Chereads / Warisan bulan / Chapter 6 - Bayangan di Langit

Chapter 6 - Bayangan di Langit

Di balik gumpalan awan yang menggantung di langit, sebuah pulau melayang tampak megah di antara rembulan dan bintang-bintang. Pulau itu bukan sembarang tempat—ia adalah tanah suci para kultivator tingkat tinggi, sebuah dunia yang terpisah dari dunia fana di bawahnya.

Paviliun-paviliun megah berdiri kokoh, berhiaskan ukiran naga dan burung phoenix yang seakan hidup di bawah sinar bulan. Di sepanjang jalan setapak berbatu giok, para kultivator berlalu lalang, beberapa berjalan dengan penuh wibawa, sementara yang lain melayang di udara, melatih ilmu pedang di atas bilah-bilah senjata mereka yang bersinar keperakan. Di berbagai sudut, hewan-hewan magis berkeliaran—seekor qilin putih dengan tanduk emas melangkah anggun di tepi sungai jernih, sementara seekor burung phoenix biru mengepakkan sayapnya di puncak salah satu paviliun.

Di sebuah sudut yang lebih tenang, seorang wanita duduk di atas panggung kayu, di bawah pohon sakura yang kelopak-kelopaknya berguguran tertiup angin. Ia mengenakan jubah putih bersulam perak, dan cadar tipis menutupi wajahnya, hanya menyisakan sepasang mata biru pucat yang tajam seperti langit malam. Rambutnya yang putih perak terurai hingga ke lantai, berkilauan di bawah cahaya bulan. Di dahinya, tanda bulan sabit bersinar samar, memancarkan aura agung yang tak bisa diabaikan.

Tangannya yang ramping dan anggun memetik senar kecapi di pangkuannya, menciptakan melodi yang tenang, namun sarat dengan ketegangan yang tertahan. Beberapa pelayan berdiri tak jauh darinya, menundukkan kepala, tak berani mengganggu.

Lalu tiba-tiba, suara petikan kecapi terhenti.

Angin berembus pelan, menggoyangkan kelopak sakura yang berguguran di sekelilingnya. Udara yang sebelumnya tenang kini terasa berat, seakan sesuatu yang tak kasat mata telah mengganggu keseimbangan pulau langit.

Putri An menatap lurus ke bawah, melewati awan yang bergulung di langit malam. Matanya yang biru pucat menyipit, sorotnya tajam dan penuh ketidakpuasan.

Di kejauhan, dua sosok melayang di udara, bertarung dengan dahsyat. Energi mereka saling berbenturan, menciptakan gelombang cahaya keemasan dan kehitaman yang menyebar ke segala arah. Ledakan demi ledakan menggema, menggetarkan langit dan mengguncang pulau melayang.

Putri An mengepalkan jemarinya di atas kecapi, tatapan matanya penuh kejengkelan.

"Lagi-lagi dua lelaki tua yang menyebalkan itu," gumamnya dingin. "Apa mereka tidak tahu tempat? Pulau langit bukan arena pertarungan untuk makhluk bodoh seperti mereka."

Pelayan di sampingnya menundukkan kepala, tak berani menyahut. Semua orang di tempat ini tahu bahwa Putri An adalah sosok yang anggun, tetapi jika ia sudah marah, tak ada yang bisa menghentikannya.

Benar saja, dalam sekejap, Putri An berdiri. Jubah putihnya berdesir, rambut peraknya berkilauan di bawah cahaya bulan. Aura dingin menyelimuti tubuhnya, dan tanda bulan sabit di dahinya bersinar samar.

"Aku akan mengusir mereka sendiri," katanya tegas, lalu bersiap melangkah ke udara.

Namun sebelum ia sempat bergerak lebih jauh, sebuah tangan kokoh menahan pergelangan tangannya dengan lembut tetapi penuh ketegasan.

"Jangan gegabah, Putri An."

Suara itu dalam dan bergema, membawa ketenangan yang berlawanan dengan ketegangan yang memenuhi udara. Putri An menoleh, mendapati seorang pria berdiri di sampingnya.

Sosoknya tinggi dan tegap, mengenakan jubah hitam dengan pola perak samar yang berpendar dalam redupnya malam. Rambutnya hitam panjang, diikat sederhana, sementara sorot matanya tajam dan penuh wibawa.

Pria itu, meskipun hanya berdiri diam, memancarkan tekanan yang luar biasa. Para pelayan di sekitar mereka bahkan tanpa sadar menahan napas, merasakan aura mengerikan yang ia sembunyikan di balik ketenangannya.

Putri An mengernyit. "Aku tidak gegabah. Mereka mengganggu keseimbangan pulau ini. Aku harus—"

"Kau hanya akan menarik perhatian yang lebih besar jika turun tangan sendiri," pria itu memotongnya. "Ada cara lain."

Ia melambaikan tangannya.

Dari bayangan di belakangnya, sebuah sosok melompat ke udara, bergerak begitu cepat hingga hanya meninggalkan jejak kabur.

Putri An mengenali orang itu.

Seorang pria berpakaian serba hitam, dengan rambut panjang yang tergerai bebas. Matanya berwarna hijau zamrud, dingin dan penuh misteri.

Hanya dalam beberapa detik, dua imortal yang sedang bertarung itu tiba-tiba berhenti. Mereka menegang, wajah mereka dipenuhi keterkejutan sebelum—

Blar!

Gelombang energi yang nyaris tak terdengar merambat di udara, begitu cepat dan sunyi. Dalam sekejap, tubuh dua imortal itu menghilang tanpa jejak, seolah mereka tak pernah ada. Tidak ada darah, tidak ada jeritan—hanya kehampaan yang tersisa di tempat mereka berdiri.

Sosok pria berpakaian hitam yang menghabisi mereka berdiri diam di udara. Matanya yang hijau zamrud berkilat dingin, ekspresinya tanpa emosi, seakan apa yang baru saja ia lakukan hanyalah tugas sepele.

Dari kejauhan, Putri An memperhatikan semua itu dengan mata menyipit. Ia memang ingin mengusir dua imortal itu, tetapi melihat mereka lenyap begitu saja dalam sekejap tetap membuatnya merasa sedikit takjub.

"Terlalu cepat," gumamnya pelan.

Pria yang berdiri di sampingnya—sosok misterius yang sebelumnya menahannya—hanya tersenyum tipis. "Kadang, kecepatan adalah solusi terbaik."

Namun, sosok yang baru saja mengeksekusi dua imortal itu tiba-tiba berhenti. Matanya menyipit, tubuhnya menegang seolah merasakan sesuatu.

Ada energi yang aneh.

Bukan dari pulau langit, bukan dari seorang imortal, tetapi dari tempat yang jauh di bawah…

Ia mengalihkan pandangannya ke bumi. Melewati awan, gunung, dan hutan lebat, hingga akhirnya, matanya tertuju pada sebuah desa kecil yang nyaris tak tampak dari ketinggian.

Energi itu… terasa familiar.

Tidak mungkin.

Tubuhnya berkelebat. Dalam sekejap, ia melesat menembus kabut malam, menekan auranya hingga ke titik terendah, menyamar sebagai seorang pengelana biasa.

Angin berdesir saat ia turun, melewati pepohonan dan jalan berbatu di desa kecil itu. Beberapa penduduk yang melihatnya hanya menoleh sekilas, lalu kembali pada kesibukan mereka.

Seorang pria tua yang sedang duduk di depan rumahnya menatapnya penuh selidik. "Kau orang baru? Dari mana asalmu?"

Sosok berpakaian hitam itu tersenyum tipis. "Aku hanya seorang pengelana."

Orang-orang tampak tak terlalu curiga. Desa ini terpencil dan jarang kedatangan orang luar, tetapi selama orang itu tidak menunjukkan tanda-tanda mencurigakan, mereka tidak akan terlalu peduli.

Namun, ketika pria itu hendak melanjutkan langkahnya, matanya tanpa sengaja menangkap sesuatu.

Di bawah cahaya bulan yang redup, seorang anak kecil dengan rambut putih perak sedang dipeluk oleh seorang wanita anggun bersanggul rapi. Mata anak itu tertutup, wajahnya tenang seperti sedang tertidur dalam dekapan hangat wanita itu.

Jantungnya tiba-tiba berdegup lebih cepat.

Anak itu…

Sosok berpakaian hitam itu terdiam di tempatnya.

Sebelum anak itu bisa membuka matanya dan menyadari kehadirannya, tubuh pria itu menghilang begitu saja, seolah tak pernah ada di sana sejak awal.