Mata Zia terlihat memerah. Mencoba menahan emosi yang bergejolak dalam dirinya. Air mata hampir jatuh namun dia berhasil menahannya. Untuk yang kesekian kalinya Zia bertengkar dengan papanya, yang sampai saat ini masih terlalu ikut campur dengan kehidupannya. Zia memang belum menikah dan otomatis kedua orang tuanya masih bertanggung jawab penuh atas dirinya, tapi bukan seperti ini yang dia inginkan. Dia terlalu lemah untuk membantah perkataan papanya yang tidak memiliki dasar apapun. Mungkin karena sejak kecil Zia memang tidak pernah melawan kedua orang tuanya. Berbeda dengan Tere yang selalu memilih aduh mulut dengan papa dan mama. Berbeda dengan Tere yang selalu melakukan apa yang dia inginkan. Zia tidak bisa begitu. Dia terlalu menghormati mereka sehingga disaat seperti ini dia tidak dapat membantah. Dia tidak dibesarkan untuk menjadi anak kurang ngajar pada orang tua.
Masih jelas teringat ketika Zia akan masuk perguruan tinggi, papa yang memilih jurusan apa yang akan diambil. Segala sesuatu diurus oleh papa. Hak untuk memilih dan mengemukakan pendapat dicabut untuk sementara waktu. Zia hanya pasrah dan menjalani itu semua tanpa satu kata bantahan keluar dari mulutnya. Hal serupa terjadi pada Tere, tapi bedanya Tere memberontak dengan out dari kampus. Alasannya cukup masuk akal, dia tidak suka jurusan yang dipilih papa! Bahkan adiknya itu memilih menikah di usia muda agar papa sadar bahwa kami sudah terlalu dewasa untuk diatur seperti anak kecil.
Potongan - potongan kenangan masa kecil mulai menghampiri pikiran Zia. Dia hanyalah anak kecil yang jauh dari kata menikmati masa kecilnya. Ketika teman-temannya sibuk bermain kelereng dan lompat tali, Zia sibuk menghafal perkalian, pengurangan dan pembagian. Dia sibuk belajar membaca dan membantu mama dirumah. Positifnya Zia sudah bisa membaca di usia empat tahun. Waktu berada di taman kanak-kanak bahkan sampai lulus SD, dia selalu juara kelas dan menjadi murid kesayangan para guru. Tentu saja papa sangat bangga akan hal itu, tanpa menyadari dia telah merebut kebahagiaan masa kecil anaknya yang harusnya berbaur dan bermain dengan teman sebaya Zia. Papa memiliki sifat diktator, apalagi ketika kami masih kecil. Mungkin sifat seseorang memang tidak akan pernah hilang, buktinya walau tidak seperti dulu lagi, sifat itu masih ada dan sangat jelas. Itulah mengapa Zia tumbuh menjadi anak yang minder, dan selalu menyembunyikan perasaannya
sendiri. Dia tidak dapat mengekspresikan perasaannya dengan bebas. Zia lebih memilih memendamnya, dan itu melukainya.
Suara lembut seorang wanita paruh baya mengembalikan kesadaran Zia dari ingatan masa lalunya.
" Mama tau perasaan kamu. Kamu masih seperti yang dulu, diam ketika papa marah. Mama sangat menghargai itu. Disisi lain papamu memang keterlaluan, tapi mama harap kamu bisa memakluminya." senyum tipis terukir di wajah mamanya, berharap Zia dapat mengerti.
" Tapi ma, sampai kapan papa akan ikut campur dengan pekerjaanku? Dengan kehidupan pribadiku? Apa kalian tidak ingin melihat aku menikah? " Kata-kata itu tajam namun terucap dengan tenang. Mamanya menarik nafas dalam, memahami betul maksud anak sulungnya ini.
" Kalo cara papa kayak gini lagi, aku bakalan pergi lagi, seperti tiga tahun yang lalu."
Masih segar di ingatannya, bagaimana Zia bertengkar dengan papanya karena masalah pekerjaan sehingga dia harus melarikan diri ke ujung timur Indonesia. Mencari pekerjaan disana dan menghukum mereka dengan hanya sekali pulang untuk menjenguk mamanya yang sakit saat itu. Tiba-tiba rasa sakit merasuk dadanya. Seperti ada sebilah pisau yang sangat tajam menyayat hati dan menghancurkannya. Zia teringat bagaimana saat itu dia bertengkar hebat dengan papanya hanya karena status Saint, mantannya sebelum Adrian yang sudah duda di usia muda. Zia tipe wanita yang bergaul dengan siapa saja dan tidak mempermasalakan status sosial seseorang. Berbeda dengan orang tuanya bahkan mungkin sebagian besar orang tua yang tidak suka melihat anak gadisnya menjalin hubungan dengan pria yang sudah pernah menikah. Siang itu mereka bertengkar hebat lewat telepon. Tentu saja Zia tidak bisa menerima semua tuduhan papanya. Mereka tidak tau apa-apa tentang Saint! Bahkan sampai saat ini Zia masih emosi memikirkan itu, karena pada akhirnya dia harus mengalah dan meninggalkan Saint dengan tidak adil. Hanya karena dia tidak ingin menjadi anak durhaka. Hanya karena tidak ingin menjadi malinkundang versi wanita.
Dan lagi-lagi, semua ini harus disimpan Zia seorang diri tanpa ada yang peduli dengan perasaannya. Rasa sakit ini masih sama, seperti 25 tahun yang lalu, dan 3 tahun yang lalu. Zia menangis dalam diam ketika mamanya pergi dari kamar yang sendu itu.
Bahkan Eiverd tidak tau bagian ini, mungkin karena mereka baru di awal hubungan pacaran.