Chereads / Jalan Menuju Surga / Chapter 31 - Makhluk Aneh Di Awan

Chapter 31 - Makhluk Aneh Di Awan

Banyak orang yang mengetahui tentang janji Jing Jiu untuk mendapatkan pedang Paman Guru Mo yang berasal dari Puncak Shiyue sejak pertama kali ia datang ke inner sect.

Mulanya, banyak yang mengira kalau Jing Jiu akan kembali memberi kejutan seperti yang ia lakukan di Pine Pavilion Selatan, namun seiring berjalannya waktu, semakin sedikit orang yang mempercayai hal ini dan bahkan murid dari Pine Pavilion Selatan seperti saudari Yushan dan pemuda bermarga Yuan dari Lelang County pun tidak lagi menaruh harapan padanya.

Jing Jiu tidak pernah pergi ke Puncak Pedang sekali pun, dalam setengah tahun terakhir, apalagi berusaha mendapatkan pedangnya.

Ini adalah hal yang paling sering dibicarakan di Sungai Sword Washing. Bagi mereka yang tidak menyukai Jing Jiu, seperti Xue Yong'e dan murid - murid berbakat yang ada di kelas A, Jing Jiu tentunya menjadi target ejekan mereka.

Tapi, tampaknya ia akan mendapatkan pedangnya hari ini.

"Mencari pedang!"

"Jing Jiu sepertinya akan mendapatkan pedangnya!"

Suara teriakan seperti itu dapat didengar di segala penjuru Aula Sword Washing.

Belasan murid berlarian keluar dari aula.

Lin Wuzhi merasa terkejut saat ia mengetahui kalau Guru Mei Li telah mengakhiri pelajarannya di kelas C dan segera mengendarai pedang terbangnya, tampaknya ia juga hendak pergi ke Puncak Pedang.

...

...

Saat Jing Jiu tiba di Puncak Pedang, ia tidak tahu Mei Li dan Lin Wuzhi telah terlebih dulu tiba di sana. Ia juga tidak tahu bahwa selama ia berjalan menuju ke Puncak Pedang, ada banyak murid yang mendengar berita ini. Ataupun tentang murid - murid dari puncak gunung yang lain yang mengikutinya ke Puncak Pedang untuk melihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Karena ia tidak menyangka mereka semua akan salah sangka dan mengira kalau ia pergi ke Puncak Pedang untuk mendapatkan pedangnya.

Sisi baiknya adalah, ia tidak perlu berlari seperti malam itu dan sekarang, ia bisa berjalan dengan mantap dan santai.

Tidak lama kemudian, ia mulai mendaki lereng gunung itu dengan perlahan, walaupun ia sebenarnya tidak berniat untuk memperlambat lajunya.

...

...

Keadaan di kaki gunung Puncak Pedang sangat hening.

Para pengurus dari Puncak Yunxing, terus menggelengkan kepala mereka, terkejut sampai tidak bisa berkata - kata.

Mulut murid - murid itu terbuka lebar, walau tidak ada sepatah kata pun yang terucap.

Mulanya, keadaan di tempat ini tidak sehening ini dan kerap terdengar suara ejekan dan cemoohan terhadap Jing Jiu.

Namun, semakin tinggi Jing Jiu mendaki lereng gunung itu, ejekan dan cemoohan itu berganti dengan suara desisan.

Beberapa saat kemudian, murid - murid itu kembali tersadar dan mereka mulai berbincang - bincang satu sama lain.

"Apakah ini pertama kalinya ia naik ke Puncak Pedang? Bagaimana bisa ia berjalan dengan begitu mantap?"

"Bagaimana mungkin ini terjadi? Ia sudah melewati Batu Paruh Elang. Bukankah tempat itu berjarak dua ribu meter jauhnya dari sini?"

"Menurutmu, seberapa jauh ia akan berjalan? Tiga ratus meter lagi?"

"Ia tidak akan mungkin bisa mendaki hingga ke awan - awan itu dalam percobaan pertamanya!"

"Ini benar - benar luar biasa... ternyata, selama ini ia menyembunyikan kemampuannya. Tapi, aku dengar kalau Paman Guru Mo meletakkan pedangnya di dekat bagian tertinggi dari puncak gunung ini dan tentunya akan sangat sulit untuk bisa mendapatkan pedang itu."

"Lihat! Ia sudah hampir memasuki awan - awan itu!"

"Ia ternyata mampu mendaki sampai ke dalam awan - awan itu!"

...

...

Jing Jiu tidak menyangka akan ada begitu banyak orang yang menyaksikan perjalanannya ke Puncak Pedang.

Bahkan, jika ia tahu sekali pun, ia tidak akan peduli dan akan tetap bertindak sesuka hatinya.

Tidak lama kemudian, ia berjalan masuk ke awan - awan itu, menghilang di dalamnya dan tidak lagi terlihat, menyisakan keterkejutan dan rasa iri di belakangnya, di kaki puncak gunung ini.

Jika saja ia melambaikan tangannya pada orang - orang yang melihatnya dari bawah, betapa menyenangkannya hal itu?

Lin Wuzhi bertatapan dengan Guru Mei Li ketika ia berpaling dan berniat untuk kembali ke Aula Sword Washing.

"Penilaian Paman Guru Mo saat itu memang cukup baik."

"Maaf, namun kelihatannya kita akan memperebutkan anak ini nanti." ujar Lin sambil tetap menatap Mei Li.

Wajah cantik Mei Li tampak getir dan ia berkata, "Sekali lagi aku katakan, lihat saja wajah anak itu. Ia tentu saja harus pergi ke Puncak Qingrong kami... Kakak Mo begitu jelek, berani - beraninya ia menjadikan anak ini sebagai muridnya?"

...

...

Jing Jiu berhenti saat ia tiba di sebuah ketinggian yang tinggi, di sisi timur dari Puncak Pedang. Ia menemukan lereng gunung yang ia cari.

Hari masih siang, sehingga semua yang ada di gua itu bisa terlihat dengan jelas. Kedalaman gua itu sekitar tiga kaki, hanya cukup untuk satu orang, yang duduk bersila.

Zhao Layue sedang duduk di dalam, sama seperti dua hari yang lalu.

Pendarahannya sudah berhenti, walaupun ia masih terlihat pucat dan orang yang melihatnya pasti tahu kalau luka yang dideritanya sangat parah.

"Makanlah ini." ujar Jing Jiu, yang meletakkan keranjang berisi buah - buahan liar yang ia pegang.

Buah - buahan ini dikumpulkan oleh monyet - monyet yang ada di lereng - lereng gunung di depan rumah guanya, sesuai dengan perintahnya. Buah - buahan ini terasa sedikit asam dan juga pahit, namun bermanfaat untuk memulihkan suplai darah dan tenaga.

Ia lalu mengeluarkan pil ajaib dari lengan bajunya dan meletakkannya di depan Zhao.

Zhao pun bertanya setelah ia mengangkat kepalanya dan menatap wajah Jing Jiu, "Kenapa mayatnya bisa ditemukan?"

Jing Jiu terkejut mendengar pertanyaannya.

Bagaimana dia bisa tahu apa yang terjadi di bawah sana? Jika ia memang memiliki teman yang membantunya di sembilan puncak gunung, mengapa orang itu tidak membantu merawat lukanya?

Zhao Layue seakan mengerti apa yang ada dipikiran Jing Jiu, ia pun berkata, "Aku punya cara sendiri untuk mendapatkan informasi."

Jing Jiu lalu berhenti bertanya, karena ia sebenarnya tidak peduli.

Namun, Zhao Layue terus menatap matanya, ia ingin mendapatkan jawaban dari pertanyaannya.

"Sudah lama aku tidak membunuh orang, jadi aku lupa bagaimana caranya menghilangkan jejak."

"Dan lagi, membereskan mayat itu sangat merepotkan..." ujar Jing Jiu.

"Lalu, kamu membuangnya begitu saja di sungai?" ujar Zhao Layue.

"Lalu aku harus bagaimana?" tanya Jing Jiu.

Zhao Layue pun berpikir, pemuda ini benar - benar makhluk yang aneh... bahkan lebih aneh daripada aku.

"Siapa kamu sebenarnya?"

Tentu saja, ia tahu kalau pemuda ini adalah Jing Jiu yang ketampanannya tak tertandingi.

Tapi, siapa Jing Jiu ini? Apakah ia mata - mata yang diutus kesini oleh Keluarga Kerajaan?

"Bagaimana denganmu? Siapa kamu sebenarnya?"

Tentunya, Jing Jiu tahu kalau gadis ini adalah satu - satunya orang yang bernama Zhao Layue.

Namun siapakah Zhao Layue ini? Apakah ia dikirim oleh monyet - monyet itu sebagai penyelamat mereka?

Jing Jiu tidak khawatir kalau gadis ini mungkin akan membongkar rahasianya.

Jika gadis ini terbukti telah membunuh Paman Guru dari Puncak Bihu, ia pasti akan mendapat masalah besar, sekalipun ia adalah Zhao Layue.

Jika ia memberitahu orang - orang itu bahwa Paman Guru itulah yang ingin membunuhnya... Siapa yang akan mempercayainya?

Kejadian ini hanya bisa menjadi sebuah rahasia.

Jing Jiu lalu memastikan kalau luka Zhao akan segera sembuh, kemudian, ia berpaling dan berjalan menuruni gunung itu.

Ia yang tiba - tiba teringat akan sesuatu, lalu berkata, "Aku baru ingat. Aku dulu tidak pernah mengubur mayat orang yang kubunuh."

"Kamu tidak takut ketahuan kan?" tanya Zhao.

"Kenapa aku harus takut?"

"Takut akan pembalasan dendam, takut akan... masalah?"

"Balas dendam? Awalnya, masih ada beberapa yang berniat seperti itu, namun kemudian tidak ada seorang pun yang berani, jadi itu bukanlah suatu masalah besar."

Jing Jiu lalu pergi meninggalkan Puncak Pedang setelah ia menyelesaikan kalimatnya.

Sesampainya ke kaki puncak gunung itu, ia teringat bahwa ia sepertinya melupakan sesuatu dan yang mengingatkannya adalah wajah rekan - rekannya yang tampak seakan menyayangkan kegagalannya.

...

...

Perjalanan Jing Jiu di Puncak Pedang menimbulkan sensasi di sepanjang Sungai Sword Washing. Walaupun ia tidak berhasil membawa pulang pedang terbang milik Paman Guru Mo, namun tidak lagi terdengar cemoohan dan ejekan di Aula Sword Washing. Hanya terdengar beberapa orang yang menghela nafas dengan penuh penyesalan, diantaranya, mereka yang telah bertahun - tahun berada disini dan ada beberapa murid dengan level yang lebih tinggi, yang akhir - akhir ini membicarakan Jing Jiu, dengan rasa hormat yang terkandung dalam kata - kata yang mereka ucapkan, karena mereka telah melihat sendiri Jing Jiu mendaki Puncak Pedang hingga ke dalam awan - awan tebal itu dalam percobaan pertamanya.

Sedangkan kasus pembunuhan Paman Guru dari Puncak Bihu, masih terus diselidiki oleh Puncak Shangde. Tapi tidak begitu banyak orang yang membicarakannya di Sungai Sword Washing. Tidak ada dari mereka yang pernah bertemu dengan Paman Guru itu, sehingga tidak ikatan emosional di antara mereka dan lagi, kejadian itu hampir tidak ada hubungannya dengan kehidupan mereka.

Tidak ada orang yang mempercayai kalau ada seorang murid sword washing yang mampu membunuh immortal swordsman level Undefeated.

Selain si bodoh, Liu Shisui itu.

Jing Jiu hanya bisa tersenyum ketika ia teringat akan hal itu.