Chereads / Next Generation: No Mercy / Chapter 8 - Luka yang belum sembuh

Chapter 8 - Luka yang belum sembuh

Tae-ho terbangun dengan rasa sakit yang membakar setiap inci tubuhnya. Begitu dia membuka mata, langit-langit kayu yang kusam dan berdebu menjadi pemandangan pertama yang menyambutnya. Cahaya matahari samar menembus celah-celah kecil di dinding, menciptakan bayangan abstrak di lantai kasar.

Saat dia mencoba bergerak, rasa nyeri langsung menusuk punggungnya. Seolah-olah seluruh tubuhnya telah dihantam palu godam semalaman. Napasnya masih berat, dadanya naik turun tidak teratur. Dia menggertakkan giginya, berusaha untuk duduk meskipun setiap serat ototnya berteriak meminta istirahat.

"Aku masih hidup…" gumamnya pelan, hampir seperti mengingatkan dirinya sendiri.

Kemarin adalah neraka. Dia sudah tahu sejak awal bahwa dia tidak akan menang dalam pertarungan itu, tapi dia tidak menyangka tubuhnya akan sekarat seperti ini keesokan harinya. Pukulan yang diterimanya bukan hanya sekadar rasa sakit fisik—itu juga merupakan pukulan bagi harga dirinya. Tapi anehnya, dia tidak merasa putus asa seperti dulu.

Bahkan, ada sesuatu yang membara di dalam dirinya.

Tae-ho perlahan menurunkan kakinya ke lantai dingin, mencoba berdiri dengan tubuh yang masih lemah. Setiap gerakan terasa seperti siksaan, tapi dia tetap memaksa dirinya untuk bangun. Karena kalau dia tetap berbaring, itu sama saja mengakui kekalahannya.

Saat itulah, pintu kayu tua itu terbuka dengan kasar.

Sebuah siluet berdiri di ambang pintu, sosok yang sudah dia kenal. Minsuk.

Laki-laki itu melipat tangannya di dada, matanya menyapu tubuh Tae-ho dengan tatapan penuh penilaian. "Bangun," katanya datar. "Latihan dimulai sekarang."

Tae-ho tidak menjawab. Dia hanya mengangguk pelan, mengatur napasnya sebelum mengikuti Minsuk keluar dari kamar kecil yang pengap itu.

Udara pagi menyambutnya dengan dingin yang menusuk tulang. Di depan mereka, gudang besar yang kemarin menjadi tempat pertarungan kini kembali menjadi arena pelatihan. Tidak ada sorak-sorai atau ejekan kali ini. Hanya suara hantaman tinju ke samsak, napas berat para petarung, dan suara langkah kaki di lantai kayu.

Tae-ho bisa melihat beberapa orang sedang berlatih. Seorang pria bertubuh kekar memukul samsak dengan kecepatan yang mengerikan, tinjunya begitu kuat hingga samsak bergoyang keras setiap kali dipukul. Di sisi lain, seorang pemuda dengan rambut pendek sedang melakukan push-up dengan satu tangan, tubuhnya berkeringat tapi tetap stabil.

"Mulai sekarang, ini adalah hidupmu," kata Minsuk, menatap Tae-ho. "Tidak ada keluhan, tidak ada istirahat, tidak ada belas kasihan. Kalau kau ingin bertahan, kau harus menerima semuanya."

Tae-ho menelan ludah. Dia tahu ini tidak akan mudah.

Minsuk menunjuk ke arah salah satu samsak di sudut ruangan. "Mulai dari situ. Pukul sampai aku bilang berhenti."

Tae-ho berjalan mendekati samsak itu. Tangannya masih gemetar, tapi dia mengepalkan tinjunya. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu mengayunkan pukulannya.

Bugh!

Pukulan pertamanya nyaris tidak membuat samsak bergerak. Rasa nyeri langsung menjalar dari buku-buku jarinya, tapi dia mengabaikannya. Dia menarik tinjunya kembali, lalu memukul lagi.

Bugh!

Samsak itu mulai sedikit bergoyang. Tae-ho mengertakkan giginya, menahan rasa sakit yang mulai menyebar ke seluruh lengannya. Dia tahu tangannya tidak terbiasa dengan ini. Dia tahu dia lemah. Tapi dia tidak akan berhenti.

Minsuk memperhatikannya dari kejauhan, lalu menyeringai kecil. "Terus pukul. Jangan berhenti."

Tae-ho memukul lagi. Dan lagi. Dan lagi.

Setiap pukulan membuat tangannya semakin sakit. Setiap ayunan terasa lebih berat dari sebelumnya. Keringat mulai mengalir di pelipisnya, menetes ke lantai kayu. Nafasnya semakin cepat, dadanya terasa seperti terbakar.

Lima menit berlalu.

Sepuluh menit berlalu.

Dua puluh menit berlalu.

Tangannya mulai bergetar tak terkendali. Buku-buku jarinya berdarah. Tapi dia tidak berhenti.

Akhirnya, setelah hampir tiga puluh menit, Minsuk mengangkat tangannya. "Cukup."

Tae-ho terjatuh berlutut, napasnya tersengal-sengal. Dia menatap tangannya yang kini penuh luka dan darah. Tapi di balik semua itu, ada sesuatu yang aneh.

Dia tersenyum.

Bukan senyum kemenangan. Bukan senyum kebahagiaan. Tapi senyum seseorang yang mulai memahami arti dari kekuatan.

Minsuk menatapnya, lalu menghela napas. "Baiklah, bocah. Kau sudah cukup gila untuk bertahan. Besok, kita mulai latihan yang lebih berat."

Tae-ho hanya mengangguk, meskipun dia tahu tubuhnya mungkin akan lebih hancur lagi.

Tapi dia tidak peduli.

Karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya…

Dia merasa hidup.