Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

ShadowBorn

SupremeChaos_
28
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 28 chs / week.
--
NOT RATINGS
122
Views
Synopsis
The Nameless Shadow
VIEW MORE

Chapter 1 - The Nameless

Malam menyelimuti dunia dalam kesunyian. Di tengah hutan yang gelap, di antara pepohonan yang menjulang tinggi, sesosok makhluk perlahan membuka matanya—atau setidaknya, dia merasa seperti itu.

Dia tidak tahu siapa dirinya. Tidak ada ingatan. Tidak ada nama.

Yang dia tahu hanyalah kegelapan yang menyelimutinya. Tubuhnya hitam pekat, seperti bayangan yang mengambil bentuk manusia. Dia melihat ke tangannya, yang tampak tidak memiliki detail, hanya siluet. Saat dia bergerak, permukaannya beriak seperti kabut yang berkumpul, namun tetap padat.

Dia tidak merasa lapar. Tidak merasa dingin. Namun, sesuatu menarik perhatiannya.

Di dekatnya, di atas tanah yang berlapis dedaunan kering, tergeletak sebilah pedang.

Cahaya bulan yang redup memantulkan kilau di sepanjang bilahnya. Seakan-akan pedang itu menunggunya. Tanpa ragu, dia mengulurkan tangan dan menggenggam gagangnya. Saat jemarinya menyentuhnya, sesuatu terasa… familiar. Dia tidak tahu dari mana perasaan itu datang, tetapi pedang ini terasa seharusnya ada di tangannya.

Dia mengangkatnya perlahan. Beratnya pas, keseimbangannya sempurna. Tanpa sadar, dia mengayunkannya ke udara. Gerakannya lancar, alami—seolah tubuhnya mengingat sesuatu yang pikirannya tidak bisa.

Dia menatap pedang itu sesaat sebelum akhirnya mulai berjalan.

Tanpa tujuan. Tanpa arah.

Langkah pertama menuju dunia

Dia berjalan melewati hutan, tidak tahu ke mana dia pergi. Langkahnya senyap, menyatu dengan kegelapan.

Dia tidak merasa takut. Tidak merasa ragu.

Dia hanya berjalan.

Angin berhembus pelan, membawa suara-suara jauh. Burung malam berseru di kejauhan, serangga bernyanyi di antara rumput. Namun, tak satu pun dari itu menarik perhatiannya.

Hingga akhirnya, dia keluar dari hutan.

Di hadapannya, terbentang padang rumput luas, diterangi oleh sinar bulan. Dan di kejauhan, dia melihat cahaya lain. Bukan cahaya bulan, bukan bintang—tetapi api.

Dia melangkah mendekat.

Semakin dekat, semakin jelas. Api unggun, dikelilingi beberapa sosok. Mereka duduk, berbicara, tertawa.

Manusia.

Dia tidak tahu bagaimana dia mengenali mereka. Tetapi dia tahu… mereka berbeda darinya.

Dia terus berjalan, tidak berusaha menyembunyikan keberadaannya. Hingga akhirnya—

"Siapa itu?!"

Salah satu dari mereka berdiri, tangannya meraih gagang pedang di pinggangnya. Yang lain mengikuti, menatapnya dengan waspada.

Dia tidak menjawab.

Dia tidak tahu bagaimana.

"Hei! Kau siapa?" tanya pria lain, matanya menyipit curiga.

Dia tetap diam.

Mereka saling bertukar pandang. Salah satu dari mereka berbisik, "Kenapa dia diam saja? Apa dia mata-mata?"

"Mungkin orang aneh… tapi lihat itu, dia membawa pedang."

Ketegangan meningkat. Mereka tidak mengenalnya, dia tidak mengenal mereka. Namun, bagi manusia, yang tak dikenal adalah ancaman.

"Kita tidak bisa membiarkannya begitu saja."

Salah satu dari mereka mencabut pedangnya. Yang lain mengikuti.

Dalam sekejap, suasana berubah.

Dan untuk pertama kalinya—dia bertarung.

Pertarungan pertama

Pria pertama menyerang lebih dulu. Ayunan pedangnya cepat, tajam.

Dia bereaksi tanpa berpikir. Pedangnya bergerak, menangkis serangan itu dengan mudah. Bunyi logam beradu menggema di udara.

Pria itu terkejut. "Apa—?! Dia bisa bertarung!"

Yang lain maju, menyerangnya dari sisi yang berbeda. Sekali lagi, tubuhnya bergerak mengikuti naluri. Dia menunduk, menghindari serangan, lalu berbalik dengan ayunan balik yang nyaris mengenai lawannya.

Mereka mundur.

"Dia cepat…!"

Namun, bukan hanya kecepatan dan teknik yang mengejutkan mereka.

Dia tidak berbicara. Tidak berteriak. Tidak menunjukkan emosi.

Hanya diam, bertarung seperti bayangan yang bergerak dalam senyap.

Dan saat mereka terus menyerangnya, dia mulai mengamati.

Mereka berbicara—mereka berteriak satu sama lain, memberi instruksi, strategi.

Dia mulai mendengar.

Dia mulai mengerti.

"Serang dari samping!"

"Jangan beri dia celah!"

Mereka tidak menyadari—dia belajar.

Setiap kata yang mereka ucapkan, setiap gerakan yang mereka lakukan, dia menyerapnya. Saat mereka menyerang dengan teknik tertentu, dia meniru dan menyesuaikan. Langkah kakinya semakin cepat. Ayunan pedangnya semakin tajam.

Hingga akhirnya—

Clang!

Salah satu dari mereka kehilangan pedangnya. Pedangnya terpental, jatuh ke tanah.

Yang lain terengah-engah, kelelahan.

Mereka tahu—mereka kalah.

Namun, dia tidak menyerang lagi. Dia hanya berdiri, pedangnya masih terangkat, tetapi tidak bergerak maju.

Dia tidak mengerti konsep membunuh.

Bagi dirinya, pertarungan sudah selesai. Mereka tidak bisa melawannya lagi. Itu berarti… berhenti.

Manusia-manusia itu saling berpandangan, ketakutan. Lalu, tanpa pikir panjang, mereka berlari meninggalkannya.

Dia hanya menatap mereka pergi.

Sebuah nama mulai menyebar

Ketika mereka kembali ke desa, mereka menceritakan apa yang terjadi.

Namun, seperti manusia pada umumnya, cerita itu berubah.

"Dia bukan manusia!"

"Dia iblis yang muncul dari kegelapan!"

"Matanya merah menyala! Tubuhnya seperti bayangan!"

Dari satu orang ke orang lain, cerita itu menyebar.

Setiap kali diceritakan ulang, detailnya semakin dilebih-lebihkan. Hingga akhirnya, cerita itu mencapai telinga para bangsawan dan kerajaan.

Sebuah julukan diberikan kepadanya.

"The Nameless Shadow."

Sementara itu, dia masih berjalan. Masih belajar. Manusia membawa makanan, peralatan, dan barang lainnya ke tempat yang ditinggali. Dia mengamati mereka. Dia mulai memahami kegunaan benda-benda itu.

Dia mulai memahami dunia.

Namun, dia masih belum memahami dirinya sendiri.

Dan perjalanannya baru saja dimulai.