Ada yang mengejar, didiamkan. Ada yang diam, dikejar-kejar. Kita memang aneh.
-Fiersa Besari-
©
"Pak," Tria bergidik ngilu mengingat apa yang baru saja dilihatnya. "Ini gawat darurat siaga empat, Pak Gean."
Kalau Gean pikir Tria akan merubah sikapnya pada Gean menjadi perempuan yang melankolis di depannya, maka Tria berhasil mematahkan stigma itu.
Tria bersikap seperti biasanya, seolah ia tak pernah mengatakan apapun yang mengganggu jadwal tidur Gean.
"Kenapa?" tanya Gean lesu, ia semalaman tak bisa tidur. Matanya sayu, tubuhnya kurang supply oksigen.
"Mbak Riana, dia berantem sama Sherly." Mata Tria membesar, terkejut. Dia suka Gean tapi tidak sebodoh Sherly dan Riana yang harus jambak-jambakan di Pantry.
"Terus hubungannya dengan saya dimana?" tanya Gean, ia menangkupkan kedua tangannya di atas meja tak semangat.
"Mereka berantem karena Pak Gean, bantuin pisahin dong."
"Kenapa harus saya? saya nggak melakukan apapun yang memprovokasi mereka untuk bertengkar. Jadi bukan salah saya."
Tria bersweatdrop ria, Gean justru sibuk dengan pulpen. Mengetuk-ngetukan ujungnya di meja kerjanya.
"Ya udah kalau gitu." ujar Tria santai.
Ia membalikan tubuhnya, namun menatap Gean sekali lagi. Yang seharusnya lusuh dan tak bersemangat uring-uringan adalah Tria, bukan Gean.
"Makan siang, saya mau soup ayam." Gean mendongakan kepalanya menoleh ke arah Tria yang baru saja akan keluar ruangannya.
"Saya minta Pak Asep untuk siapkan lima menit sebelum jam makan siang," kata Tria, ia tak bisa menemani Gean makan siang seperti biasanya. Tria punya janji dengan Hilman, adik sepupu Gean itu mengajak makan siang di sekitaran Kuningan.
"Kamu makan dimana?"
Gean bukan cenayang kan? Bisa tahu apa yang ada di pikiran Tria.
"Bareng Hilman," Tria tidak punya kewajiban menjelaskan pada Gean. Jadi jawaban Tria harus singkat-sesingkatnya.
"Saya ikut."
Katanya mau soup ayam, kenapa jadi ikut-ikutan Tria. Kalau Tria salah paham jika Gean tak rela dengan kepergian Tria. Itu pasti salah Tria, bukan salah Gean yang seolah menarik ulur hati Tria.
"Nggak boleh," tolak Tria cepat.
"Kenapa?" Gean beringsut bangun dari duduknya yang lusuh, "Kok kamu ngatur-ngatur saya?"
"Ya udah Pak Gean makan sendiri aja sama Mas Hilman sana, nggak usah bareng saya." Tria tak tau, kenapa Gean seperti tak ikhlas.
"Kalau itu bisa bikin kamu batal berduaan sama Hilman, its okay." Gean mengendikan kedua bahunya tanpa rasa bersalah. Ia justru tersenyum puas.
Cari suami berat banget cobaanya.
"Pak Gean kenapa ikut campur urusan saya, sih?"
Rasa kesal Tria nyaris sampai ubun--ubun ketika Gean menelpon Hilman di depan Tria dengan santainya. Meminta izin agar Gean diperbolehkan makan bersama mereka, dan parahnya Hilman mengizinkannya.
"Saya nggak ikut campur, saya cuman ikut makan."
"Terserah kau aja, sungguh aku takkan peduli."
"Satu lagi," Gean menyela ucapan Tria. "Kamu nggak perlu nemenin saya ke resepsi pernikahan sepupunya Aruna."
Bagus kan? Tria nggak usah capek-capek berdampingan dengan Gean, lebih bagus lagi karena Gean punya keberanian menghadapi Aruna sendiri.
"Saya pergi dengan Asha."
Good news, Right?
Tria nggak peduli, mau Gean pergi dengan Aruna pun Tria tak bisa berbuat apa-apa. Sesuka hati Gean saja mau apa, yang penting jangan mengganggu kehidupan asmara Tria.
"Nggak sama Aruna, Pak?" kata Tria, karena Gean mungkin hanya menjadikan Asha pelampiasan. "Kasian Asha, kalau Pak Gean cuman jadikan Asha pelampiasan."
"Kamu nggak tau hati saya,"
Memang, tapi Tria tahu Gean masih belum bisa melupakan Aruna.
*
"Maaf," kata pertama yang keluar dari mulut Tria saat ia menyapa Hilman yang menunggunya di lobby tower ia bekerja.
"Nggak apa-apa, aku tau kok Gean memang kadang keras kepala seperti itu. Dari kecil sukanya memonopoli." Hilman terkekeh ringan, tadi siang Tria membatalkan acara makan siangnya karena takut Gean akan mengikuti mereka. Hilman menerimanya tanpa protes, sebagai gantinya Hilman mengajak Tria makan malam.
"Di balik sifatnya yang seperti itu, sebenarnya dia sedang memproteksi hal yang dia sayangi. Mungkin dia sayang kamu, cuman nggak tau cara bilangnya."
Tubuh Tria mematung mendengar ucapan Hilman. Kalau Gean sayang Tria, nggak mungkin waktu Tria bilang sayang muka Gean datar-datar saja kaya jalan tol.
"Mau makan apa?" Hilman sadar pernyataannya tadi membuat Tria tak cukup nyaman, maka pengalihan sangat dibutuhkan agar bisa mengurai canggung di antara mereka.
"Lagi pengen makan sate kambing," Tria memang tidak pantang soal makanan yang biasanya dihindari kaum hawa ini. "Mau?"
"Lucky me, nggak punya riwayat kolesterol. Dan kebetulan udah lama juga nggak makan Sate Kambing."
Tria tidak meminta Hilman untuk mengajaknya makan di tempat makan sate terkenal, Tria lebih suka tukang sate di warung Tenda pinggir jalan.
"Sama sop nya mau?" tawar Tria, ia mengajak Hilman makan di warung sate yang ada di pinggir jalan dekat Stasiun Pal Merah. "Di sini terkenal enak, bau kambingnya nggak terlalu kuat."
"Boleh, kamu makannya banyak juga ya?" Hilman ini type pria yang pemilihan katanya cukup membuat Tria nyaman. Ia tidak sembrono melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang bisa membuat perut Tria melilit, seperti punya mantan pacar berapa atau kenapa sampai saat ini belum menikah.
"Karena jadi sekretaris Gean itu ngabisin banyak energi, kalau nggak makan banyak nanti bisa tinggal tulang dibalut kulit aja." kata Tria santai, senyumnya begitu merekah ketika pelayan mengantarkan pesanannya. Tria sempat melihat ekspresi kagum Hilman, kemudian pria itu tersenyum manis.
Lemah iman Tria.
"Mas Hilman betah tinggal di Singapur?"
"Lumayan, culture di sana lumayan bisa diterima. Malah kadang kalau pas liburan ke Indo, saya jadi sedikit risih. Di Singapur itu orang-orangnya peduli lingkungan, fasilitas publik di jaga kebersihannya karena milik bersama. Di Indo, Halte Sekolah baru jadi sehari aja langsung coret sini dan sana. Ngeri ya... " keluhan Hilman memang benar, habitat masyarakat soal peduli lingkungan masih kurang aware.
"Mending itu sih Mas, kadang buang sampah aja nggak peduli di mana langsung buang aja. Pas di dalam kereta juga, kadang ada aja Ibu-ibu buang sembarangan. Buka jendela terus lempar, nggak mikir gimana nasib sampah itu nantinya."
"Kamu nggak kayak gitu kan?" kekeh Hilman.
"Nggak berani, malah kadang jadi tas saya yang jadi tempat sampah. Nggak berani buang bungkus permen sama roti." Tria tertawa ringan, seolah yang ia ceritakan adalah lelucon lucu yang pantas ditertawakan bersama.
"Kamu mau jadi guide aku?" tanya Hilman tiba-tiba, Tria menghentikan kunyahannya. Hilman meminta Tria menjadi guide? Untuk apa? Tour di kantor Gean?
"Buat?"
"Aku udah lama nggak explore Jakarta. Kalau kamu nggak keberatan nemenin aku jalan-jalan explore Jakarta, aku bisa ajak kamu lagi." katanya santai, seraya menatap Tria lamat-lamat. Sebelah alisnya terangkat meminta jawaban atas apa yang baru saja Hilman nyatakan.
"Mau, jadi guide aku?"
"Boleh, pas weekend. Tempat pertama yang pengen banget kamu kunjungi apa?"
"Taman Mini Indonesia Indah." jawaban cepat Hilman membuat Tria sedikit terperangah. Tria kira Hilman akan mengajaknya ke Sea world atau Dufan.
"Nice Place, weekend ini ya. Kebetulan aku nggak ada kencan sama kasur." cengiran Tria membuat Hilman menggelengkan kepalanya.
"Kamu lucu, pantes aku jadi gampang sayang."
"Mas Hilman beneran cari calon istri, kemarin Bu Prita nanya aku. Gimana kelanjutan dengan Mas Hilman."
"Cari calon istri, karena umurku sudah lewat kepala tiga. Kalau mau pacar-pacaran udah lewat masanya, ini waktunya serius. Makanya aku minta bantuan Tante Prita, karena Mamah ku tinggal di Jerman bareng Papah nggak punya banyak kenalan di Indo, padahal Papah maunya aku nikah sama perempuan Indo. Jadi untuk mempermudah aku minta bantuan Tante Prita, aku tau dia nggak akan ngenalin perempuan sembarangan sama aku." Hilman menyendok kuah sop yang hanya tinggal sedikit lagi, keringat di wajahnya menari-nari. Kalau Tria khilaf bawaanya pengen ngusap wajahnya aja.
Tria jadi tersipu, "Mau yang kayak gimana calon istrinya?"
"Kayak kamu aja saya udah bahagia."
Boom clap.
Tria boleh tersipu-sipu kayak iklan blush on nggak sih. Hilman itu manis pake banget. Beda sama Gean yang hobbynya bikin Tria kesel terus.
"Kok kamu bengong?" tanya Hilman saat Tria diam saja, ia hanya memperhatikan tusukan sate yang terkumpul di piringnya. "Saya salah ngomong ya? Maaf ya."
"Nggak kok, Mas. Saya lagi mikir aja, kenapa bisa orang kayak Mas Hilman yang tampan, mapan, baik hati belum ketemu jodohnya. Mas yang sebegitu baiknya aja belum dipertemukan jodohnya, apa kabar saya yang cuman seonggok permen karet."
"Ini," kata Hilman cepat, lagi-lagi Hilman tersenyum. Duh emang lelaki satu ini murah senyum sekali. "Saya sudah dipertemukan dengan tulang rusuk saya yang hilang."
"Jangan merendahkan diri seperti itu, Tria. Kamu itu sudah lebih dari kata layak untuk mendapatkan lelaki yang bahkan lebih baik dari saya."
Omonganya beda jauh kan sama Gean, emang Hilman sama Gean itu kayak langit dan bumi.
"Aku seneng bisa kenal dengan Mas Hilman, orangnya selalu positif thinking."
"Saya lebih seneng lagi," ujar Hilman. Ia mengusap pelan keringat di sudut dahinya dengan tisu. "Bisa ketemu calon ibu buat anak-anak saya kelak."
TBC
Gue jadi sayang Hilman 💜
17/03/2019.