Chereads / ShadowBorn / Chapter 3 - Nama yang terlupakan

Chapter 3 - Nama yang terlupakan

Di tengah perjalanan tanpa tujuan, langkah MC membawanya ke sebuah tempat yang berbeda dari sebelumnya.

Hutan yang selama ini menjadi rumahnya mulai menipis. Pohon-pohon besar yang menjulang tinggi semakin jarang, tergantikan oleh tanah lapang berbatu. Angin di sini terasa berbeda—tidak lagi membawa aroma daun dan tanah basah, melainkan debu dan sesuatu yang lebih tua.

Lalu, di kejauhan, dia melihatnya.

Bangunan megah berdiri di tengah dataran luas. Pilar-pilar tinggi menopang atapnya yang sebagian runtuh, dindingnya terbuat dari batu besar yang sudah mulai retak oleh waktu. Pintu gerbangnya besar, terbuat dari logam tebal yang kini berkarat, terbuka sedikit seolah mengundang siapa pun untuk masuk.

Dia melangkah lebih dekat.

Saat mencapai gerbang itu, dia menyadari bahwa ini bukan sekadar satu bangunan besar.

Di balik gerbang ini, terbentang jalanan luas dengan bangunan-bangunan lain di sekelilingnya. Beberapa masih berdiri dengan kokoh, sementara yang lain telah runtuh, ditelan oleh waktu dan alam.

Dia melihat ke sekeliling. Tidak ada suara. Tidak ada tanda kehidupan.

Kota ini… telah ditinggalkan.

Sebuah kota mati.

Melangkah ke dalam keheningan

Dia berjalan perlahan, menyusuri jalanan berbatu yang dipenuhi debu dan dedaunan kering. Langkahnya bergema di antara bangunan kosong, seakan dia adalah satu-satunya makhluk yang pernah menginjakkan kaki di sini setelah bertahun-tahun.

Jalanan ini lebar, cukup untuk dilalui banyak orang sekaligus, tetapi kini hanya dipenuhi kehampaan. Di sisi jalan, dia melihat gerobak kayu yang telah lapuk, rodanya patah. Meja-meja kecil yang mungkin dulu digunakan untuk berjualan kini tergeletak miring, beberapa masih memiliki sisa-sisa barang yang tertinggal.

Dia mendekat ke salah satu meja dan mengulurkan tangan, menyentuh sesuatu yang tergeletak di sana—sebuah cangkir tanah liat yang pecah sebagian.

Dia mengangkatnya, memperhatikannya.

Manusia membuat ini.

Tapi manusia sudah lama tidak ada di sini.

Dia berjalan lebih dalam ke kota, melewati bangunan dengan pintu yang terbuka lebar. Dia melangkah masuk ke salah satunya.

Di dalam, dia menemukan deretan rak kayu yang tinggi, penuh dengan benda-benda berbentuk persegi panjang yang tersusun rapi. Beberapa telah jatuh ke lantai, tertutup debu tebal.

Dia mengambil salah satunya.

Sampulnya keras, tetapi isinya lembut. Saat dia membuka benda itu, dia melihat deretan simbol di dalamnya.

Dia menatapnya lama.

Simbol-simbol ini… Dia mengenalnya.

Bukan karena dia pernah membacanya, tetapi karena dia telah melihat manusia menggunakannya. Mereka berbicara, mereka menulis. Ini adalah kata-kata mereka.

Sesuatu di dalam dirinya mengatakan bahwa ini penting.

Jadi dia duduk, membuka halaman pertama, dan mulai mencoba memahami apa yang tertulis di sana.

Belajar dari masa lalu

Membaca bukanlah sesuatu yang langsung bisa dia lakukan. Pada awalnya, simbol-simbol itu tidak memiliki makna baginya. Namun, dia ingat bagaimana dia belajar dari manusia yang bertarung dengannya.

Mereka berbicara saat bertarung, dan perlahan dia mulai memahami makna kata-kata mereka.

Mungkin… hal yang sama berlaku untuk ini.

Dia menemukan halaman dengan gambar-gambar sederhana, disertai kata-kata di sampingnya. Dia memperhatikan pola yang muncul berulang-ulang, mencocokkan bentuk huruf dengan makna yang terlihat di gambar.

Waktu berlalu tanpa dia sadari.

Dia membaca satu halaman. Lalu halaman berikutnya. Lalu berikutnya.

Setiap kata yang dia mengerti terasa seperti sebuah langkah maju. Setiap simbol yang berhasil dia baca memberinya pemahaman lebih banyak tentang dunia ini.

Nama tempat, nama benda, bahkan nama orang.

Nama…

Dia terdiam sejenak.

Dia tidak memiliki nama.

Selama ini, dia hanyalah 'sesuatu' tanpa identitas. Manusia memberinya julukan, tetapi itu bukanlah nama yang dia pilih sendiri.

Dia melihat ke halaman yang terbuka di depannya. Ada sebuah nama tertulis di sana, nama seseorang yang hidup di masa lalu.

"Raizel."

Dia membaca nama itu berulang kali dalam hati.

Lalu, untuk pertama kalinya…

Dia mengucapkannya.

"Raizel..."

Suaranya pelan, hampir tidak terdengar. Kata itu asing di lidahnya, tetapi begitu keluar, ada sesuatu yang terasa berbeda.

Seolah dia baru saja menemukan bagian dari dirinya yang hilang.

Dia membaca lebih banyak nama, mencoba mengucapkannya satu per satu, tetapi tidak ada yang terasa seperti ini.

Nama ini… akan menjadi miliknya.

Dia menatap tangannya sendiri—tangan yang selama ini hanya terlihat seperti bayangan tanpa identitas.

Sekarang, dia bukan hanya sekadar bayangan.

Dia memiliki nama.

Raizel.

Dan dengan nama itu, dia akan terus melangkah.