Pagi Hari - Rumah Shouta
Cahaya matahari pagi masuk melalui celah jendela, menyinari ruangan yang sunyi. Lucoa duduk di sofa, memandang ke arah Shouta yang masih diam di meja belajarnya. Sejak semalam, bocah itu belum sekalipun menatapnya, apalagi berbicara dengannya.
Lucoa (pelan) : Shouta-kun…?
Shouta akhirnya menutup bukunya dan berdiri, berbalik menghadap Lucoa dengan ekspresi serius. Matanya tajam, penuh ketegasan yang tak biasa terlihat di wajahnya.
Shouta : Lucoa… kita perlu bicara.
Lucoa merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Ada sesuatu dalam nada suara Shouta yang membuatnya tidak nyaman.
Shouta (menghela napas) : Aku sudah memikirkan ini sejak lama. Aku tidak bisa terus seperti ini… Aku ingin memutus kontrak kita.
Lucoa membeku di tempatnya. Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada yang dia bayangkan.
Lucoa (terkejut) : Shouta-kun… kenapa tiba-tiba?
Shouta : Ini bukan tiba-tiba. Aku sudah lama merasa… hubungan kita tidak masuk akal. Aku bukan lagi anak kecil yang membutuhkan seorang familiar. Aku ingin tumbuh sendiri, tanpa berada di bawah bayang-bayangmu.
Lucoa menunduk, merasakan dadanya semakin sesak. Shouta, yang selama ini menjadi bagian penting dalam hidupnya, kini ingin memutus semua ikatan yang mereka miliki.
Shouta (dengan suara pelan) : Mulai hari ini… kau bebas. Aku bukan tuanmu lagi.
Lucoa menatap Shouta dengan mata berkaca-kaca. Ia ingin menolak, ingin membujuknya untuk mengubah keputusannya, tapi dari ekspresinya, Lucoa tahu bahwa itu sia-sia. Ia hanya bisa menahan tangisnya.
Lucoa (tersenyum pahit) : Baiklah… jika itu yang kau inginkan.
Tanpa menunggu jawaban, Lucoa berbalik dan berjalan keluar dari rumah itu. Begitu pintu tertutup, ia akhirnya membiarkan air matanya jatuh. Dengan perasaan hancur, ia pergi ke satu tempat yang bisa membuatnya merasa aman.
Siang Hari - Apartemen Kazuki
Kazuki sedang bersiap untuk makan siang ketika terdengar ketukan tergesa-gesa di pintunya. Begitu ia membukanya, ia terkejut melihat Lucoa berdiri di depannya dengan mata merah dan wajah penuh kesedihan.
Kazuki (khawatir) : Lucoa? Apa yang terjadi?
Tanpa berkata apa-apa, Lucoa langsung memeluk Kazuki erat-erat. Tubuhnya bergetar, seolah menahan rasa sakit yang mendalam.
Lucoa (suara bergetar) : Kazuki… Aku tidak tahu harus kemana…
Kazuki perlahan membalas pelukannya, mencoba menenangkan wanita yang selama ini selalu terlihat ceria dan menggoda. Untuk pertama kalinya, dia melihat sisi Lucoa yang benar-benar rapuh.
Kazuki : Aku di sini. Aku tidak akan membiarkanmu sendirian.
Lucoa mencengkeram kaos Kazuki erat-erat, seakan takut dia akan menghilang juga.
Lucoa (tersedu) : Shouta… Dia… Dia memutuskan hubungan kami. Dia tidak ingin aku ada di sisinya lagi…
Kazuki mengusap punggungnya perlahan, membiarkannya meluapkan kesedihannya.
Kazuki : Aku tahu ini sulit… Tapi kau tidak sendiri. Aku akan selalu ada untukmu.
Lucoa menatap Kazuki, air matanya masih mengalir. Ada sesuatu dalam tatapan Kazuki yang membuatnya merasa aman, sesuatu yang tidak bisa dia temukan di tempat lain.
Tanpa berpikir panjang, Lucoa perlahan mendekatkan wajahnya ke arah Kazuki. Mata mereka bertemu dalam keheningan. Kazuki tidak menjauh, sebaliknya, ia menyentuh pipi Lucoa dengan lembut.
Kazuki (lirih) : Lucoa…
Lucoa (berbisik) : Aku butuhmu…
Kazuki tak bisa menahan diri lagi. Dengan penuh perasaan, ia mendekat dan mencium Lucoa. Bibir mereka bertemu dalam ciuman yang lembut namun penuh emosi. Tidak ada godaan, tidak ada permainan—hanya kehangatan dan ketulusan.
Lucoa memejamkan mata, membiarkan dirinya tenggelam dalam momen itu. Untuk pertama kalinya, dia merasa benar-benar dicintai tanpa syarat.
Ketika mereka akhirnya berpisah, Lucoa menatap Kazuki dengan ekspresi campuran antara lega dan bahagia.
Lucoa : Terima kasih, Kazuki…
Kazuki : Aku akan selalu ada untukmu, Lucoa.
Lucoa tersenyum kecil, meski air matanya masih mengalir. Siang itu, untuk pertama kalinya sejak sekian lama, Lucoa merasa tidak lagi sendirian.
Bersambung ke Episode 40…