Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Hari apocalypse

Archon_Focalors
21
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 21 chs / week.
--
NOT RATINGS
175
Views
VIEW MORE

Chapter 1 - Chapter 1: Kehidupan di Bawah Tanah

Di tengah kegelapan kota bawah tanah, di mana sinar matahari hampir tak pernah menyentuh tanah, seorang anak laki-laki berusia sembilan tahun bernama Soren bekerja keras. Wajahnya yang masih muda sudah menunjukkan keteguhan yang jarang terlihat pada anak seusianya. Rambutnya yang hitam pekat dipotong pendek, rapi di sisi-sisinya, memberikan kesan tegas meski usianya masih belia. Matanya yang tajam dan penuh tekad sering kali membuat orang lupa bahwa ia masih anak-anak.

Soren tinggal di kota bawah tanah, tempat yang keras dan tanpa ampun. Sejak kecil, ia sudah terbiasa dengan kehidupan yang penuh perjuangan. Ayahnya telah meninggal saat ia masih balita, dan ibunya bekerja siang dan malam sebagai penjahit untuk menghidupi mereka berdua. Namun, penghasilan ibunya tidak pernah cukup, sehingga Soren memutuskan untuk ikut bekerja demi membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Setiap pagi, Soren bangun sebelum matahari terbit. Ia mengenakan pakaian kerja yang sudah usang dan berlubang di beberapa bagian, lalu berjalan menuju lokasi kerja dengan langkah yang mantap. Meski tubuhnya masih kecil, ia sudah terbiasa mengangkat beban berat dan membantu para pekerja dewasa di terowongan-terowongan yang gelap dan lembab.

Hari ini, Soren bekerja di terowongan baru yang sedang digali. Udara di dalamnya terasa lebih berat dari biasanya, dan suara gemuruh dari mesin-mesin besar terus memekakkan telinga. Soren dengan cekatan mengangkut batu-batu kecil ke dalam kereta dorong, sambil sesekali melirik ke arah para pekerja dewasa yang sedang memastikan struktur terowongan aman. Ia tahu bahwa satu kesalahan kecil bisa berakibat fatal.

"Hey, anak kecil! Awas!" teriak salah seorang pekerja tiba-tiba. Soren segera melompat ke samping, menghindari batu besar yang jatuh dari atas. Jantungnya berdebar kencang, tetapi ia tidak menunjukkan rasa takut. Ia sudah terbiasa dengan situasi seperti ini. Dengan tenang, ia kembali melanjutkan pekerjaannya, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

Meski usianya masih muda, Soren sudah memiliki tekad yang kuat. Ia tahu bahwa hidup di kota bawah tanah tidak akan pernah mudah, tetapi ia tidak pernah menyerah. Di dalam hatinya, ia memiliki impian besar: suatu hari nanti, ia akan menemukan cara untuk membawa ibunya keluar dari kehidupan yang penuh penderitaan ini.

Saat matahari terbenam dan pekerjaan hari itu selesai, Soren pulang ke rumah kecilnya yang sederhana. Ibunya sudah menunggu dengan senyum lemah, meski wajahnya terlihat lelah. Soren duduk di sebelahnya, menceritakan sedikit tentang hari kerjanya sambil menyembunyikan detail-detail berbahaya yang ia alami. Ia tidak ingin ibunya khawatir.

Malam itu, sebelum tidur, Soren menatap langit-langit kamarnya yang retak. Ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa suatu hari nanti, ia akan mengubah hidup mereka. Meski saat ini ia hanya seorang anak kecil yang bekerja keras di kota bawah tanah, ia yakin bahwa suatu hari nanti, ia akan menemukan jalan menuju kehidupan yang lebih baik.

Dan di tengah kegelapan kota bawah tanah, tekad Soren terus menyala seperti api kecil yang tak pernah padam.

-

Seiring berjalannya waktu, Soren terus menjalani rutinitasnya yang melelahkan. Sebagai anak kecil, tugasnya adalah mengangkut batu-batu kecil dan membersihkan puing-puing dari terowongan yang digali. Tangannya yang mungil sering kali lecet dan berdarah, tetapi ia tidak pernah mengeluh. Ia tahu bahwa setiap batu yang ia angkat adalah satu langkah kecil untuk membantu ibunya bertahan hidup. Rutinitas ini terus ia jalani hari demi hari, tahun demi tahun, hingga ia beranjak dewasa.

Meski pekerjaannya berat, Soren selalu menyisihkan waktu untuk melakukan satu hal yang ia cintai: membaca. Buku-buku adalah harta karun yang ia temukan di tempat sampah, dibuang oleh orang-orang kaya atau bangsawan yang sesekali mengunjungi kota bawah tanah. Bagi mereka, buku mungkin hanya barang usang yang tidak lagi dibutuhkan, tetapi bagi Soren, setiap buku adalah jendela ke dunia lain. Ia sering kali menyelinap ke area tempat sampah di dekat pemukiman orang kaya, berharap menemukan buku-buku baru yang bisa ia bawa pulang.

Buku-buku itu memberinya pengetahuan dan impian. Ia membaca tentang dunia di atas tanah, tentang langit biru, hutan hijau, dan lautan luas. Ia membaca tentang sejarah, filosofi, dan psikologi, meski banyak kata-kata yang belum ia pahami sepenuhnya. Buku-buku itu memberinya harapan bahwa suatu hari nanti, ia bisa melihat dunia yang lebih luas daripada sekadar kegelapan kota bawah tanah.

Setiap malam, setelah seharian bekerja, Soren duduk di sudut kecil kamarnya yang remang-remang, dengan cahaya lilin yang redup menerangi halaman-halaman buku yang ia baca. Ibunya sering kali memperhatikannya dengan tatapan lembut, bangga melihat anaknya yang begitu bersemangat belajar meski dalam kondisi yang sulit. "Suatu hari, kau akan menjadi orang besar, Soren," bisik ibunya suatu malam. Soren hanya tersenyum, tetapi di dalam hatinya, ia berjanji untuk mewujudkan kata-kata ibunya.

Sampai usia Soren menginjak 20 tahun, rutinitasnya tidak banyak berubah. Ia masih bekerja di terowongan, mengangkut batu dan membersihkan puing, tetapi ia juga terus mencari buku-buku baru. Tubuhnya yang dulu kecil kini telah berubah menjadi kuat dan berotot, hasil dari tahun-tahun bekerja keras. Wajahnya yang dulu masih kekanak-kanakan kini telah dipenuhi ketegasan, meski matanya masih menyimpan keingintahuan yang sama seperti saat ia masih kecil.

Namun, di balik rutinitasnya yang monoton, Soren mulai merasa gelisah. Buku-buku yang ia baca memberinya gambaran tentang dunia yang lebih besar, dan ia tahu bahwa ia tidak bisa terus terjebak di kota bawah tanah selamanya. Ia mulai merencanakan sesuatu, sesuatu yang bisa mengubah hidupnya dan ibunya. Meski ia belum tahu bagaimana caranya, satu hal yang ia yakini: ia tidak akan menyerah.

Dan di tengah kegelapan kota bawah tanah, impian Soren terus tumbuh, seperti benih yang berusaha menembus tanah keras untuk mencapai cahaya.

-

Tiga tahun berlalu sejak Soren berusia 20 tahun, dan dalam kurun waktu itu, hidupnya tidak hanya diisi oleh pekerjaan kasar dan buku-buku tua. Ia mulai melatih dirinya secara diam-diam, mengikuti teknik-teknik bela diri dan cara bertarung efisien yang ia pelajari dari novel-novel petualangan dan buku-buku strategi yang ia temukan. Setiap malam, setelah seharian bekerja, ia menyelinap ke sudut terpencil kota bawah tanah, berlatih gerakan-gerakan yang ia hafal dari bacaan-bacaannya. Tubuhnya yang sudah kuat dari tahun-tahun bekerja kini semakin terlatih, lentur, dan penuh kendali. Ia tahu bahwa suatu hari nanti, keterampilan ini akan berguna.

Namun, seiring dengan bertambahnya pengetahuan, Soren mulai menyadari sesuatu yang mengganggu pikirannya. Ia melihat bagaimana penduduk kota bawah tanah hidup dalam kebodohan yang disengaja. Mereka tidak diberi akses kepada informasi, tidak diajari membaca, dan dipaksa patuh tanpa boleh bertanya. Buku-buku adalah barang langka, dan kebanyakan orang bahkan tidak tahu bagaimana cara membacanya. Soren merasa beruntung karena ibunya, meski hidup dalam kemiskinan, telah mengajarinya membaca sejak kecil. Itu adalah satu-satunya warisan berharga yang ia miliki.

Mata Soren semakin tajam, tidak hanya secara fisik, tetapi juga dalam melihat realitas di sekitarnya. Ia mulai memahami bahwa penduduk kota bawah tanah sengaja dijaga dalam kegelapan, baik secara harfiah maupun metaforis. Mereka dijadikan tenaga kerja murah, dipaksa bekerja keras tanpa pernah diberi kesempatan untuk mempertanyakan mengapa hidup mereka harus seperti ini. Soren merasa marah, tetapi ia tahu bahwa kemarahan saja tidak cukup. Ia harus bertindak.

Semakin hari, Soren semakin sadar akan pahitnya hidup ini. Ia melihat bagaimana orang-orang di sekitarnya menderita, tetapi mereka seolah-olah telah menerima nasib mereka tanpa perlawanan. Mereka tidak tahu bahwa ada dunia di luar sana, dunia yang lebih luas dan lebih adil. Soren merasa bahwa ia memiliki tanggung jawab, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk orang-orang di sekitarnya. Ia mulai berpikir tentang cara untuk membuka mata mereka, untuk memberontak terhadap sistem yang menindas mereka.

Di tengah kegelapan kota bawah tanah, Soren terus berlatih, terus membaca, dan terus mempersiapkan diri. Ia tahu bahwa jalan yang ia pilih tidak akan mudah, tetapi ia tidak punya pilihan lain. Hidup telah mengajarinya bahwa hanya mereka yang berani melawan yang bisa mengubah nasib. Dan Soren, dengan mata tajamnya dan tekad yang membara, siap untuk melawan.

-

Tiga hari berturut-turut, Soren menyendiri di sudut kamarnya, tenggelam dalam sebuah buku novel tua yang ia temukan di tumpukan sampah. Buku itu berasal dari Timur, berjudul *"Fang Sang Pendeta Gila"*, dan menceritakan kisah seorang tokoh yang mengungkap realitas kekejaman manusia melalui logika yang dingin dan tanpa ampun. Novel itu penuh dengan filosofi gelap tentang bagaimana manusia bisa menjadi begitu kejam demi mempertahankan kekuasaan, dan bagaimana ideologi sering kali digunakan sebagai alat untuk menindas.

Soren terpaku pada karakter utama novel itu, Fang, seorang pendeta yang awalnya idealis tetapi kemudian berubah menjadi sosok yang sinis dan kejam setelah menyadari betapa rapuhnya moral manusia. Fang percaya bahwa satu-satunya cara untuk bertahan dalam dunia yang kejam adalah dengan mengutamakan diri sendiri dan orang-orang terdekat. "Yang penting sekarang adalah keluarga dan dirimu sendiri," begitu salah satu kutipan Fang yang terus terngiang di kepala Soren.

Filosofi itu mengubah cara berpikir Soren. Ia mulai mempertanyakan idealismenya sendiri. Selama ini, ia ingin membebaskan penduduk kota bawah tanah, membuka mata mereka, dan melawan sistem yang menindas. Namun, setelah membaca novel itu, ia mulai berpikir: apakah itu realistis? Apakah ia bisa mengubah nasib orang lain sementara dirinya sendiri masih terjebak dalam kemiskinan dan penderitaan?

Soren menatap ibunya yang sedang tidur di sudut ruangan, tubuhnya yang kurus dan wajahnya yang lelah membuat hatinya tersayat. Ia teringat betapa ibunya telah berkorban begitu banyak untuknya, mengajarinya membaca, dan selalu mendukungnya meski dalam kondisi yang sulit. Tiba-tiba, ia menyadari bahwa Fang mungkin benar. Yang penting sekarang adalah keluarganya dan dirinya sendiri. Ia tidak bisa menyelamatkan orang lain jika ia sendiri masih terjebak dalam kegelapan.

Namun, di balik perubahan ideologinya, Soren tidak sepenuhnya meninggalkan impiannya. Ia hanya memutuskan untuk lebih pragmatis. Ia akan terus berlatih, terus belajar, dan terus mempersiapkan diri. Tetapi tujuannya sekarang lebih jelas: ia harus keluar dari kota bawah tanah, membawa ibunya ke tempat yang lebih baik, dan memastikan bahwa mereka berdua bisa hidup dengan layak. Baru setelah itu, jika ia memiliki kekuatan dan sumber daya, ia akan memikirkan cara untuk membantu orang lain.

Mata Soren yang tajam kini dipenuhi dengan tekad baru. Ia tidak lagi naif, tidak lagi percaya bahwa perubahan bisa terjadi hanya dengan idealisme semata. Dunia ini kejam, dan untuk bertahan, ia harus menjadi kuat, cerdas, dan tanpa ampun jika diperlukan. Seperti Fang, ia akan melakukan apa pun untuk melindungi orang-orang yang ia cintai.

Dan di tengah kegelapan kota bawah tanah, Soren mulai merencanakan langkah-langkahnya dengan hati yang dingin dan penuh perhitungan. Ia tahu bahwa jalan di depannya akan penuh dengan rintangan, tetapi ia siap menghadapinya. Baginya, yang penting sekarang adalah keluarga dan dirinya sendiri. Segala sesuatu yang lain bisa menunggu.

-

Setahun telah berlalu sejak Soren memutuskan untuk mengubah pola pikirnya. Ia tidak lagi bekerja di tambang, tetapi beralih ke pekerjaan yang lebih "ringan": membersihkan sampah di kota bawah tanah. Meski terlihat seperti pekerjaan yang lebih mudah, kenyataannya justru lebih melelahkan secara mental. Setiap hari, ia menyaksikan kebobrokan dan ketidakberadaban manusia secara langsung. Orang-orang membuang sampah sembarangan, mengolok-oloknya saat ia lewat, atau bahkan sengaja membuat keributan hanya untuk melihat reaksinya.

Sering kali, saat Soren mengetuk pintu rumah-rumah untuk mengambil sampah, ia dihadapkan dengan ejekan dan sarkasme. "Hei, si pembersih sampah! Apa kau sudah cukup makan hari ini?" teriak seorang pemabuk sambil tertawa terbahak-bahak. Atau, "Kenapa kau repot-repot membersihkan sampah? Ini kota bawah tanah, semuanya sampah!" ucap seorang wanita dengan nada sinis. Soren hanya diam, menahan amarahnya di balik wajah dingin yang ia tunjukkan. Ia tahu bahwa melawan atau membalas hanya akan membuat situasi semakin buruk.

Namun, di balik ketenangannya, pertanyaan-pertanyaan mulai bermunculan di benaknya. *Kenapa aku ingin menyelamatkan orang-orang ini? Apa aku masih naif?* Ia melihat bagaimana penduduk kota bawah tanah saling menjatuhkan, saling menindas, dan tidak peduli satu sama lain. Mereka terjebak dalam lingkaran kebodohan dan kemiskinan, tetapi sepertinya tidak ada yang ingin berubah. Soren mulai meragukan niat awalnya untuk membebaskan mereka. Bagaimana mungkin ia bisa menyelamatkan orang-orang yang bahkan tidak ingin diselamatkan?

Setiap malam, setelah seharian bekerja, Soren duduk di kamarnya yang sempit, merenungkan hidupnya. Ia teringat pada filosofi Fang, sang pendeta gila dari novel Timur yang ia baca setahun lalu. "Yang penting sekarang adalah keluarga dan dirimu sendiri." Kata-kata itu semakin terasa benar baginya. Ia menyadari bahwa menjadi pahlawan, mencoba menyelamatkan orang lain, hanya membuatnya lelah dan frustrasi. Itu tidak berguna. Yang ia butuhkan adalah fokus pada dirinya sendiri dan keluarganya.

Soren melihat ibunya yang sedang tidur di sudut ruangan, wajahnya yang tenang membuat hatinya sedikit tenang. Ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan melakukan apa pun untuk membawa ibunya keluar dari kehidupan ini. Ia tidak peduli lagi dengan penduduk kota bawah tanah yang tidak beradab, dengan pemabuk yang mengejeknya, atau dengan orang-orang iseng yang hanya mencari kesenangan dari penderitaan orang lain. Baginya, mereka bukan tanggung jawabnya.

Dengan tekad yang semakin kuat, Soren mulai merencanakan langkah-langkahnya. Ia tahu bahwa ia harus keluar dari kota bawah tanah, tidak peduli bagaimana caranya. Ia akan menggunakan segala pengetahuan dan keterampilan yang ia miliki untuk mencapai tujuannya. Dan jika ada orang yang menghalanginya, ia tidak akan ragu untuk melawan.

Di tengah kegelapan kota bawah tanah, Soren berdiri tegak, wajahnya dingin tetapi matanya penuh tekad. Ia bukan lagi anak kecil yang naif, bukan lagi pemimpi yang percaya pada perubahan besar. Ia adalah seorang pragmatis, seorang yang siap melakukan apa pun untuk menyelamatkan diri sendiri dan orang yang ia cintai. Dan bagi Soren, itu sudah lebih dari cukup.