Rasa asin darah memenuhi mulut Tae-ho. Dia terbatuk, ludah bercampur merah jatuh ke lantai kotor di depan matanya.
"Apa lu ngelamun, pecundang?"
Tendangan keras mendarat di perutnya. Napasnya terhenti sejenak, rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya. Tae-ho meringkuk, menggigit bibirnya sendiri untuk menahan jeritan.
Sekelompok siswa berdiri di sekelilingnya, menertawakannya. Mereka seperti binatang yang menikmati penderitaan mangsanya.
"Ayo, berdiri." Seorang di antara mereka menarik kerah bajunya dan membisikkan sesuatu di telinganya. "Atau lu bakal dihabisin lebih parah."
Tae-ho menatap wajahnya—Jang Woo-jin.
Dia salah satu penguasa kelas. Anak yang semua orang hormati bukan karena kebaikannya, tapi karena mereka takut padanya.
Tae-ho gemetar.
Setiap sel dalam tubuhnya berteriak untuk menyerah. Dia sudah terlalu sering mengalami ini. Dipukuli, dihina, diabaikan. Sejak kecil, Tae-ho sudah terbiasa menjadi pecundang.
Tapi hari ini… ada sesuatu yang berbeda.
Matanya perlahan bergerak ke tangannya sendiri—tangan yang bergetar karena marah.
Kenapa gua selalu gini?
Sebuah suara kecil berbisik di dalam kepalanya.
Kenapa gua selalu ditindas?
Woo-jin menarik kepalan tangannya ke belakang, bersiap memberikan pukulan terakhir.
Dan saat itu terjadi…
Tae-ho mengangkat tangannya.
"…?"
Woo-jin terkejut.
Dan dalam sepersekian detik, Tae-ho meninju wajahnya.
Sebuah suara keras terdengar. Woo-jin terhuyung ke belakang, memegang pipinya yang kini mulai memerah. Semua orang terdiam.
Tidak ada yang percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
Termasuk Tae-ho sendiri.
Jantungnya berdetak kencang, dadanya naik turun dengan napas yang tidak beraturan. Tinju kanannya masih mengepal, bergetar hebat.
"Apa…?" Woo-jin menyentuh wajahnya, matanya menyala penuh amarah.
"LU BAJINGAN!"
Dia berlari ke arah Tae-ho dengan kepalan tangan terangkat tinggi.
Tapi kali ini, Tae-ho tidak menghindar.
Dia balas menatapnya.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya…
Dia tidak takut.