Chereads / Hari apocalypse / Chapter 2 - Chapter 2: Rencana Pelarian

Chapter 2 - Chapter 2: Rencana Pelarian

Setahun telah berlalu sejak Soren memutuskan untuk fokus pada dirinya sendiri dan keluarganya. Pikirannya kini lebih jernih, dan hatinya dipenuhi tekad yang membara. Ia tahu bahwa satu-satunya cara untuk mengubah nasib mereka adalah dengan keluar dari kota bawah tanah. Namun, ia juga menyadari bahwa itu bukanlah tugas yang mudah. Kota bawah tanah dijaga ketat, dan setiap upaya pelarian yang gagal bisa berakhir dengan kematian.

Soren mulai merencanakan segalanya dengan hati-hati. Setiap malam, setelah ibunya tertidur, ia duduk di sudut kamarnya yang gelap, mencoret-coret peta kasar kota bawah tanah di atas selembar kertas bekas. Ia menandai setiap pos penjagaan, setiap lorong rahasia, dan setiap titik lemah dalam sistem keamanan. Ia juga mengumpulkan informasi dari orang-orang yang ia temui selama bekerja, meski ia harus menyamar sebagai orang bodoh yang hanya peduli pada sampah.

"Kau dengar tentang pelarian terakhir?" bisik seorang pekerja tua suatu hari, saat mereka beristirahat sejenak. "Mereka ditangkap di pintu keluar timur. Dihukum di depan umum agar semua orang takut."

Soren mengangguk, berpura-pura tidak tertarik, tetapi di dalam hatinya, ia mencatat setiap detail. Pintu keluar timur terlalu berisiko. Ia harus mencari cara lain.

Selain merencanakan rute pelarian, Soren juga terus melatih dirinya. Setiap malam, ia berlatih bela diri di tempat tersembunyi, mengasah keterampilannya hingga gerakannya menjadi cepat dan mematikan. Ia juga mulai mengumpulkan peralatan sederhana yang bisa membantunya dalam pelarian: pisau kecil, tali, dan beberapa potong makanan kering yang ia sembunyikan di bawah tempat tidurnya.

Namun, ada satu hal yang masih mengganggu pikirannya: ibunya. Soren tahu bahwa ibunya tidak akan mampu melakukan perjalanan yang berat dan berbahaya. Tubuhnya sudah terlalu lemah setelah bertahun-tahun bekerja keras. Ia harus menemukan cara untuk membuat ibunya tetap aman sementara ia mencari jalan keluar.

Suatu malam, saat mereka berdua duduk di meja makan yang sederhana, Soren akhirnya membuka hati. "Ibu, aku punya rencana," katanya dengan suara rendah. "Aku akan membawa kita keluar dari sini. Tapi aku butuh waktu untuk mempersiapkan segalanya. Bisakah Ibu percaya padaku?"

Ibunya menatapnya dengan mata yang penuh kasih sayang. "Aku selalu percaya padamu, Soren. Kau adalah anak yang kuat dan cerdas. Tapi tolong, jangan mengambil risiko yang terlalu besar. Aku tidak ingin kehilanganmu."

Soren mengangguk, hatinya terasa berat. Ia tahu bahwa risiko adalah bagian dari rencananya, tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak punya pilihan lain. "Aku berjanji akan berhati-hati, Ibu. Tapi kita tidak bisa terus hidup seperti ini. Aku akan membawa kita ke tempat yang lebih baik."

Setelah percakapan itu, Soren semakin fokus pada rencananya. Ia mulai menyusun strategi untuk mengalihkan perhatian penjaga, mencari waktu yang tepat untuk melarikan diri, dan memastikan bahwa mereka memiliki cukup persediaan untuk perjalanan yang panjang. Ia juga mulai mempelajari cara bertahan hidup di luar kota bawah tanah, membaca buku-buku tentang navigasi dan bertahan di alam liar.

Namun, di balik semua persiapan itu, ada satu hal yang terus menghantuinya: ketidakpastian. Soren tahu bahwa tidak peduli seberapa baik rencananya, selalu ada kemungkinan gagal. Tapi ia juga tahu bahwa jika ia tidak mencoba, mereka akan terjebak selamanya dalam kegelapan kota bawah tanah.

Dan begitu, di tengah malam yang sunyi, Soren berdiri di depan jendela kecil kamarnya, menatap kegelapan di luar. Ia tahu bahwa waktunya hampir tiba. Ia akan mengambil risiko, tidak peduli seberapa besar. Baginya, ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan diri sendiri dan orang yang ia cintai.

Keesokan harinya, Soren membuka pintu rumah kayunya yang reyot dengan perlahan. Udara pagi yang lembap dan dingin menyambutnya, seperti biasa. Ia mengenakan pakaian sederhana yang selalu ia pakai: kemeja putih lusuh yang sudah kusam, celana panjang yang sedikit terlalu besar untuk tubuhnya, dan sandal jepit yang nyaris copot di bagian tumit. Di tangannya, ia membawa karung sampah yang sudah penuh dengan lubang kecil dan capit besi panjang yang menjadi alat andalannya setiap hari.

Dia melangkah keluar, menutup pintu dengan hati-hati agar tidak membangunkan ibunya yang masih tidur. Matanya yang tajam memandang sekeliling, memastikan tidak ada yang mencurigakan sebelum ia memulai rutinitasnya. Hari ini, seperti hari-hari sebelumnya, ia akan berkeliling dari pintu ke pintu, mengambil sampah dari penduduk kota bawah tanah. Namun, di balik rutinitas yang tampak biasa ini, Soren memiliki agenda rahasia.

Ia berjalan dengan langkah tenang, karung sampah di pundak dan capit besi di tangan. Setiap langkahnya terukur, setiap gerakannya penuh kesadaran. Ia tahu bahwa di kota bawah tanah, ketidakhati-hatian bisa berakibat fatal. Saat ia mendekati rumah pertama, seorang wanita tua membuka pintu dan melemparkan sekantong sampah ke arahnya tanpa sepatah kata pun. Soren menangkapnya dengan capit besinya, memasukkan kantong itu ke dalam karung, dan melanjutkan perjalanannya.

Di rumah berikutnya, seorang pria paruh baya dengan wajah sinis menyeringai saat melihat Soren. "Hei, si pembersih sampah! Kau masih bertahan dengan pekerjaan kotor itu, ya?" ejeknya sambil tertawa. Soren tidak menanggapi. Ia hanya mengambil sampah yang sudah disiapkan di depan pintu dan berjalan pergi, meninggalkan si pria yang masih tertawa terbahak-bahak.

Namun, di balik ketenangannya, Soren terus mengamati sekeliling. Setiap rumah yang ia kunjungi, setiap orang yang ia temui, semuanya ia catat dalam pikirannya. Ia mencari celah, mencari informasi, mencari apa pun yang bisa membantunya dalam rencana pelariannya. Saat ia mendekati rumah seorang bangsawan yang jarang mengunjungi kota bawah tanah, hatinya berdebar sedikit. Ini adalah kesempatan langka.

Soren mengetuk pintu dengan hati-hati, dan seorang pelayan membukanya. "Sampahnya di mana?" tanya Soren dengan suara datar, mencoba menyembunyikan ketegangannya. Pelayan itu menunjuk ke sebuah kantong besar di sudut halaman. Soren mengambilnya dengan capit besinya, tetapi matanya menyapu sekeliling, mencari sesuatu yang bisa ia manfaatkan. Saat ia melihat selembar kertas yang tergeletak di dekat tong sampah, hatinya berdebar kencang. Itu adalah peta—peta kota atas tanah.

Dengan gerakan cepat dan hati-hati, Soren mengambil kertas itu dan menyembunyikannya di balik bajunya sebelum pelayan itu menyadarinya. Ia mengangguk sopan dan berjalan pergi, karung sampahnya sekarang lebih berat, tetapi hatinya dipenuhi harapan. Peta itu bisa menjadi kunci untuk rencananya.

Sepanjang hari, Soren terus berkeliling, mengambil sampah dari rumah ke rumah, sambil diam-diam mengumpulkan informasi dan barang-barang yang bisa berguna. Setiap ejekan, setiap sarkasme, ia terima dengan wajah dingin. Ia tahu bahwa ini hanyalah bagian dari permainan yang harus ia jalani. Yang penting sekarang adalah rencananya, dan peta yang ia dapatkan tadi adalah langkah besar menuju kebebasan.

Saat hari mulai berakhir lampu di langit langit kota bawah tanah padam dan kegelapan kembali menyelimuti kota bawah tanah, Soren pulang ke rumah dengan langkah yang lebih ringan. Ia tahu bahwa hari ini, ia telah mengambil langkah kecil tetapi penting menuju pelariannya. Dan di dalam hatinya, tekadnya semakin membara: ia akan membawa ibunya keluar dari sini, tidak peduli apa pun yang harus ia lakukan.

Malam itu, di kamarnya yang gelap, Soren membuka peta yang ia curi dengan hati-hati. Matanya yang tajam mempelajari setiap garis, setiap simbol, setiap rute yang mungkin. Ia tahu bahwa jalan di depannya masih panjang dan berbahaya, tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak bisa menyerah. Baginya, ini adalah satu-satunya cara untuk menemukan cahaya di tengah kegelapan kota bawah tanah.

Setelah berhasil mendapatkan peta dari rumah bangsawan itu, Soren merasa seperti memegang harta karun. Peta itu adalah kunci yang bisa membawanya dan ibunya keluar dari kota bawah tanah. Namun, ia tahu bahwa peta saja tidak cukup. Ia harus menggabungkannya dengan pengetahuan yang sudah ia kumpulkan selama ini.

Malam itu, di bawah cahaya lilin yang redup, Soren membentangkan peta di atas meja kayu kecilnya. Di sebelahnya, ia meletakkan kertas-kertas bekas yang telah ia gunakan untuk menandai setiap pos penjagaan, lorong rahasia, dan titik lemah sistem keamanan kota bawah tanah. Dengan hati-hati, ia mulai membandingkan tanda-tanda yang ia buat dengan simbol-simbol yang ada di peta.

Awalnya, peta itu terasa asing dan membingungkan. Ada banyak simbol yang tidak ia pahami: garis-garis tebal, lingkaran-lingkaran kecil, dan tanda-tanda aneh yang sepertinya memiliki arti khusus. Tapi Soren tidak menyerah. Ia mulai mempelajari setiap detail, mencoba memahami apa arti dari setiap simbol. Ia ingat beberapa kata yang pernah ia baca di buku-buku tua tentang navigasi dan peta, dan itu membantunya sedikit demi sedikit.

"Garis tebal ini mungkin jalan utama," gumamnya pelan, sambil menelusuri garis tebal yang membentang dari satu ujung peta ke ujung lainnya. "Dan lingkaran kecil ini... mungkin pos penjagaan." Ia membandingkannya dengan tanda-tanda yang ia buat sebelumnya, dan ternyata cocok. Hatinya berdebar kencang saat ia mulai melihat pola yang jelas.

Setelah beberapa jam, Soren akhirnya mulai memahami peta itu. Garis-garis tebal adalah jalan utama yang dijaga ketat, sementara garis-garis tipis adalah lorong kecil yang mungkin bisa digunakan untuk menyelinap. Lingkaran kecil adalah pos penjagaan, dan tanda segitiga menandai tempat-tempat strategis seperti gudang atau tempat penyimpanan senjata. Ada juga beberapa tanda yang ia belum pahami sepenuhnya, tapi ia yakin bahwa dengan waktu, ia akan bisa menguraikan semuanya.

Dengan peta ini, Soren mulai merencanakan rute pelariannya dengan lebih detail. Ia menandai setiap titik lemah yang ia ketahui, setiap lorong rahasia yang bisa digunakan untuk menghindari penjaga, dan setiap pos penjagaan yang harus ia waspadai. Ia juga mulai memikirkan waktu yang tepat untuk melarikan diri. Malam hari mungkin lebih aman, tapi ia juga harus mempertimbangkan kondisi ibunya yang tidak bisa bergerak cepat.

Saat fajar mulai menyingsing, Soren akhirnya menutup peta dan menyimpannya di tempat rahasia di bawah lantai kamarnya. Matanya yang lelah masih dipenuhi tekad. Ia tahu bahwa ini hanya awal, tapi ia juga tahu bahwa ia telah mengambil langkah besar menuju kebebasan.

Keesokan harinya, saat ia kembali berkeliling mengambil sampah, pandangannya sudah berbeda. Setiap jalan yang ia lewati, setiap pos penjagaan yang ia lihat, semuanya ia bandingkan dengan peta di pikirannya. Ia mulai melihat kota bawah tanah dengan cara yang baru, seperti seorang strategis yang mempersiapkan perang.

Dan di tengah kegelapan kota bawah tanah, Soren terus melangkah, dengan peta rahasia dan rencana pelarian yang semakin matang di benaknya.