ucapan Luis, sehingga dia mengira Luis benar-benar mengalami itu. Winda teringat dengan wanita sombong yang waktu itu bertemu dengannya di depan rumah Luis. Winda mengira wanita sombong itu orang yang disukai Luis. Winda tidak berpikir bahwa pertanyaan Luis tersebut hanya perumpamaan.
"Suatu saat kebenaran akan terlihat, Orang baik akan mendapatkan yang baik pula." kalimat Winda diucapkan dengan senyum dan itu membuat Luis lega.
Sebenarnya sejak waktu itu Luis melihat Winda dari jendela kamar satu vip saat pulang kerja dan seorang pria menjemputnya. Luis telah menyuruh Niko untuk mengawasinya dan melaporkan semua tentang pria tersebut.
Sehingga siang ini Luis sangat marah, dia sebenarnya tahu apa yang terjadi di luar sana, Luis merasa kesal kenapa kebejatan pria itu tidak ketahuan Winda tadi. "Wanita bodoh, tidak seharunya kamu terlalu percaya dengan kekasihmu" Luis mengerutu dalam hati.
Hari sudah sore, Luis mengizinkan Winda pulang. " Pulang dan beristirahatlah, mungkin besok Kamu akan lebih banyak kerja karena tanganku kini terluka" kata Luis.
"Baiklah, saya pulang" Winda membungkukkan badannya sedikit dan keluar dari ruangan itu.
Niko mengantar Winda sampai pintu keluar, ternyata Niko pun penasaran dengan apa yang telah terjadi. "Anda tidak apa-apa Nona Winda?" tanya Niko hati-hati.
Winda mengerutkan keningnya, tidak biasanya Niko tanya keadaannya. "Aku baik-baik saja, emang kenapa?" Winda balik tanya.
"Tadi selesai dari meeting Tuan muda Luis buru-buru pulang kerumah, sesampainya di rumah Tuan mencari Anda namun tidak ada, Tuan terlihat marah sekali hingga gelas yang dia pegang hancur dalam genggamannya" jelas Niko dengan suara yang pelan.
"Apakah telah terjadi sesuatu antara Nona dan Tuan?" Niko tersenyum sambil matanya melirik ke Winda.
Winda tertawa, dia merasa lucu dengan pertanyaan Niko, Apa kamu tidak tahu kalau Luis sedang menyukai seorang wanita? Aneh, padahal Niko selalu di dekat Luis tapi kok tidak mengetahuinya. Batin Winda dalam hati.
Rasanya salah paham ini akan sedikit lama sebab ketidakpekaan Winda tentang perasaan Luis yang sebenarnya.