Setelah melewati pos pertama, Soren dan ibunya tiba di sebuah distrik yang berbeda dari pemukiman biasa di kota bawah tanah ini. Distrik ini dikenal sebagai Meisterschaft, pusat industri dan manufaktur yang menjaga roda ekonomi kota tetap berputar.
Bangunan-bangunan di sini tinggi dan kokoh, terbuat dari batu bata merah khas arsitektur Jerman dengan elemen baja hitam dan kaca berwarna. Pipa-pipa besar menjulur dari satu bangunan ke bangunan lain, menyalurkan uap dan energi untuk menggerakkan berbagai mesin. Jalanannya dipenuhi rel-rel kereta barang kecil yang digunakan untuk mengangkut hasil produksi, sementara di atas, jembatan-jembatan besi menjulang, menghubungkan gedung-gedung utama. Lentera gas bergaya era Victoria menghiasi jalan-jalan sempit, menerangi distrik dengan cahaya temaram yang berpendar lembut di balik kabut uap yang mengepul dari ventilasi bawah tanah.
Di kejauhan, terlihat menara jam besar dengan roda gigi yang berputar perlahan, menandakan bahwa waktu terus berjalan meskipun matahari tidak pernah bersinar di tempat ini. Udara di distrik ini mengandung aroma logam panas, minyak, dan arang yang terbakar—ciri khas daerah industri yang tak pernah tidur.
Soren tetap melangkah dengan tenang, memperhatikan lingkungan sekitar. Para pekerja dengan seragam penuh noda minyak berjalan dengan ekspresi lelah, sementara beberapa insinyur berpakaian lebih rapi mencatat sesuatu di buku mereka.
Namun, langkahnya terhenti ketika mendekati pos kedua.
PERTEMUAN DI POS KEDUA
Pos kedua terletak di pintu masuk distrik Meisterschaft, tepat di depan sebuah bangunan administrasi besar dengan pilar-pilar besi hitam. Soren bermaksud untuk tetap bersembunyi dan mengamati sebelum bergerak lebih jauh, tetapi sesuatu membuatnya terkejut.
Di tengah pos jaga, seorang wanita berdiri dengan anggun, mengenakan gaun hitam panjang dengan detail renda yang rumit. Wajahnya tertutup oleh topeng berbentuk sayap yang tampak seperti perpaduan antara tulang dan logam. Namun, yang paling mencolok adalah tiga sayap hitam besar yang terbentang di punggungnya, bergetar perlahan seolah merespons denyut udara di sekitarnya.
Ia sedang berbicara dengan seorang pria tua berpakaian elegan, kemungkinan pejabat tinggi di distrik ini. Suaranya lembut, tetapi penuh wibawa.
"Distribusi bahan baku harus tetap stabil. Pastikan bahwa pabrik-pabrik tetap beroperasi tanpa gangguan, tetapi jangan membuat para pekerja tertekan. Kita tidak ingin produktivitas menurun hanya karena kesalahan dalam manajemen tenaga kerja."
Pria tua itu mengangguk dalam-dalam. "Kami memahami, Nona. Namun, permintaan dari Dewan semakin tinggi. Tanpa tambahan tenaga kerja, kami khawatir akan ada keterlambatan dalam produksi."
Wanita bersayap itu menghela napas. "Maka buatlah sistem insentif yang masuk akal. Orang-orang tidak bisa bekerja dalam kondisi seperti ini tanpa kepastian. Aku tidak peduli dengan ambisi Dewan, aku hanya peduli agar roda industri tetap berjalan dengan adil."
Di sekitar mereka, para penjaga yang seharusnya bertugas hanya bisa berdiri tegak dalam diam, menundukkan kepala dengan hormat. Tidak ada yang berani menyela atau mempertanyakan kehadiran wanita itu.
Soren merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Wanita itu jelas bukan orang biasa. Jika bahkan para penjaga bersikap begitu hormat kepadanya, maka kemungkinan besar dia memiliki posisi yang sangat tinggi—entah dalam struktur pemerintahan atau mungkin dalam sesuatu yang lebih besar an berbahaya.
Ia menelan ludah dan mundur perlahan ke bayangan, mencoba mencari cara untuk melewati pos ini tanpa menarik perhatian. ["Tidak ada celah seperti di pos pertama, tapi satu hal jika aku ingin keluar dari distrik ini, aku harus menemukan cara lain—mungkin melalui salah satu pabrik atau jalur bawah tanah yang biasa digunakan oleh pekerja malam."]
Soren menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya. Ia tahu tak bisa melewati pos kedua tanpa menarik perhatian, jadi satu-satunya cara adalah mencari jalan alternatif. Matanya menyapu sekeliling, memperhatikan setiap detail distrik Meisterschaft.
Di dekat pos jaga, ada sebuah pabrik besar dengan logo roda gigi dan palu di atas pintunya. Asap hitam mengepul dari cerobongnya, dan suara dentingan logam bergema di udara. Pabrik ini adalah tempat peleburan logam berat—dan Soren tahu bahwa sebagian besar pabrik semacam ini memiliki jalur distribusi bawah tanah untuk mengangkut bahan mentah tanpa harus melalui pos penjaga.
Ia melangkah cepat ke sisi bangunan, mencari pintu masuk yang tidak terlalu mencolok. Beberapa pekerja terlihat keluar-masuk dari gerbang samping, membawa peti kayu berisi bahan mentah.
Pintu kecil di samping pabrik. Terbuka.
Tanpa ragu, Soren menyelinap masuk. Bau besi panas langsung menyengat hidungnya, dan hawa panas dari tungku besar menyelimuti ruangan. Mesin-mesin besar bergerak dengan suara berderak, sementara para pekerja sibuk dengan tugas mereka.
Ia merapat ke dinding, bergerak di antara bayangan, lalu menemukan yang ia cari—pintu perangkap di lantai, tertutup oleh papan kayu dan beberapa peti. Ia ingat jalur bawah tanah seperti ini dari pengalaman kerjanya di tambang. Jalur ini biasanya digunakan untuk mengangkut barang berharga atau membuang limbah ke dalam tambang tua.
Soren memastikan tak ada yang melihatnya, lalu dengan cepat mengangkat papan kayu itu. Sebuah lorong gelap terlihat di bawahnya, dengan tangga besi yang menurun ke kedalaman yang tak diketahui.
Tanpa ragu, ia melangkah masuk dan menutup pintu perangkap di atasnya.
Wanita bertopeng sayap masih berdiri di depan pos jaga, memperhatikan pabrik dengan tatapan tajam. Obrolannya dengan pria tua sudah selesai, tetapi ada sesuatu yang mengganggunya—perasaan bahwa ada seseorang yang seharusnya tidak ada di sini.
Ia merasakan sesuatu yang samar. Seperti jejak langkah ringan, seperti nafas yang tertahan.
Tikus.
Ia menoleh sedikit ke pria tua di sampingnya. "Kau bilang tak ada yang berani kabur dari kota bawah tanah ini, bukan?"
Pria tua itu mengerutkan kening. "Benar, Nona. Tidak ada yang cukup bodoh untuk mencoba. Penjagaan semakin ketat sejak terakhir kali—"
"Kalau begitu, kenapa aku merasa ada seseorang yang melintas di tempat ini?"
Pria itu terdiam, lalu melirik ke para penjaga yang masih berdiri tegak dalam hormat. Tak ada yang berani bicara.
Wanita itu mendesah pelan. Ia merentangkan sayapnya sedikit, merasakan aliran udara di sekitar tubuhnya, seolah menyaring informasi dari lingkungan.
Ada pergerakan di dalam pabrik.
Ia tahu.
"Aku akan pergi sebentar. Ada sesuatu yang harus kubereskan."
Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah pergi, memilih jalur berlawanan dari pos. Jika tikus itu benar-benar cerdas, ia pasti memilih jalur bawah tanah. Dan jika jalur itu menuju tambang tua…
Maka aku hanya perlu memblokir satu jalan keluar.
Senjata berburu sudah siap. Tikus itu mungkin cerdik, tapi ia bukan tandingan pemburu sejati.
Tangga besi tua berderit di bawah pijakan Soren saat ia turun perlahan ke dalam kegelapan. Tubuhnya tegang, menjaga keseimbangan agar tidak terpeleset. Ibunya, yang masih ia gendong di punggung, semakin mempererat pegangan. Nafas hangatnya terasa di bahu Soren.
"Nak, kau yakin ini jalannya?" suara ibunya lembut, berbisik di dekat telinganya.
Soren tidak langsung menjawab. Matanya tetap fokus ke bawah, memastikan langkahnya tidak salah. Tangga ini sudah tua, mungkin puluhan tahun tidak digunakan. Besinya terasa dingin dan licin akibat kelembapan bawah tanah. Jika ia terpeleset, mereka bisa jatuh ke kegelapan di bawah sana—dan tidak akan ada yang tahu apa yang menunggu mereka di dasar.
Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, Soren akhirnya mencapai tanah yang padat. Ia melepaskan genggaman pada tangga dan merasakan bebatuan kasar di bawah sepatunya. Udara di sini lebih lembab, dengan aroma tanah, karat, dan sedikit belerang yang samar.
Ibunya menghela napas lega. "Kau luar biasa, Nak. Membawa ibu sejauh ini tanpa ragu sedikit pun."
Soren tetap diam, hanya mengatur napasnya. Ia meraba kantongnya, memastikan lentera kecilnya masih ada. Ia menyalakannya perlahan, hanya cukup untuk memberikan cahaya temaram.
"Kita harus terus bergerak," ucapnya akhirnya, suaranya datar.
Ibunya tersenyum kecil di punggungnya. "Kau selalu seperti ini sejak kecil. Dingin, serius… tapi hatimu lebih hangat dari yang kau biarkan orang lain lihat."
Soren tidak menanggapi. Ia hanya mulai berjalan ke depan.
Lorong bawah tanah ini tidak seperti distrik Meisterschaft di atas. Tidak ada lampu gas, tidak ada pipa uap yang berderak, tidak ada suara mesin yang bekerja. Hanya ada kegelapan yang luas dan bisu.
Dinding-dinding lorong adalah batu kasar yang diukir dengan tangan manusia, dengan beberapa bagian yang diperkuat dengan kayu tua. Ada rel kereta tambang yang berkarat, membentang ke arah yang tak terlihat. Beberapa gerobak besi tua masih tertinggal, miring ke satu sisi, ditinggalkan bertahun-tahun lalu.
Di beberapa tempat, ada bekas coretan kapur di dinding—tanda dari para pekerja tambang yang dulu pernah melintasi lorong ini. Angka-angka, simbol, bahkan beberapa coretan gambar kasar tentang rumah, makanan, atau orang-orang yang mereka rindukan.
Lorong ini adalah peninggalan dari masa lalu. Tempat yang sudah dilupakan oleh kota di atas.
Soren tahu jalur ini seharusnya menuju bekas tambang emas, tempat yang dulu menghasilkan kekayaan bagi penguasa kota sebelum akhirnya ditinggalkan karena dianggap tidak lagi produktif.
Namun, ia juga tahu satu hal lagi: tempat-tempat yang ditinggalkan bukan berarti tidak berbahaya.
Ia berjalan perlahan, matanya tetap waspada. Cahaya lentera membuat bayangan mereka memanjang di dinding batu. Di depan, lorong bercabang ke beberapa arah.
Soren mengamati sejenak, lalu memilih jalur yang paling sedikit terlihat runtuhan batu. Saat ia melangkah, matanya menangkap sesuatu yang menarik—sebuah jubah coklat pendek bertudung tergeletak di salah satu gerobak tambang.
Ia berjalan mendekat dan mengangkatnya. Bahannya sudah usang, tetapi masih cukup kuat untuk dipakai. Tanpa ragu, ia mengenakannya di atas tubuhnya, menutupi dirinya dan juga sebagian tubuh ibunya.
Ibunya tersenyum kecil. "Kau selalu berpikir jauh ke depan, ya?"
"Jubah ini bisa menyamarkan kita dari kejauhan. Jika ada orang lain di bawah sini, kita tidak boleh menarik perhatian." Suaranya tetap dingin, tetapi nadanya terdengar sedikit lebih pelan dari sebelumnya.
Ibunya mengangguk kecil. "Kau benar. Baiklah, mari lanjutkan perjalanan."
Soren menyesuaikan pegangan pada tubuh ibunya, lalu melangkah maju lagi.
Lorong ini panjang dan sunyi. Tidak ada suara lain selain langkah kaki Soren dan gemuruh samar dari tanah di atas mereka. Namun, meskipun tempat ini kosong, perasaan tidak nyaman mulai merayap di benaknya.
Ia tidak suka lorong-lorong yang terlalu sepi.
Seolah ada sesuatu yang menunggu dalam bayang-bayang.
Dan ia tidak salah.
Di atas, di distrik Meisterschaft, wanita bertopeng sayap melangkah dengan tenang menuju jalur alternatif yang lebih cepat menuju tambang tua.
Ia sudah memastikan ke mana tikus itu pergi.
Tikus yang cerdas, tetapi tetap tikus.
Ia bisa saja mengerahkan penjaga untuk menangkapnya sekarang, tetapi itu tidak menarik. Lagipula, ia lebih suka berburu sendirian.
Saat ia sampai di persimpangan jalur tambang, ia menyentuh dinding batu dengan ujung jarinya, merasakan dinginnya.
"Jalan keluar tidak akan kubiarkan terbuka untukmu."
Ia melangkah ke dalam lorong, sayapnya bergetar ringan, menciptakan hembusan angin kecil di lorong sempit. Jika tikus itu ingin kabur, ia harus melewatinya lebih dulu.