Rania duduk di kamarnya, memandang layar ponsel yang baru saja menampilkan pesan misterius. Jantungnya berdegup kencang. Pesan itu singkat, namun menyimpan ancaman yang terasa begitu nyata:
"Rania, ini belum berakhir. Hati-hati. Haris masih dalam bahaya."
Ia meremas ponsel di tangannya, mencoba bernapas tenang. "Siapa ini? Apa maksudnya Haris dalam bahaya?" pikirnya. Ketakutan merayap perlahan di dadanya, seperti kabut gelap yang menutupi logika.
---
Keesokan harinya, Rania bergegas menuju kantor Pak Anton. Ia berharap mendapatkan jawaban yang bisa menenangkan hatinya. Sesampainya di sana, napasnya masih terasa berat.
Pak Anton menyambutnya dengan senyum ramah. "Rania, kamu baik-baik saja? Tumben datang ke sini tanpa Haris."
Rania mencoba tersenyum meski hatinya terasa gelisah. "Saya butuh bantuan, Pak. Ini soal kejadian proyek setahun lalu. Saya merasa ada yang belum selesai."
Pak Anton mengernyitkan dahi. "Masalah itu memang berat. Haris hampir jadi korban permainan licik dari pihak vendor. Meski kasus itu sudah ditutup, ada beberapa pihak yang tidak puas dengan hasilnya."
"Tidak puas? Maksud Bapak?" tanya Rania, suaranya bergetar.
"Vendor yang merasa dirugikan pernah mengancam akan menuntut balik. Mereka tidak pernah melupakan insiden itu."
Rania menelan ludah. "Jadi, mereka masih bisa menyerang Haris?"
Pak Anton mengangguk pelan. "Kemungkinan itu selalu ada. Tapi Haris kuat, Rania. Dia sudah melewati badai ini sekali. Saya yakin dia bisa melaluinya lagi."
---
Malam itu, Rania duduk di balkon apartemennya. Udara malam Medan terasa lebih dingin dari biasanya. Kota yang biasanya terasa hangat kini seperti menyimpan rahasia kelam.
Pikirannya berputar. "Apakah aku harus memberi tahu Haris soal pesan ini? Atau justru menambah bebannya?"
Air matanya mulai menetes tanpa sadar. Ia menatap bintang-bintang di langit, mencoba mencari ketenangan. "Ya Allah, tunjukkan jalan-Mu. Jangan biarkan Haris terluka lagi," doanya lirih.
Tiba-tiba, ponselnya kembali bergetar. Pesan kedua masuk:
"Jangan percaya sepenuhnya. Dia menyembunyikan lebih dari yang kau tahu."
Kali ini, rasa takut berubah menjadi tekad. Rania menyeka air matanya. "Aku harus mencari tahu kebenarannya. Aku gak bisa tinggal diam lagi."
---
Di tempat lain, Haris duduk di sofa apartemennya, matanya terpaku pada berkas proyek baru yang sedang ia pelajari. Pikirannya terganggu. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres.
Saat ponselnya berbunyi, ia melihat nama Rania di layar. Ia segera mengangkatnya. "Rania? Ada apa, Sayang?"
Rania mencoba bersikap biasa. "Haris, kamu di rumah? Aku mau datang sebentar."
"Tentu, aku di sini. Ada yang terjadi?"
"Nanti aku jelaskan," jawab Rania sebelum menutup telepon.
---
Beberapa menit kemudian, Rania tiba di apartemen Haris. Tatapan matanya penuh kegelisahan.
"Rania, apa yang terjadi? Kau kelihatan cemas," kata Haris sambil menggenggam tangan Rania.
Rania menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian. "Haris… Aku dapat pesan dari orang asing. Mereka bilang kamu masih dalam bahaya."
Haris membeku. Wajahnya berubah serius. "Pesan apa? Siapa yang mengirimnya?"
Rania menyerahkan ponselnya. Haris membaca pesan itu dengan rahang mengeras. "Ini… gak mungkin. Mereka seharusnya sudah berhenti."
"Jadi, kamu tahu siapa yang mengirim pesan ini?" Rania menatap Haris tajam.
Haris mengalihkan pandangan. "Mungkin hanya ancaman kosong… Aku akan urus ini."
"Haris, jangan sembunyikan apa pun dariku lagi. Aku butuh tahu kebenaran, agar kita bisa hadapi ini bersama," kata Rania dengan suara bergetar.
Haris menatap Rania lama, lalu menghela napas. "Baik, aku akan jelaskan… tapi tidak sekarang. Beri aku waktu untuk memastikan semuanya."