Neo-Jakarta, Tahun 2097.
di bawah cahaya neon yang berkedip-kedip, bayangan seorang pria berlari di antara gedung-gedung tinggi yang telah lama ditinggalkan. langkahnya cepat, hampir tidak bersuara, menyelinap di antara reruntuhan yang dipenuhi puing-puing logam dan kabel yang terputus. rasya menarik napas dalam, menekan tubuhnya ke dinding beton yang mulai retak. dari kejauhan, suara mekanis terdengar—robot penjaga sedang berpatroli.
"sial," gumamnya pelan.
di depan sana, seorang anak kecil meringkuk ketakutan di balik tumpukan besi tua. tubuhnya kurus, wajahnya kotor. matanya menatap rasya dengan ketakutan—dan harapan.
"tenang," rasya berbisik, merendahkan tubuhnya. "aku akan membawamu keluar dari sini."
anak itu mengangguk, tapi sebelum rasya bisa bergerak, sorot merah dari mata robot penjaga menyorot ke arah mereka. suara alarm berdengung di udara.
"TARGET TERDETEKSI. AKTIFKAN MODE PENANGKAPAN."
tanpa berpikir panjang, rasya menarik anak itu ke pelukannya dan melompat ke balik dinding roboh. dor! dor! tembakan laser menghantam tempat mereka berdiri tadi, membakar puing-puing menjadi abu.
"pegang erat!" rasya memerintahkan.
dengan satu loncatan, dia melesat ke atas, memanfaatkan kekuatan mekanik di kakinya. sensor di mata kirinya menganalisis jalur terbaik untuk kabur. tiga robot penjaga di depan, dua di belakang, satu drone di atas.
tidak ada celah untuk melarikan diri.
atau setidaknya, tidak dengan cara biasa.
rasya mengaktifkan kemampuannya. tangannya bergetar, mata kirinya bersinar biru—gelombang listrik tak terlihat merambat dari tubuhnya, menyusup ke dalam sistem robot-robot itu. dalam hitungan detik, sistem mereka mengalami gangguan. salah satu robot mulai bergerak tak terkendali, senjatanya menembaki rekan-rekannya sendiri.
"ERROR. ERROR."
kekacauan terjadi. rasya mengambil kesempatan itu untuk kabur, melesat ke dalam lorong sempit yang hanya bisa diakses manusia. tubuhnya mulai terasa panas—efek samping dari kekuatan yang baru saja ia gunakan.
terlalu banyak... aku terlalu banyak menggunakan kekuatanku.
tapi dia tidak punya pilihan.
"aku akan membawamu ke tempat aman," katanya kepada anak itu, yang masih memegang erat jaketnya.
"ke mana?" suara anak itu gemetar.
rasya menatap ke kejauhan, ke arah sebuah pintu besi besar yang tersembunyi di balik reruntuhan kota. di baliknya, terletak satu-satunya tempat yang masih menyimpan harapan:
markas perlawanan.