Hujan ringan masih mengguyur sebagian wilayah ibukota. Zia terlihat sibuk menyiapkan hidangan makan malam. Sudah lama dia tidak berkreasi di dapur mungilnya ini. Walaupun sederhana, dia yakin Eiverd pasti akan menyukainya. Zia melirik jam dinding yang tergantung rapi dengan detakan yang samar terdengar. Sedikit lagi pasti kekasihnya tiba.
Aroma tumis kangkung begitu menggoda selera. Zia sengaja memasak makanan khas Manado malam ini. Selain tumis kangkung, terlihat ikan bakar lengkap dengan sambal matahnya, bakwan jagung, dan ayam yang dimasak khas Manado.Itu terlihat sangat pedas. Wanita itu terlalu rindu dengan kota kelahirannya. Semenjak memutuskan menetap di Jakarta tiga tahun yang lalu, Zia belum pernah ke Manado lagi. Urusan pekerjaan sangat menyita waktunya. Apalagi setelah orang tua dan adiknya menyusul menetap di Jakarta, rasanya untuk kembali ke Manado sudah agak sulit.
Dentingan bel pintu membuat Zia tersenyum. Eiverd datang di waktu yang tepat. Semua hidangan sudah tersaji di atas meja. Zia merapikan diri di depan cermin sebelum membuka pintu. Naluri sebagai wanita selalu muncul ketika dia akan bertemu kekasihnya itu. Dia harus terlihat cantik. Zia kembali merapikan rambutnya, mengambil cologne yang terletak di depan cermin, mengoleskan kembali lipstick ke bibirnya yang mungil dan merapikan pakaiannya. Perfect, batinnya di depan cermin.
" Aroma masakanmu begitu menggoda, seperti kau malam ini." Eiverd mengenduskan hidungnya, mengecup kening wanitanya itu dan mendaratkan ciuman itu di leher jenjang Zia yang cukup membuat bulu kuduk Zia berdiri. Eiverd selalu tahu cara memprovokaisnya.
" Jujur saja kalau masakanku lebih menarik dibandingkan aku." Zia memasang wajah cemberut ketika melihat Eiverd langsung mencomot bakwan yang berada tepat didepannya. Lelaki itu hanya tersenyum melihat tingkah kekasihnya.
"Maaf akhir-akhi ini aku sibuk." Suara Eiverd pelan namun Zia dapat mendengarnya dengan jelas. Zia tertegun, namun senyuman terukir di dalam hatinya. Lelaki ini tahu kalau dia telah menyakiti hati wanitanya.
" Ambilkan aku sebotol wine dan maafmu ku terima." Kata Zia yang mengalihkan perhatian pada makanannya.
" Kamu tahu aku bawah wine?" Tanya Eiverd sedikit kaget. Setahunya Zia tidak melihat ketika dia masuk membawa sebotol wine yang langsung disembunyikan di lemari kecil dekat pintu masuk.
" Mungkin kamu lupa kalau wanita itu lebih hebat dari FBI mau pun CIA. Hanya dengan satu tatapan aku dapat mengetahui segala gerak-gerikmu sayang." Sontak tawa mereka pecah. Eiverd segera berdiri mengambil wine tersebut dan melayani kekasihnya. Walaupun kata-kata terakhir Zia sedikit menganggu kenyamanannya. Apakah sebenarnya Zia sudah tahu?
" Selesai ini mau jalan? Sepertinya hujan sudah berhenti, mungkin ada film yang ingin kamu tonton di bioskop?" Tanya Eiverd sambil meneguk wine di gelasnya.
"Malam ini aku hanya butuh kamu dan wine ini." Jawab Zia tersenyum sambil mengangkat gelas wine ditangannya dan menghabiskannya dalam satu tegukan.
Selesai makan Zia membersihkan meja dan mencuci piring kotor. Eiverd terlihat sibuk dengan handphone-nya. Sesekali lelaki itu tersenyum sendiri. Disudut dapur Zia terus memperhatikan tingkah kekasihnya. Sepertinya dia sedang chating dengan seseorang, pikir Zia. Setelah dapurnya bersih, piring-piring diletakkan di tempatnya Zia mengambil botol wine di meja makan dan memindahkannya ke ruang tamu. Dia mengambil gelasnya yang masih berisi wine dan duduk di tepi jendela yang menghadap keluar. Terlihat ratusan kendaraan lalu lalang, kelap kelip lampu dan bunyi klakson menambah semarak malam ini. Diluar masih hujan, perkiraan Eiverd tentu saja meleset.
Zia diam menikmati keindahan lampu diluar sana yang bersanding dengan tetesan-tetesan air hujan. Sesekali dia melirik ke arah Eiverd yang masih asyik dengan handphone-nya.
" Masih sering ketemu Tias?" Tanya Zia memecah kesunyian yang entah sudah berapa lama tercipta.
"Hmmmmm, sudah lama tidak bertemu. Kenapa?" Eiverd balik bertanya pada kekasihnya itu.
" Bukannya kalian pernah bertemu beberapa waktu lalu?" Tanpa sengaja aku melihat kalian keluar dari restoran di seberang jalan kantorku." Ucap Zia tenang namun tetap memperhatikan mimik wajah pacarnya.
" Ohh waktu itu memang aku sempat bertemu dia, yah pertemuan yang tidak disengaja dan Tias ajak aku makan malam sekalian." Eiverd menjawab namun masih tetap terpaku dengan handphone di genggamannya. Zia sedikit gusar melihat itu, namun dia berusaha tetap tenang.
Zia hanya mengangguk-nganggukan kepalanya, memilih menyudahi sesi tanya jawab yang berakhir dengan kekecewaan. Seberapa penting orang yang chating dengan kekasihnya itu sehingga mengabaikan wanitanya sendiri. Zia mendengus kesal. Semoga saja hanya karena dia kelelahan sampai berubah menjadi sensitif seperti sekarang. Biasanya pertemuan mereka begitu hangat, tetapi malam ini sedikit berbeda. Zia berusaha menguasai dirinya agar tidak melebihi batas. Bagaimanapun ini pertemuan mereka setelah beberapa hari Eiverd menghilang tanpa kabar.
Eiverd menyadari kekesalan kekasihnya, dia berdiri dan berjalan ke arah dimana Zia duduk. Eiverd mendekap Zia dari belakang dan mengecup rambut berwarna kecoklatan itu. Aroma sampo Zia masuk ke saluran pernapasan Eiverd, membuatnya menarik nafas dalam. Zia hanya tersenyum kaku, ada hal yang masih mengganjal hatinya. Tiba-tiba beribu pertanyaan menari dalam pikirannya. Mungkinkah selama ini Eiverd berbohong padanya? Ada apa dengan pertemuannya dengan Tias? Mengapa tadi Eiverd harus berbohong? Dengan siapa dia chating sampai tersenyum penuh arti? Dan sesibuk-sibuknya dia, apakah wajar tidak memberi kabar sampai berhari-hari? Namun berjuta pertanyaan yang ada di benaknya selalu sirna begitu saja karena dia terlalu mencintai lelaki yang sedang memeluknya sekarang.
Pelukan itu terlepas ketika handphone Eiverd berdering. Bukan lagi nada dering yang menandakan pesan masuk, tapi sebuah panggilan telepon. Eiverd mengabaikan panggilan tersebut dan kembali memeluk Zia.
Zia hanya terpaku, tubuhnya bergetar ketika dia melihat siapa yang menelepon kekasihnya itu. Tetapi saat ini dia harus mampu mengendalikan dirinya. Mungkin saja dia yang terlalu berlebihan. Namun tetap saja itu sangat menganggunya.
Apakah kecurigaannya selama ini benar? Mengapa mereka masih berhubungan? Bukankah? Zia tidak mampu lagi meneruskan beribu pertanyaan yang datang saat ini. Otaknya berusaha menolak semua kekhawatiran ini. Dia mengenggam erat tangan Eiverd yang melingkar di pingangnya dan berharap semua baik-baik saja, tidak seperti yang dibayangkannya.
Bodoh? Iya, saat ini Zia memang terlihat sangat bodoh karena tidak bisa menanyakan semua itu pada Eiverd. Kalian akan merasakannya sendiri, ketika kalian terlalu mencintai seseorang. Cinta memang bisa menaklukan kegetiran hati Zia saat ini, membuatnya terlihat tak berdaya.
Malam ini mereka seperti sepasang kekasih yang bertengkar. Eiverd lebih memilih diam dan Zia tidak ingin mencari tahu alasannya. Bukankah semakin banyak yang kau tahu akan semakin melukaimu? Kata-kata itu selalu hadir dibenak Zia, menutup malam yang berakhir suram. Berpisah tanpa sepatah katapun.