Pekerjaan kantor yang menumpuk cukup membuat kepala Zia berdenyut-denyut sakit. Masih ada beberapa berkas yang harus diperiksa, tapi rasa sakit di kepala malah semakin hebat. Jam sudah menunjukkan hampir pukul sepuluh malam. Pantas saja kepalanya nyut-nyutan, seharian dia hanya makan roti tawar dan segelas teh hangat, itupun sudah dari jam sembilan pagi.
Zia merapikan mejanya, menyusun berkas-berkas yang sudah diperiksa dan memisahkannya. Dia butuh makan malam, baru setelah itu dia akan kembali dan melanjutkan pekerjaannya. Akhir bulan memang selalu banyak pekerjaan. Dia menyambar tas yang terletak disudut meja paling ujung dan bergegas keluar mencari restoran terdekat.
Restoran disekitar kantornya kebanyakan hanyalah restoran kecil, itulah sebabnya nampak kegelisahan di raut wajahnya. Semoga masih ada yang buka, batinnya.
Dan hari ini benar-benar naas bagi Zia, semua restoran itu sudah tutup. Sudah pukul sepuluh, wajar saja mereka tutup. Dengan langkah gontai, dia berjalan menyusuri sudut perkantoran dan berharap bisa menemukan restoran yang masih buka. Nihil!
Langkahnya terhenti, kenapa dia tidak memesan makanan lewat aplikasi online? Stupid! Zia mengetuk-ngetuk jidatnya sendiri menyadari kebodohannya. Dia berbalik secepatnya menuju kantor, perutnya sudah keroncongan dari tadi. Kepalanya kadang masih nyut-nyutan.
Di ujung jalan sebelum berbelok menuju kantor, Zia menabrak seorang lelaki bertubuh tinggi.
"Maaf, ngak sengaja." Ucap Zia segera sambil menggerutu dirinya sendiri yang sedari tadi tidak fokus.
"Zia kan?" lelaki itu terlihat ragu menyebut nama Zia karena penerangannya agak kurang.
"Aldo? Duhh maaf yah ngak sengaja. Btw, ngapain disini?" Tanya Zia agak terkejut mengetahui lelaki yang baru disambarnya itu adalah Aldo, teman Eiverd.
"Kantorku disekitar sini." Jawab Aldo ramah sambil menunjuk letak gedung bertingkat yang hanya bersebelahan dengan gedung kantor Zia.
"Ohh jadi kamu kerja disitu, aku barusan pindah disini." Zia menjelaskan dan menunjuk gedung kantornya juga.
"Belum pulang? Udah jam sepuluh lewat." Tanya Aldo sambil melirik jam tangan branded yang melingkar di tangan kirinya itu.
"Banyak kerjaan, aku lembur. Ini mau nyari makan tapi restoran dekat sini semua sudah tutup." Zia menjawab dengan raut wajah memelas, menandakan dia memang sedang dilanda kelaparan.
"Aku juga lagi lembur, kebetulan mau ke cafe nyari kopi, yuk bareng aja. Disana ada nasi goreng kok, jadi bisa ganjal perut kamu." Tanpa menunggu persetujuan Zia, Aldo menarik tangannya dan berjalan ke arah cafe yang terletak di seberang kantor mereka.
Mereka menyusuri gedung-gedung bertingkat yang ada diseberang kantor, memasuki jalan setapak kecil. Kira-kira berjalan hampir dua ratus meter, mereka sampai di cafe yang di maksud Aldo. Zia melayangkan pandangan ke sekelilingnya. Dia baru sadar ternyata mereka berada di blok yang lain, suasana disini masih agak ramai dibandingkan blok perkantorannya.
"Pasti kamu baru sekarang lewat sini." Aldo tersenyum melihat Zia yang kebingungan.
"Iya, aku baru tahu kalau jalan setapak kecil itu bisa nembus disini. Maklum aja, aku baru pindah jadi belum familiar dengan jalan-jalan disini." Jelas Zia sambil tersenyum.
"Yukk masuk, keburu kamu pingsan karena kelaparan." Tawa Aldo kecil melihat Zia yang langsung manyun.
Mereka masuk ke dalam cafe kecil namun elegan. Di sudut depan terlihat seorang wanita cantik menyanyikan sebuah lagu. Suasana cafe cukup ramai tapi tidak padat. Mereka memilih duduk disudut kanan cafe yang menghadap keluar, ada taman kecil yang dilengkapi tempat duduk dan beberapa lampu taman yang menghiasi sehingga taman tersebut terlihat lebih menawan.
Zia memesan sepiring nasi goreng, kentang bakar yang diberi mayonaise dan parutan keju serta jus apel favoritnya. Aldo hanya tersenyum karena didepannya hanya terhidang secangkir kopi hitam pekat dengan uap yang mengepul diatasnya.
"Ngak takut gemuk?" Tanya Aldo dengan senyum tipis melihat pesanan Zia.
"Lagi laper banget, gemuk dikit ngak apalah yah." Zia menjawab tanpa memandang Aldo karena dia sudah sibuk dengan makanannya.
Aldo hanya tersenyum geli melihat tingkah Zia, yang menurutnya ngak ada jaim-jaimnya di depan cowok. Ternyata dia orang yang menyenangkan, pikir Aldo. Selama ini dia selalu menganggap Zia jutek. Apalagi selama kuliah, mereka tidak pernah bertegur sapa sekalipun kuliah di jurusan yang sama.
Tidak butuh waktu lama bagi Zia untuk menghabiskan makanannya. Dia memang bisa dibilang sedang kelaparan.
"Makasi yahh Al, kalo ngak ketemu kamu mungkin aku sudah mati kelaparan di kantor." Kata Zia sambil menyeka mulutnya dengan selembar tisu. Aldo tidak menjawab, hanya menatap wanita di depannya itu dengan kagum. Mungkin kalau Zia mengikuti lomba makan tercepat, dia bakalan menang. Pikiran itu lewat dalam kepala Aldo yang kemudian membuatnya tersenyum lagi.
"Ada apa sih senyum-senyum terus?" Zia mulai merasa risih dengan tingkah Aldo.
"Karena senyumku menawan" Kata Aldo yang membuat mereka tertawa terbahak-bahak.
"Kalau aku lapar, siap-siap aja kamu aku culik yah. Soalnya aku makan banyak kalau sama kamu."
"Nanti pacarmu marah." Jawab Aldo enteng.
Zia hanya terdiam mendengar jawaban Aldo. Apakah mungkin Aldo sudah tahu hubungannya dengan Eiverd? Tapi darimana dia tahu? Ngak mungkin Tias yang bilang, dia sudah janji ngak akan kasi tahu siapapun apalagi teman-teman mereka.
"Ternyata disini restoran sama cafe masih buka walau jam segini yah?" Zia berusaha mengalihkan pembicaraan.
Aldo hanya mengangguk mengiyakan. Dia melirik jam tangan, ternyata sudah jam sebelas lebih. Zia langsung berjalan ke arah kasir untuk membayar tagihan makanan mereka, yang awalnya di protes Aldo. Tapi karena Zia berkeras akan membayar tagihan, Aldo pun menyerah. Berurusan dengan cewek emang ribet.
Mereka keluar cafe, berjalan santai menikmati udara Jakarta. Jalanan masih terbilang ramai namun sudah tidak macet lagi. Tiba-tiba mata Zia terpaku pada sebuah mobil yang tidak asing baginya, mobil Eiverd. Zia berjalan pelan, penasaran dengan siapa yang berjalan disamping pacarnya itu. Seketika dia tertegun, itu Tias. Tias menggandeng tangan Eiverd dengan manja. Mereka terlihat baru keluar dari salah satu restoran di seberang cafe tempat Zia dan Aldo makan. Terlihat jelas dari kejauhan senyum lebar mereka.
Perlahan mobil itu bergerak maju dan menghilang dari pandangannya, Zia baru tersadar bahwa dia sedang bersama Aldo. Untung saja nampaknya Aldo tidak melihat mereka, kedua temannya itu.
Mereka berpisah di depan kantor Zia. Zia mengucapkan terima kasih pada Aldo yang sudah menemaninya makan. Sekali lagi lelaki itu hanya tersenyum dan pergi.
Di ruangan yang sepi itu, Zia bertanya-tanya mengapa Eiverd tidak mengabarinya jika akan pergi dengan Tias? Begitu juga Tias.
Dasar tolol, Zia berusaha menyadarkan dirinya. Mereka kan sahabat, mungkin saja Tias memang ada urusan sama Eiverd. Dia menyesal sudah mencurigai pacar dan sahabatnya itu. Seketika dia terhanyut dengan sisa pekerjaan yang menumpuk di depannya.
Sementara di gedung seberang, Aldo mengeluarkan handphone dan mencari nomor Tias.
Sebaris pesan terkirim.
"Kamu dimana"
Tak berapa lama, pesan dari Tias masuk.
"Di rumah aja"
Alis lelaki itu tampak mengeryit, namun dengan cepat membalas pesan tersebut.
"OK"