Pagi itu, Rania berdiri di depan jendela kamarnya, memandang langit Medan yang berawan. Rasanya seolah semesta tahu bahwa hatinya sedang berperang. Keputusan besar menantinya, dan untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar tak tahu harus melangkah ke arah mana.Ponselnya berdering. Nama Haris muncul di layar. Rania menatapnya ragu sebelum akhirnya menggeser layar untuk menerima panggilan."Ran, kita bisa bertemu? Aku benar-benar ingin menjelaskan semuanya… sekali lagi," suara Haris terdengar memohon.Rania menarik napas panjang. "Baik, Haris. Kita ketemu di taman dekat masjid Al-Jihad, jam 3 sore."Di taman, suasana sepi. Pohon-pohon besar melindungi mereka dari sinar matahari yang mulai redup. Haris datang dengan wajah penuh penyesalan. Ia berdiri canggung di depan Rania, berusaha membaca ekspresi wajah tunangannya itu."Rania…" Haris membuka percakapan, suaranya bergetar. "Aku tahu aku sudah menyakitimu. Aku gak pantas meminta maaf lagi, tapi aku ingin kau tahu satu hal—aku gak pernah berniat mengkhianati kepercayaanmu.""Tapi kau melakukannya, Haris," potong Rania, matanya menatap tajam. "Kau tetap bertemu Siska di belakangku. Kau tahu betapa sakitnya aku saat tahu itu?"Haris mengangguk pelan. "Aku tahu. Aku bodoh karena berpikir aku bisa menyelesaikan semuanya tanpa melibatkanmu. Aku hanya ingin menutup masa lalu dengan cara yang salah. Aku takut kehilanganmu, Ran.""Dan sekarang? Apa kau sudah benar-benar menutup masa lalu itu?" Rania menantang, suaranya penuh emosi. "Atau kau masih ragu dengan siapa kau ingin melangkah ke masa depan?"Haris terdiam. Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, seolah mencari kekuatan yang entah ada di mana."Aku gak ragu, Rania. Aku ingin bersamamu. Siska adalah bagian dari masa lalu, dan aku gak akan membiarkan masa lalu itu menghancurkan masa depan kita."Rania menatapnya lama, mencari tanda-tanda kejujuran di matanya. "Kalau kau benar-benar yakin, maka buktikan, Haris. Aku gak butuh janji-janji manis. Aku butuh tindakan. Aku ingin kau buktikan bahwa aku adalah satu-satunya pilihanmu."Beberapa hari kemudian, Haris mengirimkan pesan kepada Rania.Haris: "Aku sudah bicara dengan Siska untuk terakhir kalinya. Aku memastikan tidak ada lagi urusan yang menggantung antara kami. Aku memilihmu, Rania. Sepenuhnya."Rania membaca pesan itu berulang kali. Ada kelegaan, tapi juga ketakutan. Ia tahu, kata-kata saja tak cukup. Namun setidaknya, ini adalah awal dari sesuatu yang baru—atau mungkin titik balik yang menentukan segalanya.Di sisi lain, Siska juga mengambil langkah besar. Ia meninggalkan Medan, kembali ke Jakarta untuk memulai hidup yang baru. Ia tahu bahwa bertahan di kota yang penuh kenangan bersama Haris hanya akan membuatnya terjebak dalam lingkaran yang sama."Semoga kau bahagia, Haris," bisik Siska pada dirinya sendiri saat kereta yang ia tumpangi perlahan meninggalkan Stasiun Medan.Malam itu, Rania berdiri di balkon apartemennya, memandang bintang-bintang yang bertaburan di langit. Ia sadar, hidup tidak akan pernah sesederhana yang ia bayangkan dulu. Tapi di balik setiap luka, ada pelajaran yang berharga."Mungkin inilah rencana Tuhan yang tersembunyi," gumamnya. "Aku hanya perlu sabar menunggu bagaimana cerita ini berakhir."