Chereads / Hari apocalypse / Chapter 3 - Chapter 3: Persiapan Terakhir

Chapter 3 - Chapter 3: Persiapan Terakhir

Setelah satu Minggu mempelajari peta dan mengobservasi setiap jalur yang ada, Soren akhirnya merasa cukup percaya diri dengan rencananya. Ia telah menandai setiap titik lemah, setiap lorong rahasia, dan setiap pos penjagaan yang harus dihindari. Namun, ada satu masalah besar yang masih menghalanginya: ibunya. Tubuhnya yang sudah lemah tidak akan mampu bergerak cepat, apalagi melalui rute pelarian yang berbahaya dan melelahkan. Soren tahu bahwa ia harus menemukan solusi.

"Kurasa aku gendong saja ibuku."

Maka, ia pun mulai melatih dirinya. Setiap hari, setelah selesai membersihkan sampah, Soren mengisi karungnya dengan tanah hingga penuh. Karung itu ia gendong di punggungnya, menirukan bagaimana nanti ia akan menggendong ibunya saat melarikan diri. Hari pertama ia melakukannya, karung itu terasa sangat berat karena sambil lari ia belum terbiasa. Otot-ototnya bergetar, dan napasnya tersengal-sengal. Tapi ia tidak menyerah. Ia terus berjalan, langkah demi langkah, meski tubuhnya terasa seperti akan roboh.

Orang-orang di sekitarnya mulai memperhatikan kebiasaan aneh Soren. "Untuk apa kau bawa karung berisi tanah, Soren? Kau sudah gila ya?" ejek seorang tetangga sambil tertawa. "Mungkin dia mau jadi petani di kota bawah tanah!" sambut yang lain dengan sarkasme. Soren tidak menanggapi. Ia hanya menundukkan kepala, menyembunyikan wajahnya yang dingin, dan terus berjalan. Ejekan itu tidak berarti baginya. Yang penting adalah latihan ini akan membantunya menyelamatkan ibunya.

Hari demi hari, karung berisi tanah itu terasa semakin ringan. Otot-otot Soren mulai terbiasa dengan beban berat, dan langkahnya semakin mantap. Ia bahkan mulai menambah beban dengan memasukkan lebih banyak tanah ke dalam karung. Setiap malam, setelah latihan, ia duduk di kamarnya, memijat otot-ototnya yang pegal sambil merencanakan langkah selanjutnya.

Selain melatih fisik, Soren juga terus memantau aktivitas penjaga dan mencari waktu yang tepat untuk melarikan diri. Ia tahu bahwa mereka biasanya lebih lengah di tengah malam, saat kebanyakan penduduk kota bawah tanah sudah tertidur. Ia juga memperhatikan pola pergerakan penjaga, mencari celah di mana mereka tidak terlalu waspada.

2 tahun kemudian, saat ibunya sudah tertidur, Soren duduk di sudut kamarnya, memeriksa kembali peta dan rencananya. Ia tahu bahwa waktunya hampir tiba. Semua persiapan sudah hampir selesai.

"Aku harus membakar kertas dan peta ini." 

["Tinggal satu hal yang harus aku pastikan: apakah apakah ibuku siap untuk perjalanan ini?"]

"Ibu," bisiknya pelan keesokan harinya, saat mereka sarapan bersama. "Aku punya rencana. Kita akan keluar dari sini. Tapi perjalanannya akan berat. Ibu harus percaya padaku."

Ibunya menatapnya dengan mata yang penuh kasih sayang. "Aku selalu percaya padamu, Soren. Kau adalah anak yang kuat. Tapi... apakah kau yakin ini bisa berhasil?"

Soren mengangguk, meski di dalam hatinya ada sedikit keraguan. "Aku sudah mempersiapkan segalanya, Ibu. Aku akan menggendong Ibu jika perlu. Kita tidak bisa terus hidup seperti ini."

Ibunya tersenyum lemah, mengusap kepala Soren dengan tangan yang kasar. "Baiklah, Nak. Aku akan mengikutimu."

Dengan persetujuan ibunya, Soren merasa lebih tenang. Ia tahu bahwa ini adalah langkah terakhir dalam persiapannya. Malam itu, ia memeriksa kembali semua barang yang akan mereka bawa: sedikit makanan, air, roti kering, dan beberapa alat sederhana yang ia kumpulkan seperti Linggis.

Saat fajar menyingsing, lampu-lampu di langit kota bawah tanah mulai menyala, menandai dimulainya hari baru. Soren berdiri di depan jendela kecil kamarnya, menatap ke luar. Hatinya berdebar kencang, tetapi tekadnya tetap bulat. Malam ini, rencananya akan dilaksanakan. Besok malam, ia dan ibunya akan mencoba melarikan diri dari kota bawah tanah.

Ia bergegas mengambil buku-bukunya, lalu membakarnya dengan korek api di rumah. Ia tidak ingin meninggalkan jejak—bukti bahwa dirinya bukan orang bodoh. Ia menatap api yang melahap buku demi buku, memastikan semuanya terbakar habis tanpa tersisa. Setelah itu, ia kembali berkeliling, membersihkan sampah di setiap rumah di kota, seperti biasa, melakukan pekerjaannya .

Malam pun tiba. Saat tengah malam menjelang, Soren membangunkan ibunya.

"Ibu, bangun. Ini waktunya," bisiknya.

Ibunya membuka mata perlahan, lalu tersenyum lembut. "Ibu sudah menyiapkan roti kering dan sedikit air untuk perjalanan. Kamu sudah membawa semua yang kamu butuhkan?"

"Sudah, Bu. Dua linggis dan satu tas kecil untuk membawa makanan dan air nanti," jawab Soren mantap.

"Hanya itu?"

"Iya. Aku harus membawa Ibu juga, jadi tidak bisa membawa banyak barang."

Ibunya terdiam sejenak, menatapnya dengan bingung. "Eh? Maksudnya?"

Di belakang rumah, Soren berjongkok dan memberi isyarat. "Naiklah ke punggungku, Bu. Seperti ini."

Ibunya menatapnya dengan khawatir. "Ibu nggak berat, Nak?"

Soren tersenyum kecil. "Aku sudah latihan. Kerja di tambang selama bertahun-tahun bukan untuk sia-sia."

Ibunya masih ragu, tetapi akhirnya menurut. Soren menguatkan genggamannya, merasakan beban di punggungnya, namun tetap berdiri tegak. Malam itu, mereka melangkah menuju kebebasan.

Dua linggis terselip di punggung bawahnya, terikat erat dengan kain agar tidak berisik saat bergerak. Di sisi kirinya, sebuah tas kecil berisi makanan dan air minum. Sementara di sisi kanan, lentera tergantung, siap digunakan saat dibutuhkan.

Soren mulai melangkah dengan hati-hati, matanya terus mengawasi sekitar. Nafasnya teratur, langkahnya mantap. Ibunya melingkarkan kedua tangannya ke lehernya, tubuhnya sedikit gemetar, tetapi ada rasa percaya dalam genggamannya.

Ketika mereka hampir mencapai pos pertama, Soren segera mematikan lentera dan merapat ke dinding sebuah gudang gandum. Ia menahan napas, mendengar suara para penjaga yang tengah berbincang santai di dekat pos jaga.

"Haha! Aku sumpah, kalau bisa keluar dari sini, aku bakal cari istri cantik di permukaan," ujar salah satu penjaga sambil menyandarkan tubuhnya ke tiang pos jaga.

"Jangan mimpi, bro. Udara di permukaan aja beracun, apalagi ceweknya," sahut penjaga lain, tertawa kecil.

"Tapi serius, kapan terakhir kita dapat libur? Aku udah bosen makan bubur jagung tiap hari."

"Heh, makanya jangan jadi penjaga kalau nggak tahan. Udah, minum aja, biar nggak stres."

Suara botol kaca berbenturan terdengar, diikuti tawa pelan.

"Hei, jaga suara! Kalau kepala pos dengar, bisa mampus kita," tegur seorang penjaga yang terdengar lebih serius.

"Halah, santai aja. Ini malam tenang, nggak bakal ada yang berani kabur."

Soren mengintip dari balik gudang. Ada empat penjaga, dua duduk bersandar di dinding pos, satu berdiri di dekat gerbang, dan satu lagi naik ke menara pengawas.

Lampu sorot dari menara penjaga bergerak perlahan, menyapu area di depan pos. Soren menghitung jeda waktu antara setiap sorotan—sekitar lima detik sebelum cahaya kembali ke titik yang sama.

Ia menghembuskan napas pelan, lalu menekan lengan ibunya sebagai isyarat untuk tetap diam. Saat lampu sorot bergerak ke arah berlawanan, Soren berlari cepat ke tumpukan karung gandum yang lebih dekat ke gerbang. Ia membungkuk rendah, menunggu cahaya berlalu sekali lagi.

Begitu ada celah, ia bergerak ke sisi kiri pos, melewati bagian yang tidak terjangkau sorotan lampu. Dari sini, satu-satunya jalan keluar adalah melalui pagar kawat yang bagian bawahnya sedikit longgar.

Ia perlahan berjongkok, lalu dengan hati-hati merayap ke bawah pagar, menahan napas agar tidak menimbulkan suara. Begitu tubuhnya sepenuhnya keluar, ia menarik napas lega, lalu segera berlari ke balik bebatuan besar di luar pos.

Mereka berhasil melewati pos pertama. Soren menggenggam erat tali tasnya, lalu melanjutkan perjalanan tanpa menoleh kebelakang.