Soren tiba-tiba merasakan sesuatu yang mengusik instingnya. Bulu kuduknya meremang, dan hawa dingin merayap di punggungnya, bukan dari suhu bawah tanah, tapi dari perasaan diawasi.
Tanpa berpikir panjang, ia segera mempercepat langkahnya, lalu berubah menjadi lari.
"Soren?!" Ibunya terkejut, tetapi tetap berpegangan erat di punggungnya.
"Pegangan yang kuat, Ibu." Suaranya tetap datar, tetapi kali ini ada urgensi di dalamnya.
Ia tidak tahu siapa atau apa yang mengejarnya, tetapi nalurinya berteriak—mereka harus segera keluar dari sini.
Jalur tambang ini bukan tempat yang bisa digunakan untuk berlari dengan bebas. Rel berkarat dan batuan tajam berserakan di tanah, membuat setiap langkah berisiko. Namun, Soren sudah terbiasa dengan lingkungan kasar seperti ini. Ia tahu bagaimana melangkah dengan cepat tanpa kehilangan keseimbangan.
Lentera kecil yang tergantung di pinggangnya berayun-ayun, menciptakan bayangan panjang di dinding lorong yang semakin menyempit. Suara napas ibunya terdengar lebih cepat di telinganya, tetapi ia tidak berkata apa-apa lagi. Ia mempercayakan segalanya pada putranya.
Sementara itu, di atas, wanita bertopeng sayap melangkah dengan anggun melewati Pos 3.
Para penjaga langsung memberi hormat begitu melihatnya, tetapi ia tidak memperlambat langkahnya. Cahaya dari lentera-lentera gas di sepanjang jalanan berbatu memantulkan bayangan sayapnya ke dinding bangunan sekitarnya.
Lorong-lorong distrik mulai berubah. Bangunan batu bata dan baja khas distrik Meisterschaft perlahan berganti dengan arsitektur yang lebih tua dan kasar. Jalanan mulai dipenuhi lebih banyak pipa uap besar yang mendesis, dan dinding-dinding mulai dipenuhi ukiran-ukiran lama dari masa lampau.
Ketika ia melewati Pos 4, suasana semakin sunyi.
Di sini, distrik industri sudah berakhir.
Ia kini memasuki zona bawah tanah lama, bagian dari kota yang telah ditinggalkan oleh kebanyakan penduduk.
Dibandingkan dengan distrik yang modern di atas, tempat ini lebih mirip reruntuhan kota kuno yang ditelan kegelapan.
Bangunan di sini lebih tinggi, tetapi sebagian sudah runtuh. Pilar-pilar besar menyangga langit-langit gua raksasa di atas, retakan dan akar-akar dari permukaan mulai menjalar ke bawah, menyelimuti dinding batu.
Di beberapa sudut, ada lampu-lampu gas tua yang masih menyala redup, memberikan cahaya keemasan yang samar dan berkedip-kedip. Jalanan lebih luas, tetapi lantainya tidak rata—ada pecahan batu, rel tua yang bengkok, dan patung-patung rusak dari era lama yang menatap kosong ke dalam kegelapan.
Beberapa makam batu tua tertanam di dinding lorong, menunjukkan bahwa tempat ini dulu pernah menjadi bagian dari kota yang dihuni, mungkin bahkan sebuah distrik penting sebelum ditinggalkan.
Wanita bertopeng tidak berhenti. Ia berjalan santai, tetapi langkahnya tidak pernah melambat.
Di ujung jalan, ia melihat pintu gerbang besar dari besi, sudah berkarat tetapi masih berdiri kokoh.
Ia menyentuhnya, lalu mendorongnya perlahan.
Bunyi berderit keras menggema di lorong, menandakan bahwa seseorang baru saja memasuki dunia yang telah lama ditinggalkan.
Dan begitu ia melangkah masuk, ia tahu… tikus itu ada di depan.
Ia hanya perlu sedikit bersabar.
Soren terus berlari, napasnya stabil meskipun ia membawa beban di punggungnya.
Lorong semakin menurun, menunjukkan bahwa mereka semakin dalam ke dalam bekas tambang emas.
"Soren… apa kau mendengar sesuatu?" suara ibunya berbisik, kali ini terdengar lebih khawatir.
Soren tidak menjawab. Ia tahu.
Ada suara langkah lain.
Bukan langkah para pekerja tambang, bukan suara batu yang jatuh secara alami.
Langkah itu terlalu teratur, terlalu ringan untuk seseorang yang tidak tahu jalan.
Seseorang sedang mengikutinya.
Soren segera membuat keputusan.
Ia mengarahkan langkahnya ke kiri, memilih jalur yang lebih kecil dan lebih sempit. Jalur ini lebih berbahaya—banyak bebatuan lepas, dan langit-langitnya lebih rendah. Tetapi itu juga berarti lebih sulit untuk diikuti.
Di depannya, lorong bercabang lagi.
Soren memilih jalan yang menurun tajam.
Begitu sampai di bawah, ia berhenti sejenak, mematikan lentera kecilnya.
Kegelapan total menyelimuti mereka.
Ibunya menahan napas.
Di atas sana… terdengar suara langkah yang berhenti.
Seseorang telah mencapai percabangan.
Soren menutup matanya, mengandalkan instingnya.
Jika ia bisa mendengar mereka… berarti mereka juga bisa mendengar mereka.
Senyap.
Napas ditahan.
Lalu… suara langkah itu tidak memilih jalur turun.
Soren tetap diam, tetapi pikirannya bekerja cepat.
Dia tahu aku di sini.
Seseorang sedang bermain dengannya.
Dan itu membuat Soren lebih yakin akan satu hal—orang ini bukan penjaga biasa.
Kegelapan semakin pekat di sekelilingnya.
Perlahan, Soren menyalakan lentera lagi, tetapi kali ini ia menutup sebagian cahaya dengan tangannya agar tidak terlalu mencolok.
Ibunya akhirnya berbisik. "Siapa pun dia… dia tidak seperti penjaga lain, kan?"
Soren hanya mengangguk pelan.
Mereka harus menemukan jalan keluar sebelum pengejarnya bisa menutup setiap jalan yang tersisa.
Soren tidak punya waktu untuk berpikir panjang. Ia menajamkan fokusnya dan berlari lebih cepat.
Kakinya melompat di atas bebatuan yang berserakan, menjejak rel tambang tua yang mulai berkarat, lalu mendarat dengan mulus di tanah yang lebih rendah. Nafasnya stabil, meskipun ia membawa ibunya di punggung.
Setiap lorong yang ia pilih semakin sempit dan menurun, membawanya lebih dalam ke dalam bekas tambang. Ia tidak tahu persis ke mana jalan ini akan membawanya, tetapi satu hal yang pasti—ia harus terus bergerak.
Namun, semakin ia berlari, semakin kuat perasaan aneh yang mengusik pikirannya.
Ada sesuatu yang tidak wajar.
Dari sudut matanya, ia melihat bayangan bergerak.
Bukan bayangannya sendiri.
Bayangan itu berlari bersamanya.
Mengikuti setiap gerakannya.
Soren mengertakkan gigi. "Bayangan…"
Ibunya yang masih berpegangan erat di punggungnya ikut menyadari sesuatu yang aneh. "Nak… itu bukan milik kita, kan?" suaranya bergetar.
Tidak.
Bayangan itu bukan milik mereka.
Soren tiba-tiba melompat, berpindah ke jalur lain yang lebih tinggi, berharap bisa menjauh. Tapi…
Bayangan itu juga melompat.
Langkahnya ringan, hampir tanpa suara, tetapi keberadaannya jelas. Seolah-olah… itu bukan sosok fisik, melainkan perpanjangan dari sesuatu yang lebih besar.
Soren mulai menyadari sesuatu.
Ini bukan pengejar biasa.
Ia memutuskan untuk menguji sesuatu.
Dalam satu gerakan cepat, ia berbelok tajam ke kanan, memilih lorong yang lebih kecil dan menurun drastis. Ia melompat turun ke platform lebih rendah, berguling sekali untuk mengurangi benturan, lalu langsung berdiri kembali.
Tetapi saat ia mengangkat kepalanya…
Seseorang sudah berdiri di depan.
Di ujung lorong yang remang-remang, berdiri sosok wanita bertopeng sayap.
Ia tidak berlari. Tidak terburu-buru.
Ia sudah menunggu.
Bayangan yang mengejar Soren sebelumnya kini berdiri diam di belakangnya, menyatu dengan kegelapan seolah-olah tidak pernah ada.
Soren terdiam. Untuk pertama kalinya dalam pelariannya, ia merasa seperti seekor hewan yang tersudut.
Ibunya menegang di punggungnya. Ia tidak bicara, tetapi ia tahu betul bahwa putranya juga sedang menilai situasi.
Soren perlahan menurunkan ibunya ke tanah.
Ia berdiri tegak, menatap wanita itu.
Kemudian, ia mengangkat tangannya.
Bukan tanda menyerah.
Tetapi sebuah isyarat.
Jari-jarinya bergerak dalam bahasa tubuh yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang pernah berada di dunia bawah tanah.
Pindah area.
Wanita bertopeng itu mengangkat dagunya sedikit. Lalu, tanpa berkata apa-apa, ia mengangkat satu tangan dan membuat gerakan yang sama—menyetujui.
Bayangannya bergerak lebih dulu.
Soren menghela napas pelan.
Ini bukan sekadar perburuan.
Wanita ini ingin sesuatu darinya.
Dan ia akan mengetahuinya… di tempat berikutnya.
Soren berlutut perlahan, menurunkan ibunya dari punggungnya dengan hati-hati
"Ibu, tetap di sini." Suaranya dingin dan tegas seperti biasa, tetapi ada ketenangan di dalamnya—seolah-olah ini bukan pertama kalinya ia menghadapi sesuatu seperti ini.
Ibunya menatapnya dengan khawatir, tetapi tidak berkata apa-apa. Ia tahu putranya.
Soren mengambil lentera dari pinggangnya dan menyerahkannya kepada ibunya, bersama dengan tas berisi makanan dan air.
"Jangan padamkan cahayanya."
Ibunya menggenggam lentera itu erat. "Nak…"
Soren tidak menoleh. Ia hanya berdiri dan melangkah maju, mengikuti wanita bertopeng yang sudah berbalik tanpa sepatah kata pun.
Bayangan yang sebelumnya mengejarnya berjalan tanpa suara di belakang mereka, seperti perpanjangan dari kehendak pemiliknya.
Mereka berjalan dalam diam.
Hingga sampai di lorong-lorong bawah tanah ini semakin sepi, hanya diterangi oleh lentera-lentera gas tua yang menyala redup. Pipa-pipa besi besar melintang di langit-langit batu, mengeluarkan suara desisan uap dari waktu ke waktu.
Arsitektur di sini lebih bernuansa Victoria, tetapi dengan sentuhan industrial khas distrik tua. Pilar-pilar batu tinggi menopang langit-langit gua, beberapa di antaranya mulai retak dan ditumbuhi akar dari permukaan.
Beberapa bagian dinding masih dihiasi relief dan ukiran kuno yang menceritakan kejayaan masa lalu—mungkin tentang kota ini sebelum diubah menjadi apa yang ada sekarang.
Akhirnya, setelah berjalan cukup jauh dari tempat ibunya, mereka berhenti.
Wanita bertopeng itu berbalik, menatap Soren dengan ekspresi yang sulit dibaca.
"Bagaimana cara tikus sepertimu bisa sampai sejauh ini?"
Nada suaranya terdengar meremehkan.
Soren tetap diam. Ia tidak menunjukkan emosi apa pun.
Wanita itu menyilangkan tangan di depan dadanya. "Apa kau benar-benar berpikir bisa kabur dari kota ini?"
Soren akhirnya berbicara, suaranya tetap datar. "Aku sampai sejauh ini, bukan?"
Mata di balik topeng itu menyipit. Lalu, ia tertawa kecil. "Kau memang menarik… tapi tetap saja, hanya seekor tikus yang lari dari sarangnya."
Soren tidak bereaksi. Ia hanya menatapnya, matanya tajam seperti mata seorang pemburu yang sedang menilai lawannya.
Wanita itu melangkah mendekat. "Kau tahu, aku bisa membunuhmu sekarang juga. Atau lebih buruk… aku bisa membawamu kembali dalam keadaan hidup."
Bayangan di belakangnya mulai bergerak, seolah siap melompat ke arah Soren kapan saja.
Tetapi Soren tetap berdiri tegak, tanpa gentar.
Soren tetap diam.
Ia hanya mengangkat kedua linggisnya, menggenggam erat senjata sederhana yang selama ini hanya digunakan untuk menggali batu dan menghancurkan reruntuhan tambang.
"Ah."
Hanya itu jawabannya.
Nada suaranya begitu datar, seolah pertempuran ini hanyalah gangguan kecil di tengah rencananya untuk kabur.
Wanita bertopeng itu menatapnya, lalu menghela napas pendek seakan merasa geli.
"Menarik."
Ia mengambil lentera di pinggangnya dan meletakkannya di sisi pinggir, menciptakan cahaya temaram di sekitar mereka. Kemudian, dengan gerakan santai, ia merentangkan satu tangan.
Pedang panjang muncul dari ketiadaan.
Cahayanya berkilat dalam remang-remang bawah tanah, tajam dan bersih. Pedang itu bukan sekadar senjata biasa—ia terasa memiliki kehadiran.
Soren tidak terpancing. Ia hanya menyesuaikan posisi kakinya, merendahkan tubuhnya sedikit, siap menyerang atau bertahan.
Hening.
Lalu—
KLANG!!
Benturan pertama terjadi.
Soren menangkis tebasan cepat itu dengan linggis kirinya, lalu langsung memutar tubuh dan menyerang dengan linggis kanan. Wanita bertopeng itu mundur selangkah, pedangnya berayun menangkis serangan balasan dengan kecepatan yang sama.
Keduanya berputar, saling bertukar serangan dalam ruang yang sempit.
Satu langkah ke depan.
Dua langkah ke samping.
Tiga tebasan.
Empat benturan.
Percikan api sesekali muncul ketika baja bertemu baja.
Wanita bertopeng mulai menyadari sesuatu.
"Style dua pedang?" gumamnya, sedikit terkejut.
Soren tidak menjawab. Ia hanya bergerak.
Serangan yang ia lancarkan bukan gerakan asal-asalan.
Ia tahu cara menggunakan dua senjata.
Tekniknya bukan teknik seorang amatir yang hanya mengayunkan senjata tanpa arah—gerakannya memiliki pola, keseimbangan, dan ketajaman.
Wanita itu menyipitkan matanya.
"Dari mana seorang budak bisa belajar ilmu pedang?"
Untuk pertama kalinya dalam pertarungan ini, ekspresinya berubah. Ada sedikit rasa ingin tahu.
Tetapi Soren tidak peduli.
Ia hanya mencari celah.
KLANG! KLANG! KLANG!
Dentingan baja bergema di lorong bawah tanah. Soren hanya bisa bertahan.
Wanita bertopeng itu tidak bertarung sendirian.
Bayangannya bergerak seperti duplikat sempurna, menirukan serangannya dengan presisi yang mengerikan.
Serangan pertama—"Tebasan Paralel."
Wanita itu menebas ke arah kiri, sementara bayangannya menyerang dari kanan dengan gerakan yang sama cepatnya.
Soren hanya bisa mengangkat kedua linggisnya, menahan serangan dari dua arah. Benturannya keras, membuat telapak tangannya sedikit mati rasa.
Tetapi ia tidak bisa berhenti.
Serangan kedua—"Putaran Kembar."
Wanita itu melompat ke belakang, memberikan ruang bagi bayangannya untuk bergerak lebih dulu. Bayangan itu berputar seperti pusaran angin, melancarkan tebasan spiral yang mengincar tubuh bagian bawah Soren.
Soren melompat mundur, tetapi di saat yang sama, wanita bertopeng itu melompat ke depan, menikam lurus ke arah jantungnya!
Soren dengan cepat memiringkan tubuhnya ke samping, membiarkan pedang itu meleset hanya beberapa senti dari dadanya.
Namun…
Serangan ketiga—"Cakar Kembar."
Bayangan wanita itu menyatu dengannya untuk sepersekian detik, sebelum tiba-tiba terpisah lagi dengan kecepatan yang bahkan Soren nyaris tidak bisa baca.
Dua serangan datang sekaligus—
Satu dari depan.
Satu lagi dari belakang.
Soren tahu, ini adalah serangan yang dirancang untuk mematikan.
Jika ia hanya bertahan… ia akan mati.
Jadi ia melakukan sesuatu yang berbeda.
Ia menghindar ke samping—dan melemparkan linggisnya.
WHUUK!
"…?!"
Wanita bertopeng itu tidak sempat bereaksi.
CRACK!
Linggis itu mengenai wajahnya dengan akurasi sempurna.
Topengnya retak.
Untuk pertama kalinya, semua berhenti.
Soren, wanita itu, bahkan bayangannya—mereka semua diam.
Potongan topeng jatuh ke tanah, terbelah menjadi dua.
Dan untuk pertama kalinya… Soren melihat wajahnya.
Cantik.
Kulitnya seputih porselen, dengan mata tajam berwarna perak yang memancarkan keanggunan sekaligus bahaya. Rambut hitam panjangnya tergerai, sedikit berantakan akibat pertempuran.
Tetapi yang paling mencolok bukanlah kecantikannya.
Melainkan ekspresinya.
Ia terkejut.
Bukan hanya karena topengnya hancur… tetapi karena egonya terserang.
Seumur hidupnya, tidak ada yang pernah berhasil melukai dirinya seperti ini.
Bayangannya mulai bergetar, menandakan sedikit ketidakseimbangan antara dirinya dan entitas itu.
Dan di tengah keheningan itu, Soren akhirnya berbicara.
"Ah."
Nada suaranya sama seperti sebelumnya. Tenang.
Seakan pertarungan ini hanyalah salah satu dari banyak hal yang tidak penting dalam hidupnya.