Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi besok hari.
Hidup itu yang menentukan yang ada di Atas. Jadi berbuatlah baik setiap harinya untuk Menabung Amal dan Pahala.
==========
Aku melihatnya diujung gang sana. Dia melihatku, nenek itu melihatku. Kubergegas melarikan diri, tetapi dia mengejarku. Kumenoleh kebelakang, dia merangkak dengan cepat dan belatung itu tercecer keluar dari mata kirinya.
Kuterus berlari tetapi, langkahku semakin melambat. Napasku makin menipis, dan aku terhenti saat tangan kasar dan lengket itu melekat di pergelangan kakiku.
Kucoba untuk melepaskan diri tapi tak mampu.
Dia menarikku dan aku terseret sekarang, semakin kencang. Belatung itu tercecer di badanku.
"Aaaaaaaaaaaaaa!!!!"
"Nak, sadar!!. Sadar nak"
Aku terbangun, terengah-engah dengan keringat dingin menggeluncur deras di wajahku.
"Hei, minumlah dulu ini"
Ibuk memberikanku segelas air.
"Sudah 3 hari ini kamu selalu bermimpi buruk nak. Ceritakan pada ibu apa yang kamu mimpikan"
Aku hanya terdiam dan kembali merebahkan badan. Jujur sejak kejadian 3 hari lalu, aku belum cerita apapun kepada orang tuaku. Tentang kejadian yang aku alami.
Dan itu membuatku bermimpi buruk dan sudah sakit selama kejadian malam hari itu sampai sekarang.
Berita kakakku akan datang 3 hari lalu batal, karena masih ada urusan keluarga. Ya kakakku sudah menikah, dan sudah punya 1 anak laki-laki.
Ayah mengatakan bahwa kakak akan datang sore ini.
"Nak, ayo dimakan dulu makan siangnya. Yang sarapan tadi belum di makan lo"
Ayah datang membawakan makan siangku.
Kemudian ayah memegang dahiku.
"Hmm, demamnya masih belum turun semakin tinggi"
"Yah, apa dibawa ke rumah sakit saja?"
Ibu menambahkan.
"Tidak, aku tidak mau"
Aku langsung memotong obrolan orang tuaku saat itu. Alasan pertama adalah aku takut akan jarum suntik, dan alasan kedua adalah aku sakit karena aku mimpi buruk bukan sakit karena hal yang lainnya.
"Yaudah istirahat dulu aja"
Kemudian ibu dan ayah pergi meninggalkan kamarku.
"Kenapa kamu tidak cerita kepada mereka?"
Awan menambahkan, sambil merebahkan badan disebelah kiriku.
"Aku tidak tahu, aku cuma sedang tidak ingin bercerita kepada mereka"
Dia hanya menggumam disebelahku.
Aku mencoba menahan rasa sakit yang kurasakan, Sakit yang membingungkan. Tidak ada luka, lebam dan yang lainnya. Tetapi perutku terasa sakit sekali, seperti ada sebuah pasak yang tertancap di dalamnya. Dan masalah ini aku tidak cerita juga kepada orang tuaku bahkan Awan juga tidak tahu aku merasakan hal itu.
Setiap aku menegakkan badanku, perutku akan terasa sangat sakit sekali. Sangat sakit. Aku hanya bisa meringkuk di rajangku sampai saat ini.
"Hei, kamu beneran gak papa?"
Awan kembali menanyakan hal yang sama kepadaku.
"Iya, aku gak papa. Cuma sekarang perutku lagi sakit"
Kali ini aku ungkapkan apa yang aku rasakan, karena aku tidak bisa menahannya.
"Mungkin kamu harus makan sekarang"
"Ya nanti aku akan memakannya."
***
Suara berisik yang berada di ruang tamu membangunkanku dari tidur siangku. Kulihat jam yang berada di meja di sebelah ranjangku menunjukkam pukul 06.00Pm, Ku paksakan diriku untuk bangun dan duduk di ranjang.
"Ughhh"
Aku kira rasa sakit siang tadi sudah hilang, tetapi masih sama dan tidak berkurang malah bertambah.
Kubersandar didinding yang berada disebelah ranjangku.
Tiba-tiba ada seorang anak laki-laki memasuki kamarku,dan duduk di tepi ranjang.
"Hai"
Aku menyapanya perlahan,
Kemudian dia berlari keluar.
Tidak lama kemudian ada yang masuk lagi.
"Hei, kenapa denganmu?"
Kuangkat kepalaku dan melihatnya.
"Haii. Ahhh"
Aku mengerang ketika mau bangkit dari dudukku.
"Kak, kaa kapan datangnya?"
"Jam setengah enam tadi, ada apa denganmu?"
"Hmmm, cuma sakit demam biasaa"
Dia mendekatiku, kemudian dia memanggil ayahku.
"Ayahhh, kesini sebentar."
Tak lama setelah kakakku memanggilnya, ayah kemudian datang bersama dengan anak laki-laki tadi.
"Kenapa, Emi?"
"Ayah gak lihat?, perutnya terpasak oleh tanduk"
"Apaaa!"
Spontan aku bersama dengan ayah berseru bersamaan.
"Aku bisa melihatnya, tertancap satu tanduk di bagian tengah perutmu"
Kakaku menambahkan lagi, serambi mengelus keningku.
"Rebahkanlah badanmu dulu"
Kuturuti saja, apa yang kakaku katakan.
"Yah, dia 3 hari lalu bertemu dengan sesosok makhluk. Dan makhluk itu juga menerornya"
Dia mengetahui apa yang terjadi sebelumnya, hanya dengan memegang dahiku.
"Makhluk itu tidak terima,karena tertendang olehmu. Dan makhluk itu sempat mengirimkan Glendeng Pecik untuk menghabisimu. Sudah jelas sekali ini Jin yang menerormu. Dan sekarang memasang tanduk kambing di perutmu!".
Kakaku mengetahui semuanya, tapi ada yang terlewat. Dia tidak mengetahui bahwa ada Awan disana.
Dia tidak bisa merasakan kehadiran Awan.
Kemudian ibu langsung duduk disebelahku di tepi ranjang.
"Apakah sakit nak?"
Ibu mengelus dahiku, kurasakan ada tetesan air jatuh di pipiku.
"Ibu, mengapa menangis?"
Dia tidak menjawab, dia hanya menangis. Kakaku datang untuk menenangkan ibu.
Mengapa semua orang jadi terlaku panik, aku merasa ini sesuatu yang biasa.
Kemudian ayah menghampiriku dan berdiri di tepi ranjang pas di atas kepalaku.
Kemudian ayah mengusapkan dua jempolnya ke arah samping kanan dan kiri dari dahiku. Ayah mengulanginya tiga kali.
Yang pertama aku bingung, karena aku belum bisa menjelaskan dengan rinci seperti apa kakaku, yang kedua mengapa semua orang menjadi panik ketika mengetahui ada tanduk kambing tertancap di perutku. Dan apakah mereka menyembunyikan sesuatu?.
Kucoba menggunakan telepatiku dengan kakaku.
"Kak, apa yang sebenarnya terjadi?"
Dia yang sebelumnya melihat kosong ke arah jendela kemudian perlahan melihatku.
"Apakah kamu belum tahu, tentang tanduk kambing?"
Dia membalasnya.
< Sebenarnya aku ingin sekali menceritakan kakaku kepadamu tetapi waktunya sekarang tidak pas untuk membahasnya.>
Aku hanya menggelengkan kepala kepadanya.
"Itu sebuah penyakit langka yang di buat oleh jin kepada umat manusia. Jikalau sudah sampai mengirim Glendeng Pecik tidak berhasil, maka Jin pun akan mengirim tanduk dan di pasakkan ke anggota badan. Maka dalam jarak seminggu, orang yang terkena tanduk tersebut akan meninggal."
Hahh, aku tidak menjawabnya. Aku hanya terdiam memberi ekspresi kepadanya bahwa aku akan baik-baik saja.
"Hei, H tenanglah. Pasti kita akan mencari jalan keluarnya."
***
Ternyata anak laki-laki itu adalah anaknya kak Emi kakaku. Namanya Angga. Dia masih duduk di sekolah dasar.
Hari ini kuperhatikan semua orang sibuk, Ayah, ibu, kakaku juga.
"Kak, mengapa semua orang kelihatan sibuk hari ini?"
Terpaksa aku menggunakan telepatiku padanya. Karena hari ini aku juga masih tertidur di ranjang, karena rasa sakit ini semakin menjadi. 4 hari sudah aku tidak turun dari ranjang.
"Kita sedang membuat "Selametan Tebus Urip" , itu ditujukan kepada Jin yang tertendang olehmu. Kita mau minta maaf dengan baik-baik, agar dia mencabut tanduk itu sebelum makhluk berkepala kambing menghampirimu."
"Apa makhluk berkepala kambing?"
"Sudahlah kamu mendingan istirahat saja."
Makhluk Berkepala kambing??? Menghampiriku???
Hmm aku jadi semakin bingung...
"Awan, datanglah aku butuh teman"
Kupanggil awan, karena saat ini yang bisa kulakukan adalah hanya terbaring di atas ranjang. Karena gerak sedikit rasa sakitnya setengah mati, serasa sudah ada sebuah pasak kurasakan tertancap di perutku. Yang jikalau aku bergeser pasti akan sakit sekali.
"Hei, apakah kamu sudah baikkan?"
Awan datang menghampiriku menembus jendela kamarku.
"Apakah kamu melihat aku baik-baik saja?"
Tanpa ucapan katapun dia menunjukkan ekspresi rasa yang menyesal karena bertanya itu padaku.
"Dirumahmu sedang membuat sebuah acara persembahan"
Dia menambahkan.
"Memangnya seperti apa mereka mempersiapkannya?"
Aku bertanya kepadanya karena dia tahu kesibukkan yang berada di dapur.
"Ayahmu seharian ini mencari-cari ayam betina yang bulunya lima warna atau disebut dengan Panca Warna. Sedangkan ibu kamu mencari telur yang di keluarkan dari ayam jantan. Kakakmu, dia menyiapkan bunga 7 rupa dan nasi kuning beserta jenang merah."
"Apakah sampai serumit itu mereka membuatnya?"
"Ya, karna demi kamu. Agar kamu tidak diambil oleh jin itu"
Awan menambahkan.
Duh,, duhh terkadang menjadi orang yang tidak normal itu sangat menyusahkan dan sulit dijalani. Apalagi jikalau ada di jawa, dan masih kental akan hal yang berbau mistis.
"Apakah kakaku tidak tahu akan keberadaanmu?"
Aku bertanya kepadanya.
"Hmm, dia tidak tahu. Karena aku sudah bilang kepadamu bahwa aku disini rela menunggu 13 th hanya untukmu. Dan aku sengaja tidak menunjukkan diri kepada mereka, aku hanya menunjukkan diri kepadamu"
"Apakah kamu akan terus seperti ini?"
Dia hanya terdiam setelah aku menanyakan hal itu kepadanya.
***
Suara Adzan Maghrib sudah berkumandang.
Persembahan sudah dikirimkan di bawah pohon alpukat oleh ayah. Kemudian ibu datang mengahampiriku ke kamar.
"Nak, jangan bergerak ya"
Ibu naik keatas ranjang dengan berdiri. Kemudian dia melangkahi badanku berbolak-balik sebanya tujuh kali.
Kemudiam dia keluar dari kamar dan menutup pintu.
Aku hanya bisa diam, dan tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini.
Kupanggil Awan, tetapi dia tidak datang. Kupanggil kakaku tetapi dia tidak menjawab.
Kemudian setelah berberapa lama berselang. Ku melihat sesosok makhluk berjubah hitam dan berkepala kambing. Dia mengambang di atasku di ujung dinding depanku.
Dia membawa sebuah tongkat, seluruh badannya tertutupi oleh jubah hitam panjang.
Kumelihatnya hanya diam, dia hanya memiliki satu Tanduk di kepalanya.
Dia menatapku dengan tatapan kosong.
Apa ini, apa yang akan dia lakukan terhadapku.. apa ini.
.
"Ibu,,,?"
..
.
"Ayah...?"
..
.
"Kak Emy...?"
____
==========
Aku tidak tahu apakah harus melanjutkan cerita ini atau meloncati saja. Aku belum tahu apakah aku harus menceritakan kepadamu.?.
==========
.
.
.
.