Setelah pertemuan di acaranya Tias, Eiverd semakin rutin menghubungi Zia via whatsapp ataupun messenger. Basa basi tidak penting selalu dilayangkan Eiverd seakan memang mencari bahan pembicaraan dengan Zia.
Zia bingung apakah harus menyesal atau senang memberikan nomor teleponnya pada Eiverd. Dia terlalu bingung untuk mencerna sikap Eiverd yang terkesan blak-blakan mengungkapkan perasaannya walaupun dengan cara yang sedemikian halus. Disisi lain Zia senang handphone-nya sekarang tidak lagi seperti kuburan. Sepi! Tapi tetap saja tindakan Eiverd yang agak berani ini belum menggoyahkan hati Zia. Yah karena dia masih memiliki pacar, lebih tepatnya calon mantan pacar. Ohh damn it! Memikirkan dan harus membahas pacarnya cukup membuat Zia membeli Paramex. Hubungan dengan pacarnya memang sudah di ambang kehancuran. Zia merasa tidak ada lagi kecocokan, setiap bertemu mereka hanya bertengkar dan bertengkar. Zia terlalu lelah meladeni semua tuduhan dan imajinasi pacarnya yang selalu menuduhnya punya pacar lain. Tingkat kemarahan Zia memuncak malam ini, ketika Adrian, pacarnya mengajak dia makan malam namun berakhir dengan interogasi yang menurut Zia bahkan tidak penting untuk dibahas di acara makan malam mereka. Mengapa Adrian selalu membuatnya marah? Dia berdiri, mengambil tas dan langsung berjalan ke arah mobil yang diparkir dekat taman. Tentu saja Adrian mengejarnya tanpa bersuara. Dia tau Zia marah namun entah mengapa Adrian enggan untuk minta maaf. Salah satu alasan mengapa Zia semakin merasa tidak cocok, karena Adrian memiliki tingkat kecemburuan diluar batas dan ego yang tinggi.
Zia diam di dalam mobil, Adrian sedang mengantarnya pulang. Jalanan agak macet karena malam ini malam minggu. Terdengar getaran handphone Zia dari dalam tas-nya. Dengan malas Zia meraih telepon genggamnya. Satu pesan via whatsapp masuk. Eiverd! Zia membuka pesan itu dan tanpa dia sadari senyuman kecil terukir di bibirnya. Untung saja cahaya dalam mobil begitu minim, hanya cahaya dari dashbord sehingga Adrian tidak memperhatikan tingkah Zia.
Zia memutuskan membalas pesan Eiverd nanti begitu tiba di rumah. Satu hal yang pasti mood-nya telah berubah.
Jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari namun Zia masih asik chating dengan Eiverd. Segala hal tidak penting sudah di bahas. Di antara mereka berdua tidak ada yang ingin mengakhiri pembicaraan konyol tersebut hingga Zia terpekik ketika Eiverd mengirimkan emoticon tertawa dan bertanya apa maksud dari emoticon yang Zia kirim sebelumnya. Zia bingung karena dia memang hanya asal mengirimnya, dan dalam waktu tiga detik dia sudah membenamkan kepalanya di bantal yang ada tepat di depannya. Itu emoticon pelukan Zia Fransiska Ang! Ohh Holy Mary of God. Tanpa dikomando warna merah pada tomat yang ada di kulkas Zia, langsung berpindah di pipinya. Berharap Eiverd tidak salah menanggapi emoticon tersebut namun sepertinya terlambat. Emoticon yang sama dikirim Eiverd disertai penyesalan dari Zia yang merasa begitu bodoh. Bahkan arti emoticon dia tidak tahu. Umumnya Zia hanya tau emoticon dalam bentuk tertawa dan menangis. Stupid! Zia memaki dirinya sendiri. Sedangkan diseberang sana, senyum Eiverd bahkan tidak bisa hilang dari sudut bibirnya. Lampu hijau sudah dinyalakan. Ini kesempatan Eiverd untuk mendekati Zia. Senyum penuh kemenangan itu membuat Eiverd tidur dengan tenang, dan untuk Zia tentu saja dia ingin menenggelamkan dirinya di samudera Pacifik hanya karena kesalahan kecil namun fatal yang dilakukannya barusan. Ohhh Nyi Roro Kidul, bantu aku! Desis Zia dengan wajah tertutup selimut.