Chereads / Jalan Menuju Surga / Chapter 34 - Sumur Tua di Tengah Angin dan Salju

Chapter 34 - Sumur Tua di Tengah Angin dan Salju

Para murid tidak berani mendiskusikan kejadian menakutkan itu dengan terang - terangan, namun mereka juga tidak bisa menahan keinginan mereka untuk membicarakan tentang perkiraan dan berita yang mereka dapatkan tentang kejadian itu secara diam - diam. Tidak lama setelah itu, mereka mendengar kabar bahwa pedang terbang yang mengerikan itu adalah Pedang Arus dan pendekar pedang gila itu tentunya Pimpinan Puncak Bihu, yang bernama Lei Poyun.

Kabarnya Pimpinan Puncak Bihu itu nyaris terbunuh oleh para setan dari Underworld dan juga The Old Ones, saat ia berada di Kota Zhaoge, sehingga ia harus memulihkan luka - lukanya yang parah di suatu tempat. Namun, siapa sangka kalau ia akan muncul di depan para guru dan murid di sana dalam keadaan yang tidak waras, seakan sedang dirasuki oleh setan - setan. Apa yang sebenarnya terjadi padanya?

Tapi, tidak ada seorangpun yang bisa menjawab pertanyaan itu dan kejadian itu perlahan terlupakan. Bagian - bagian dari lereng - lereng gunung yang terpotong oleh cahaya pedang Lei Poyun telah diperbaiki oleh ahli formasi dari Puncak Xilai, sehingga wujudnya kembali seperti semula dan tidak tampak ada bekas pengrusakan di sana. Dalam semalam, kejadian itu seakan tidak pernah terjadi.

Tapi, teriakan kata - kata aneh dan menakutkan itu masih terus menggema di antara puncak - puncak gunung.

"Jika bukan satu, bagaimana jika dua?!!!"

"Jika bukan satu, lalu dua?"

Kalimat itu tidak memiliki awal maupun akhir, jadi apa sebenarnya artinya? Tidak ada satu orang pun yang bisa menjawabnya.

Mengingat Paman Guru dari Puncak Bihu yang mati beberapa hari yang lalu, semua kejadian ini menjadi penuh dengan keanehan.

Jing Jiu tahu apa arti kata - kata itu dan ia juga tahu kenapa Lei Poyun tidak bisa melupakannya sebelum ia mati.

Ia berdiri di ujung lereng gunung dengan kedua tangannya di belakang punggungnya, ia lalu menatap ke atas, ke arah langit malam, merasa seakan ia berada di dalam sebuah sumur tua, dengan sedikit rasa bosan terbersit di wajahnya.

...

...

Puncak Shangde terasa sangat dingin dan dinginnya menusuk sampai ketulang dan semua orang yang ada di puncak gunung itu harus menjaga pikiran mereka agar tetap tenang, tidak peduli setinggi apapun level mereka.

Yuan Qijing berjalan ke bagian terdalam dari rumah gua itu dan kemudian menunduk ke arah dasar sumur, ia berdiri di sana tanpa mengatakan apapun untuk waktu yang sangat lama.

Dinding - dinding gua nya tertutup lapisan salju yang dingin dan terlihat ada beberapa helai rambutnya yang memutih, namun itu tidak ada hubungannya dengan cuaca yang dingin.

Tadi malam, ia menggunakan teknik pedang yang ia pelajari dari sekte lain saat ia masih muda dulu untuk bisa menahan Lei Poyun dan hasilnya, sudah jelas terlihat. Namun, teknik itu menghabiskan begitu banyak Inti Pedang nya dan ia perlu waktu paling tidak seratus hari untuk bisa memulihkan diri.

Ada lebih dari tiga puluh murid dan pengurus dari Puncak Shangde yang berlutut di belakangnya dan menunggu hukuman yang akan ia berikan.

Sebagai tokoh nomor dua di Sekte Gunung Hijau, Yuan Qijing memiliki kemampuan untuk menentukan masa depan orang - orang ini, bahkan hidup dan mati mereka, namun ia tidak melakukannya, ia hanya menyuruh mereka pergi.

Orang yang melepaskan Lei Poyun dari Penjara Pedang yang dijaga ketat, pastilah bukan orang biasa dan akan sangat sulit bagi para murid dan pengurus untuk melawannya.

Yang jadi masalah adalah, mengapa ia ingin mengeluarkan Lei Poyun?

Memandang keluar dari Puncak Tianguang, Yuan Qijing berpikir apakah ini adalah rencana seseorang untuk melakukan pembunuhan dengan memanfaatkannya, ataukah ujian yang lagi - lagi ditujukan kepadanya?

"Kejadian ini... harus diselidiki. Kita sudah tidak bisa berhenti." ujar nya perlahan dengan suara yang serak.

Para pengurus dan murid - murid itu telah meninggalkan rumah guanya dan yang tertinggal bersamanya di sana hanyalah Chiyan, yang merupakan Adik Seperguruan yang paling ia percayai.

"Ada kabar dari Puncak Liangwang... namun masih belum bisa dipastikan kebenarannya dan aku sendiri tidak begitu mempercayainya." ujar Chiyan.

"Karena kita sudah mendapatkan kabar, maka kita harus menyelidikinya lebih lanjut, tapi..."

Yuan Qijing melanjutkan ucapannya setelah sempat terhenti, "Pelaksanaan Turnamen Pewaris Pedang sudah dekat. Kita tidak bisa membuat keributan sekarang."

Saat mendengar tentang Turnamen Pewaris Pedang, Chiyan teringat akan sesuatu dan ia kemudian berkata, "Jing Jiu yang itu... apa kita benar - benar tidak perlu memeriksanya?"

Entah siapapun dia sebenarnya, perhatian yang ia dapatkan dari Zhao Layue membuatnya perlu dipertimbangkan.

Chiyan tidak mendapatkan jawaban dari Kakaknya dan ia berkata sambil tersenyum pahit, "Semakin sedikit murid - murid yang mau datang ke Puncak Shangde kita dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir."

Turnamen Pewaris Pedang adalah saat dimana sembilan puncak gunung di Gunung Hijau memilih personal disciples mereka.

Namun bagi para murid yang memiliki potensi besar, turnamen itu juga menjadi kesempatan untuk mereka memilih puncak gunung mana yang mereka inginkan.

Selama bertahun - tahun, Puncak Tianguang, yang merupakan tempat kediaman Ketua Sekte, tentunya menjadi tujuan yang paling diminati oleh sebagian besar murid - murid itu.

Puncak Shangde memiliki kekuatan yang besar, serta teknik pedang kelas satu dan juga Yuan Qijing yang merupakan Kakak dari Ketua Sekte, namun justru semakin sedikit murid yang mendaftar untuk mewarisi teknik pedang dari Puncak Shangde ini.

Puncak Liangwang bisa memilih murid - murid berbakat dari semua puncak gunung, namun jarang sekali terdengar kabar kalau mereka telah terlebih dahulu memilih murid - murid untuk mewarisi pedang mereka. Puncak Shiyue lebih mengutamakan pembelajaran teori dan Puncak Xilai bertanggung jawab atas urusan administrasi, sehingga para pelamar di puncak ini lebih sedikit jumlahnya dibanding puncak-puncak yang lainnya, namun mengapa murid - murid yang mau mewarisi pedang di Puncak Shangde jumlahnya lebih sedikit dari Puncak Bihu dan Puncak Yunxing dan bahkan lebih rendah daripada Puncak Qingrong? Apakah karena suasana di Puncak Shangde yang terlalu membosankan dan kelam, atau karena Penjara Pedang yang terlalu menakutkan, ataukah karena semua murid - murid muda itu takut pada mereka?

"Si pemalas bodoh itu?"

Cibir Yuan Qijing yang kemudian berkata, "Mengapa orang - orang di Puncak Liangwang membiarkannya pergi?"

Chiyan tidak begitu mengerti apa yang dimaksud oleh Kakaknya dengan kata "membiarkannya pergi".

"Kamu tidak perlu memikirkan hal - hal itu. Kamu hanya perlu fokus untuk menenangkan Puncak Bihu." ujar Yuan Qijing.

...

...

Waktu terus berjalan, perlahan namun pasti. Tidak perlu menunggu lama sebelum musim dingin datang.

Kabarnya, berdasarkan permintaan dari Puncak Qingrong, Ketua Sekte setuju untuk membuka sebagian kecil dari Formasi Gunung Hijau agar angin dingin dan serpihan salju dari dunia luar bisa masuk ke sembilan puncak gunung.

Melihat serpihan salju yang bertaburan di sekitarnya, Jing Jiu kembali merasa kalau ada sesuatu hal yang ia lupakan.

Ia berusaha untuk mengingatnya, namun tidak berhasil dan hal ini membuatnya merasa semakin aneh.

Sejak ia kembali ke Gunung Hijau dari desa kecil itu, ia mengalami banyak perasaan yang tidak pernah ia rasakan di masa lalu, seperti kebosanan, ketertarikan pada sesuatu dan melupakan sesuatu...

Namun, ia tidak mungkin lupa akan sesuatu, yang berarti bahwa perwujudan dari perasaannya ini adalah cara yang tanpa sadar dilakukannya untuk berusaha menghindar dari sesuatu.

Mengapa? Apakah karena ia sudah terbiasa dengan gaya hidupnya yang malas dan santai?

Zhao Layue kembali mendatanginya di hari pertama turunnya salju di tahun itu.

Zhao melakukan latihan kultivasi tertutup di gua tinggalnya sendiri selama berpuluh - puluh hari. Setelahnya, luka yang didapatnya dari Puncak Pedang juga sudah pulih dengan sempurna dan bahkan lukanya yang kecil pun sekarang sudah tidak terlihat.

Salju putih berguguran ke lereng - lereng gunung, halaman, dan tubuhnya.

Di dunia yang semuanya putih ini, sepasang alis tebalnya terlihat sangat mencolok, sama seperti pupil matanya.

Melihat kilatan cahaya pedang yang mendarat di depan rumah gua Jing Jiu, suara helaan nafas dan teriakan terdengar dari sisi seberang sungai Sword Washing.

"Saudari Zhao datang lagi!"

"Kenapa ia ke sini lagi?"

"Ini sudah ketujuh kalinya! KETUJUH KALINYA!!!"

Para murid itu memukul dada dan menghentakkan kaki mereka, atau sekedar mengelus dada mereka dengan tangan, mereka kecewa dengan pilihan idola mereka itu.

"Aku lahir di bulan Layue, dan karena itulah aku diberi nama ini."

"Saat itu sedang badai salju." ujar Zhao Layue, sambil melirik gelang yang ada di pergelangan tangannya.

Jing Jiu bertanya - tanya apakah ini yang dikatakan mengobrol. Ia sudah pernah mengobrol dengan Liu Shisui dan ia juga sudah beberapa kali mengobrol dengan Zhao Layue. Walaupun ia masih belum mengerti mengapa orang - orang menghabiskan waktu bersantainya dengan mengobrol, namun ia sudah bisa menerimanya dan ia tahu bahwa perlu sebuah topik untuk memulai sebuah obrolan.

Ia bukanlah orang yang pandai menemukan topik pembicaraan dan ia hanya tahu satu hal tentang Zhao Layue.

"Puncak gunung mana yang akan kamu pilih di Turnamen Pewaris Pedang nanti?

Sembilan puncak gunung itu akan memilih murid - murid yang mereka inginkan di Turnamen Pewaris Pedang, namun bagi murid - murid yang populer, situasinya akan terbalik.

Sedangkan untuk Zhao Layue, yang merupakan seorang gadis berbakat, ia memiliki lebih banyak pilihan.

Puncak gunung mana yang akan ia pilih di Turnamen Pewaris Pedang nanti, adalah sebuah persoalan yang membuat seluruh Sekte Gunung Hijau penasaran dan bahkan seluruh dunia per-kultivasi-an.

Karena berbagai alasan, tidak ada seorangpun yang pernah menanyakan pertanyaan ini padanya.

Jing Jiu menanyakannya karena ia merasa kalau itu akan dapat memulai percakapannya.

Zhao Layue tidak menjawab, ia hanya diam sambil memandang puncak - puncak gunung yang ada di balik hembusan angin dan salju.

Di mata teman - teman dan guru - gurunya, ia adalah seorang penyendiri yang sombong, dingin dan juga pendiam, namun di mata Jing Jiu, ia adalah seorang gadis kecil keras kepala yang patut diberi simpati dan dikasihani.

Ia mengangkat tangannya, bermaksud untuk mengelus rambut pendek Zhao namun ia membatalkan niatnya di tengah - tengah gerakan tangannya dan ia kemudian berkata, "Jangan terlalu dipikirkan."

"Aku ingin pergi ke Puncak Pedang untuk melakukan persiapan terakhir." ujar Zhao Layue, yang memandang Jing Jiu setelah ia mengalihkan pandangannya dari puncak - puncak gunung itu.

Yang ia maksud dengan persiapan tentunya adalah untuk Turnamen Pewaris Pedang.

Ia datang kemari di tengah hembusan angin dan salju yang berguguran hanya untuk memberitahukan keputusannya ini pada Jing Jiu, singkatnya ia datang untuk mengucapkan salam perpisahan.

Perpisahan adalah kejadian yang menyedihkan, namun tidak untuk Jing Jiu.

"Sampai jumpa lagi." ujarnya.

Di jalan latihan Kultivasi yang panjang ini, bertemu dengan seseorang adalah hal yang biasa. Bertemu kembali dengan orang yang sama adalah hal yang jarang terjadi, namun masih mungkin terjadi, walaupun perpisahanlah yang paling sering terjadi dan kemudian; mereka tidak akan pernah bertemu lagi.

Ia sudah terlalu sering menyaksikan pertemuan yang membahagiakan, ataupun perpisahan yang menyedihkan, juga terlalu banyak kehidupan dan kematian, sehingga ia tidak lagi peduli pada hal - hal itu.

Ketika saatnya tiba, apa lagi yang bisa kamu lakukan selain tidak mempedulikannya?

...

...

Zhao Layue kemudian meninggalkan Sungai Sword Washing dan pergi menuju ke Puncak Pedang.

Ia tidak mengendarai pedang terbangnya. Bukan karena ia tidak ingin melukai pedang hijau kecilnya, namun karena ia punya alasan lain.

Di ujung sungai itu, ia dihentikan oleh Gu Han.