Di keheningan malam, cahaya bulan menembus celah jendela kayu, menyelimuti ruangan dengan sinar perak yang lembut. Angin berbisik pelan di luar rumah, membawa ketenangan yang seharusnya menenangkan jiwa siapa pun yang tertidur di dalamnya.
Namun, di ranjang kecil yang terbuat dari kayu jati, seorang anak laki-laki mulai menggeliat.
Kelopak matanya yang panjang dan putih bergetar sebelum akhirnya terbuka, menampakkan mata biru jernih yang tampak seperti langit di musim dingin. Cahaya bulan memantul di irisnya, membuatnya terlihat seperti permata langka yang bercahaya dalam kegelapan.
Saat kesadarannya kembali, pikirannya dipenuhi oleh bayangan yang samar.
Dalam ingatannya, ia melihat seorang wanita berdiri di bawah sinar bulan. Rambut panjang berwarna putih perak tergerai indah, bergoyang lembut tertiup angin malam. Wajahnya begitu cantik dan lembut, kelopak matanya putih bersih, dan mata birunya penuh kehangatan.
Wanita itu tersenyum padanya.
Di dalam ingatannya, ia merasakan kehangatan yang tak bisa dijelaskan. Tangannya yang kecil pernah menggenggam jubah lembut wanita itu, tubuh mungilnya pernah berada dalam dekapannya. Ia mengingat suara yang menenangkan, nyanyian lembut yang dibisikkan di telinganya.
Namun, saat ia mencoba mengingat lebih jauh—
SRAK!
Sebuah rasa sakit tiba-tiba meledak di kepalanya, seakan ada rantai tak terlihat yang menahan ingatannya.
"Aaa…!"
Tubuh kecilnya mengejang, napasnya memburu, dan tanpa sadar, air mata mulai menggenang di sudut matanya sebelum jatuh bergulir di pipinya.
Kesedihan yang tak ia mengerti menguasai hatinya. Hanya satu kata yang bisa ia ingat…
"Ibu…!"
Tangisnya pecah dalam ruangan yang sunyi, menggema di antara dinding-dinding kayu yang kokoh. Tubuh mungilnya bergetar, seolah merasakan kehilangan yang mendalam, meskipun ia tak tahu apa yang telah hilang darinya.
Di sudut ruangan, Wen Qingshan dan Yue Xiulan yang terlelap segera terbangun. Yue Xiulan dengan cepat mendekat, wajahnya penuh kekhawatiran.
"Nak, kau baik-baik saja?" bisiknya lembut, tangannya mengusap rambut putih anak itu dengan hati-hati.
Anak itu mendongak, mata birunya yang basah menatap Yue Xiulan dengan ketakutan. Hatinya yang kecil masih merasakan kesedihan yang mendalam, tetapi saat merasakan kehangatan dari sentuhan tangan wanita tua itu, tangisnya perlahan mereda.
Wen Qingshan duduk di tepi ranjang, mengamati dengan saksama. Ia bisa merasakan ketidakbiasaan dari anak ini, bukan hanya dari tanda bulan sabit yang ia lihat sebelumnya, tetapi dari aura yang mengelilinginya—sebuah kekuatan yang belum terbangun.
Ketika Yue Xiulan hendak menyelimuti anak itu kembali, sesuatu di tangannya menarik perhatian mereka.
Sebuah potongan kayu kecil tergenggam erat di jemari mungilnya. Permukaannya kasar, namun ada tulisan samar yang terukir di atasnya.
(Lín)
Yue Xiulan menatap suaminya. "Lín... apakah ini namanya?"
Wen Qingshan mengambil kayu itu, mengamatinya dalam keheningan. "Lín... sebuah nama yang membawa arti keagungan. Tapi tanpa marga, ia hanyalah anak tanpa akar."
Ia menatap anak itu, yang kini sudah berhenti menangis dan hanya menatap mereka dengan mata penuh kebingungan. Seakan memahami bahwa mereka membicarakannya, tangan kecilnya meremas kain selimut dengan erat.
Yue Xiulan tersenyum lembut. "Bagaimana jika kita memberinya marga Wen? Ia sudah menjadi bagian dari keluarga kita sekarang."
Wen Qingshan mengangguk, keputusan itu terasa alami baginya. "Wen Linfeng". Lín dari kayu ini, dan Fēng berarti angin, seperti angin yang membawa anak ini kepada kita."
Saat nama itu diucapkan, anak itu mengerjap, seakan merasakan sesuatu yang familiar dalam namanya. Bibir kecilnya terbuka sedikit, sebelum akhirnya menggumamkan sesuatu dengan suara lemah.
"Linn..."
Yue Xiulan tersenyum penuh kasih, menarik tubuh mungil itu ke dalam pelukannya. "Ya, nak. Kau adalah Wen Linfeng."
Seiring waktu berlalu, Linfeng perlahan mulai terbiasa dengan keberadaan mereka.
Meskipun masih sangat muda, ia berbeda dari anak-anak lain. Ia jarang menangis, lebih banyak diam dan mengamati. Matanya selalu memandang dengan ketajaman yang tak wajar untuk anak seusianya, seolah-olah menyimpan pemikiran yang lebih dalam daripada yang bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Ia sering duduk di dekat jendela, memandangi langit seakan menunggu sesuatu yang tak ia mengerti. Jika diberi buku, meski belum bisa membaca sepenuhnya, ia akan memegangnya dengan hati-hati, melihat setiap halaman dengan rasa ingin tahu yang besar.
Saat akhirnya mulai bisa berbicara, ia hanya mengucapkan beberapa kata.
"Ibu… Xiulan…"
"Ayah… Qingshan…"
Suaranya lembut, pelafalannya masih kaku, tetapi cukup untuk membuat Yue Xiulan tersenyum bahagia.
Namun, di dalam hati Wen Qingshan, ada pertanyaan yang tak kunjung hilang.
Siapa sebenarnya anak ini?
Dan mengapa, bahkan setelah dirawat dengan penuh kasih sayang, masih ada kesedihan yang tersisa di dalam matanya?