Chereads / Next Generation: No Mercy / Chapter 4 - Api dalam kegelapan

Chapter 4 - Api dalam kegelapan

Tae-ho membuka matanya.

Sakit.

Tubuhnya seperti dihantam palu berkali-kali. Napasnya berat, dadanya terasa sesak. Penglihatannya masih buram, tapi perlahan, dia bisa melihat langit-langit kelas yang kotor.

Dia mencoba menggerakkan jarinya.

Nyeri.

Tulangnya terasa retak, seakan setiap inci tubuhnya menjerit minta istirahat. Tapi dia tahu… kalau dia terus diam di sini, mereka akan menang.

Perlahan, Tae-ho berusaha duduk. Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya, tapi dia menggertakkan giginya dan memaksakan diri. Tangannya menyentuh lantai dingin yang lengket oleh darahnya sendiri.

Matanya melirik sekeliling. Kelas sudah kosong. Hanya ada kursi-kursi yang terbalik dan meja yang bergeser. Bukti dari pertempuran yang baru saja terjadi.

Woo-jin dan anak buahnya sudah pergi.

Mereka meninggalkannya di sini, terkapar seperti sampah.

Tae-ho meraba wajahnya. Pipi kanannya bengkak. Sudut bibirnya pecah, dan dia bisa merasakan darah kering menempel di kulitnya. Rahangnya masih terasa kebas akibat pukulan terakhir Woo-jin.

Dia menarik napas panjang.

Kenapa gua nggak cukup kuat?

Pertanyaan itu terus berputar di kepalanya.

Tae-ho sudah muak. Muak jadi pecundang. Muak jadi samsak orang lain. Hari ini, untuk pertama kalinya, dia melawan. Dia tidak lari.

Tapi hasilnya?

Dia tetap kalah.

Tae-ho mengepalkan tangannya, merasakan kuku-kukunya hampir menembus kulit telapak tangannya sendiri.

Enggak. Gua nggak bisa kayak gini terus.

Sesuatu dalam dirinya… seolah terbakar.

Kemarahannya… rasa frustrasinya… semua bertumpuk jadi satu.

Saat itu, pintu kelas terbuka.

Seseorang masuk.

Langkah kaki terdengar mendekat. Tae-ho mengangkat kepalanya dengan susah payah.

Minsuk.

Tatapan pemuda itu datar. Dia melihat Tae-ho yang terkapar di lantai, lalu menarik kursi dan duduk di depannya seolah tidak terjadi apa-apa.

"Lu kalah."

Kata-kata itu sederhana, tapi menusuk jauh ke dalam.

Tae-ho tidak menjawab.

Minsuk menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Tae-ho dengan ekspresi tidak tertarik.

"Tapi gua nggak kaget. Dari awal udah jelas lu bakal kalah."

Tae-ho mengepalkan tangannya lebih kuat. "Gua tahu."

"Terus kenapa lu tetap lawan?"

Tae-ho terdiam.

Kenapa?

Kenapa dia tiba-tiba berani melawan?

Sebelumnya, dia selalu diam. Menahan semuanya. Biarkan mereka memukulnya, menendangnya. Itu lebih baik daripada berusaha melawan dan malah mendapatkan sesuatu yang lebih buruk.

Tapi hari ini…

Dia tidak tahan lagi.

Tae-ho menggigit bibirnya yang sudah pecah, menahan emosi yang meluap-luap di dalam dirinya.

Minsuk memperhatikan ekspresinya lalu tertawa kecil.

"Lu pengen jadi lebih kuat, kan?"

Tae-ho menatapnya.

"Kuat…"

Kata itu terasa asing.

"Bukan cuma kuat." Minsuk berdiri. "Lu pengen balas dendam."

Tae-ho tidak membantah.

Karena itu benar.

Dia ingin membalas.

Dia ingin Woo-jin merasakan apa yang dia rasakan.

Dia ingin membuat mereka yang menindasnya sadar… bahwa mereka tidak bisa memperlakukannya seperti sampah lagi.

Minsuk memasukkan tangannya ke saku celana. "Gua bisa bantu lu."

Tae-ho tertegun. "Apa?"

"Lu bisa diem di sini dan terus jadi pecundang," kata Minsuk santai. "Atau lu bisa ikut gua, dan gua bakal ngajarin lu gimana caranya berdiri di atas."

Tae-ho menatap Minsuk.

Pria ini berbeda.

Dia bukan seperti Woo-jin atau pengikutnya.

Ada sesuatu di mata Minsuk. Sesuatu yang berbahaya.

"Gua nggak nawarin ini dua kali."

Tae-ho menelan ludah.

Tubuhnya masih sakit. Dia masih kalah.

Tapi jika dia tetap diam… maka semuanya akan terus sama.

Dan dia… tidak mau itu terjadi.

Tae-ho menatap Minsuk dengan tekad yang baru terbentuk.

"…Ajarin gua."

Minsuk menyeringai.

"Bagus."

Hari itu, api dalam kegelapan mulai menyala.